Sabtu, 15 Maret 2014

Manusia Kampus, Manusia Belajar



Judul                          : Manusia Kampus, Potret Kultural Mahasiswa UNJ
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                    : Pustaka Kaji
Catakan                    : I, Maret 2014
Tebal                          : xx + 83 Halaman
ISBN                          : 978-602-99700-6-7




Sudah dari dulu saya ingin menuliskan sebuah buku tentang kritik pada pembelajaran di ruang kelas. Entah karena pengalaman pahit dihardik guru karena tidak bisa mengerjakan soal, atau karena saya sendiri merasakan bahwa ruang kelas bukan tempat terbaik bagi saya untuk belajar. Tidak banyak hal yang saya dapat dari kelas dan sekolahan selain kebekuan pada proses belajar. Selebihnya saya belajar sendiri dan dengan kerja keras saya sendiri.

Mungkin buku ini gambaran bahwa dunia akademik telah berubah jadi ruang yang membosankan. Kampus menjadi ajang yang mereduksi nilai-nilan pendidikan. Mahasiswa tidak diberikan pilihan selain mengekor pada pola ajar yang absolut—mahasiswa salah jika mengkritik dosen, tidak diberikan ruang untuk berkreativitas, dan tidak diarahkan pada prakarsa penelitian. Hal itu membuat sebagian mahasiswa yang ingin benar-benar belajar mencari alternatif lain.

Sebagian mahasiswa menjadikan organisasi sebagai sarana belajar, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil meraih prestasi. Sebagian yang lain menganggap organisasi adalah ruang untuk menunjukkan aspirasi dan kreativitas. Ada juga yang menganggap bahwa organisasi adalah tempat melatih bakat dak hobi. Ya, organisasi bisa dijadikan tempat alternatif untuk mendapatkan nilai tambah di luar ruang kelas.

Organisasi tidak lain adalah sebuah komunitas. George Herbert dalam antologi tulisan The Philosophy of Education menyinggung kegiatan belajar pada lingkup komunitas. Ia mengatakan bahwa kehidupan intelektualitas yang tercermin dalam sebuah komunitas adalah efek dari proses induksi pada individunya. George pertama-tama meletakkan proses belajar sebagai kegiatan yang komunal dan dibangun dari individu-individu yang ada di dalamnya.

Dalam komunitas, pembelajaran bisa bersifat sederajat, tidak memandang angka sebagai indikator penilaian—dengan serta merta pula tidak ada kasta pintar dan bodoh, semua berperan untuk saling belajar dan mengajar. Karena itulah pembelajaran menjadi semakin hidup. Proses mencari pada dasarnya akan kembali pada di pribadi dan dunianya.

Selain itu, pembelajaran lewat organisasi dan komunitas menganut prinsip equality, hal
itu sesuai dengan cita-cita pendidikan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak dan kesempatan untuk maju bersama. Apalagi nilai persamaan selalu beriring dengan nilai kebersamaan. Terkadang tidak ada guru, semua menuntut untuk aktif, semua berperan sebagai guru bagi dirinya sendiri. Tidak ada penghakiman bagi mereka yang tidak bisa mengerti atau lambat dalam proses belajar. Tidak seperti di kelas, pembelajaran seperti hantu yang menakutkan. Sedikit berbuat salah bisa berujung pada hukuman.

Buku ini adalah gambaran dunia kampus dan organisasinya. Dengan buku ini pembaca dapat mengetahui apa saja yang dilakukan mahasiswa di kampus. Mulai dari kegiatan organisasi, sampai kepada kongkow ala mahasiswa. Gunanya adalah mengambil nilai positif dari setiap aktivitas.  
continue reading Manusia Kampus, Manusia Belajar

Jumat, 14 Maret 2014

Ketika Modernitas Mati di Tengah Kota


Judul                          : Endemik Modernitas, Polemik Pembangunan Jakarta
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                     : Pustaka Kaji
Catakan                     : I, Maret 2014
Tebal                          : xxii + 125 Halaman
ISBN                           : 978-602-99700-36


Modernitas identik dengan pembangunan. Lalu apa yang terjadi ketika pembangunan telah berubah menjadi sabotase di ruang-ruang perkotaan? Menyingkirkan semua bentuk yang dianggap tidak estetik, tidak rapih, dan tidak komersil. Sehari-hari yang kita temui adalah sebuah fenomena menggusur kaum marjinal di perkotaan untuk digantikan dengan mesin-mesin ekonomi, agar menghasilkan pertumbuhan, bukan kesejaheraan.

Kota telah berubah dari masa ke masa. Perubahannya tentu saja berlajan di atas serangkaian rancang pembangunan. Modernitas adalah produk kemajuan yang dianggap paling ampuh mengobati penyakit kehidupan. Sayangnya abstraksi modernitas dipahami hanya sebatas fisik, gedung-gedung tinggi, pabrikan, dan perkantoran. Lalu  bagaimana dengan manusianya? Seringkali pembangunan di era modern mengabaikan aspek bagaimana manusia hidup.

