Judul : Manusia Kampus,
Potret Kultural Mahasiswa UNJ
Penulis : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit
: Pustaka Kaji
Catakan : I, Maret 2014
Tebal : xx + 83 Halaman
ISBN : 978-602-99700-6-7
Sudah dari dulu saya ingin menuliskan sebuah buku tentang
kritik pada pembelajaran di ruang kelas. Entah karena pengalaman pahit dihardik
guru karena tidak bisa mengerjakan soal, atau karena saya sendiri merasakan
bahwa ruang kelas bukan tempat terbaik bagi saya untuk belajar. Tidak banyak
hal yang saya dapat dari kelas dan sekolahan selain kebekuan pada proses
belajar. Selebihnya saya belajar sendiri dan dengan kerja keras saya sendiri.
Mungkin buku ini gambaran bahwa dunia akademik telah
berubah jadi ruang yang membosankan. Kampus menjadi ajang yang mereduksi
nilai-nilan pendidikan. Mahasiswa tidak diberikan pilihan selain mengekor pada
pola ajar yang absolut—mahasiswa salah jika mengkritik dosen, tidak diberikan
ruang untuk berkreativitas, dan tidak diarahkan pada prakarsa penelitian. Hal itu
membuat sebagian mahasiswa yang ingin benar-benar belajar mencari alternatif
lain.
Sebagian mahasiswa menjadikan organisasi sebagai sarana
belajar, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil meraih prestasi. Sebagian
yang lain menganggap organisasi adalah ruang untuk menunjukkan aspirasi dan kreativitas.
Ada juga yang menganggap bahwa organisasi adalah tempat melatih bakat dak hobi.
Ya, organisasi bisa dijadikan tempat alternatif untuk mendapatkan nilai tambah
di luar ruang kelas.
Organisasi tidak lain adalah sebuah komunitas. George
Herbert dalam antologi tulisan The
Philosophy of Education menyinggung kegiatan belajar pada lingkup
komunitas. Ia mengatakan bahwa kehidupan intelektualitas yang tercermin dalam
sebuah komunitas adalah efek dari proses induksi pada individunya. George
pertama-tama meletakkan proses belajar sebagai kegiatan yang komunal dan
dibangun dari individu-individu yang ada di dalamnya.
Dalam komunitas, pembelajaran bisa bersifat sederajat,
tidak memandang angka sebagai indikator penilaian—dengan serta merta pula tidak
ada kasta pintar dan bodoh, semua berperan untuk saling belajar dan mengajar. Karena
itulah pembelajaran menjadi semakin hidup. Proses mencari pada dasarnya akan
kembali pada di pribadi dan dunianya.
Selain itu, pembelajaran lewat organisasi dan komunitas
menganut prinsip equality, hal
itu sesuai dengan cita-cita pendidikan yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak dan kesempatan untuk maju bersama.
Apalagi nilai persamaan selalu beriring dengan nilai kebersamaan. Terkadang
tidak ada guru, semua menuntut untuk aktif, semua berperan sebagai guru bagi
dirinya sendiri. Tidak ada penghakiman bagi mereka yang tidak bisa mengerti
atau lambat dalam proses belajar. Tidak seperti di kelas, pembelajaran seperti
hantu yang menakutkan. Sedikit berbuat salah bisa berujung pada hukuman.
Buku ini adalah gambaran dunia kampus dan organisasinya. Dengan
buku ini pembaca dapat mengetahui apa saja yang dilakukan mahasiswa di kampus. Mulai
dari kegiatan organisasi, sampai kepada kongkow
ala mahasiswa. Gunanya adalah mengambil nilai positif dari setiap aktivitas.