Lain halnya dengan analisis Marx dan Durkheim yang melihat bahwa modernitas sebagai suatu masalah yang rumit. Keduanya malah menganggap bahwa modernitas merupakan suatu era industri—yaitu wabah kapitalisme. Pada satu sisi memberi nilai tambah ekonomi, tapi disisi lain berdampak kerusakan. Kota menjadi lahan dimana kerusakan itu terjadi.

Kota dipaksa menjadi mesin bagi kemajuan modernitas. Maka kota, sebagaimana disebutkan Marco Kusumawijaya dalam bukunya Kota Rumah Kita, tak ubahnya metropolis—tempat bagi terjadinya proses modernisasi yang paling intensif, baik dalam arti konsentrasi maupun besaran, bila dibandingkan dengan lingkungannya. Metropolis bukanlah suatu tipologi planologis yang direncanakan dan harus dihindari maupun dijadikan tujuan, melainkan suatu kondisi objektif yang merupakan dampak logis dari modernitas.

Sebenarnya modernitas adalah proses yang vital bagi kemajuan kota, jika dikelola di bawah realitas humanisme. Modernitas juga dianggap sebagai model paling ampuh dalam prototype kota masa depan. Tapi lihatlah saat ini, pembangunan hanya menjadi simalakama. Pembangunan jadi proyek korupsi anggaran. Pembangunan menggusur rumah rakyat jadi mall. Pembangunan juga merobohkan pasar tradisional jadi supermarket. Lalu dimana tempat keberpihakan pembangunan bagi rakyat kecil?

Buku berjudul Endemik Modernitas ini adalah potret sebuah polemik pembangunan di Jakarta. Penulisnya adalah sekelompok mahasiswa dari LKM UNJ. Gaya tulisan dalam buku ini dibuat dengan gaya feature. Lebih terlihat seakan sebuah laporan jurnalistik ketimbang buku popular.

Dalam pembuatan buku ini, mahasiswa melakukan peliputan berbulan-bulan lamanya, menjaga hubungan dengan tempat yang dijadikan objek liputan. Menemui nara sumber dan memahami masalah di lapangan. Ini merupakan pengalaman baru bagi mahasiswa yang biasanya berdiam di rungan kelas yang beku.

Pengambilan objek liputan juga sepenuhnya inisiatif dari mahasiswa. Hanya pada temanya diskusi dilakukan secara intensif. Buku ini merupakan sebuah jawaban dari keresahan yang dialami oleh para mahasiswa yang kuliah di Jakarta. Melihat fenomena pembangunan yang destruktif, mahasiswa ini melakukan suatu tindakan berupa rekaman tulisan.

Buku dengan tema perkotaan ini patut dibaca oleh kalangan umum, baik masyarakat kota Jakarta ataupun bukan. Buku ini juga baik untuk sarana membangun wacana kritis bagi kebijakan pemerintahan Jakarta di bidang tata kota, sosial, ekonomi, moral dan lingkungan. Harapannya ke depan, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan sebagai sarana untuk keterwakilan civil society agar tidak dirugikan.
continue reading Ketika Modernitas Mati di Tengah Kota

Kamis, 13 Maret 2014

Sebuah Kisah di Pusaran Landmark Jakarta

Judul                         : Landmark Jakarta, Relasi Sosial dan ruang Publik
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                    : Pustaka Kaji
Catakan                     : I, Maret 2014
Tebal                         : xxii + 220 Halaman
ISBN                          : 978-602-99700-4-3




Mungkin banyak orang yang bertanya apa itu landmark? Sebenarnya istilah ini seringkali muncul pada disiplin ilmu arsitektur. Dalam buku karangan Kevin Lynch berjudul The Image of The City—sebuah buku yang mengulas habis bidang arsitetur dan planologi—landmark berarti sebuah tempat, monumen, taman, ataupun patung yang merefleksikan sejarah dari kota di mana ia dibangun.

Sejarah suatu kota tidak bisa dilepaskan dari citra yang ditampilkan oleh kota itu sendiri. Prosesnya berjalan sampai pada persepsi masyarakat atas citra kota. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kota pada dasarnya adalah relasi antara citra yang ditampakkan melalui landmark dan relasi sosial dari masyarakat di dalamnya. Sehingga menjadi sinergi timbal balik.

Lalu apa fungsi landmark? Sehingga ia menjadi penting? Sebenarnya yang penting bagi landmark bagi sebuah kota adalah makna yang ditangkap oleh penghuninya. Bila kota sudah tidak lagi memiliki makna bagi penghuninya, maka semua apa yang terjadi di atas sebuah kota tidak lagi manusiawi. Seperti kota yang penuh sampah, kemacetan dimana-mana, banjir yang tidak juga surut, serta kaum marjinal yang terlantar.

Kehidupan kota pada abad modern merubah sisi humanis menjadi mekanis. Semua geraknya dibangun atas prinsip ekonomi. Kesibukan yang padat membuat orang tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi, walaupun sebatas menyapa tetangga. Manusia diperlakukan seperti mesin yang siang dan malamnya diisi dengan kerja.

Kebanyakan kaum urban kota kehilangan makna tentang hidup. Tidak mengerti tentang arti sebuah tujuan hidup. Apalagi memikirkan kota sebagai tempa tinggal. Maka sisi humanis antara manusia dan kota semakin terkikis. Masalah yang muncul adalah masyarakat membutuhkan sebuah media dalam rangka menjalani kodratnya untuk bersosialisasi dan memikirkan kehidupan. Dengan cara itu, kreativitas akan muncul, dan secara alamiah kehidupan menjadi bermakna.

Landmark di banyak kota dijadikan tempat berkumpul untuk melakukan sebuah aktivitas. Di dalamnya orang melakukan relasi sosial. Jadi dalam konteks biner manusia dan kota, landmark berdiri sebagai ruang publik yang menyediakan banyak fasilitas untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Kehidupan menjadi indah.

Makna membuat orang menghayati sesuatu dengan tulus. Makna juga bisa membuat orang merasa memiliki. Maka masyarakat Jakarta yang dapat menghayati denyut kehidupan di dalamnya akan bisa menjaga kota ini tetap humanis. Yakni menjadikan hidup di kota seperti Jakarta berada dalam suasana yang terbuka dan partisipatif.

Buku karya mahasiswa LKM UNJ ini merupakan hasi studi lapangan—yang dituliskan dengan gaya feature—tentang bagaimana relasi masyarakat dalam landmark. Bagaimana masyarakat memaknai kotanya sendiri. Di dalamnya adalah sebuah kisah tentang keberadaan Jakarta dan sejarahnya. Sementara landmark adalah sebuah medium sejarah yang diabadikan dalam sebuah ingatan masyarakat.

Prosesnya tentu tidak mudah, berbagai cara mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapakan potret relasi masyarakat yang ada di setiap landmark. Terkadang harus pulang larut malam dan datang teramat pagi untuk mengetahui detil kondisi kehidupan di landmark Jakarta. Hal itu penting untuk dapat membuat feature yang baik.

Meski tidak dapat mencakup keseluruhan landmark yang ada di Jakarta, buku ini cukup bisa mewakili keberadaan landmark terpenting tentang sejarah kota Jakarta. Landmark yang dibahas antara lain Monas, Taman Suropati, Senayan, Bunderan HI, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Tugu Tani, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Sunda Kelapa, Patung Sudirman, Tugu Pancoran, Taman Proklamasi, Rumah Pitung, Stasiun Kota, Museum Sumpah Pemuda, Halim Perdana Kusuma.

Perlu diapresiasi ikhtiar para mahasiswa LKM UNJ dalam mengupas landmark di Jakarta serta relasi sosialnya di ruang publik. Terlepas dari kekurangan yang terjadi, buku ini adalah sebuah gambaran tentang sekelompok mahasiswa yang bekerja keras untuk memaknai proses belajar sebagai suatu upaya mencari pengalaman di luar kelas—yang biasanya jadi tempat mereka duduk dengan manis dan menanti nilai IPK turun tiap semester.

Semoga muncul karya-karya selanjutnya dan tidak akan bernah bisa dihentikan oleh berbagai rintangan apapun. Karena sejatinya manusia akademik akan terus melahirkan pemikiran yang tidak mesti besar, tetapi berkesinambungan dan mencerahkan.
continue reading Sebuah Kisah di Pusaran Landmark Jakarta

Rabu, 26 Desember 2012

Sehari dalam Komunitas Bambu

"There is no end to education. It is not that you read a book, pass an examination, and finish with education. The whole of life, from the moment you are born to the moment you die, is a process of learning" Jiddu Krishnamurti



Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Saya selain menghabiskan waktu dengan belajar. Dalam konteks praksis, belajar adalah keluar dari kenyamanan, membawa diri untuk melihat hal yang belum pernah kita lihat, mengetahui apa yang belum pernah kita ketahui, mencari apa yang belum kita miliki, dan memadukan apa yang terpisah. Semua kita lakukan dalam rangka memaknai jalan hidup.

Pernah suatu ketika Saya membayangkan, suatu masa depan dimana kehidupan terlepas dari ketergantungan yang kita miliki saat ini, entah keluarga yang setiap kali kita andalkan jika ada kesulitan, teman yang selalu kita minta bantuannya, atau kekasih yang selalu kita ajak berbagi dalam suka maupun duka. Cepat atau lambat kita akan menghadapi siklus-siklus krisis. Lalu apa yang kita bisa perbuat selain memperkuat diri sendiri?

Kita tidak bisa berharap banyak dari apa yang ada di luar diri kita. Pada saat itulah Saya berpikir bahwa ada hal-hal yang perlu diantisipasi untuk menghadapi situasi krisis. Salah satu yang paling mungkin adalah bagaimana membekali diri menjadi orang yang mandiri. Kemandirian selalu identik dengan kemapanan. Lalu bagaimana mencapai suatu kemapanan?

Saya memaknai kehidupan itu seluas mungkin. Dari situ kemudian hal-hal lain yang berkait di dalamnya kita persiapkan. Hal yang paling tidak mungkin adalah bagaimana sesuatu hal kita inginkan tiba-tiba ada tanpa adanya proses. Apa esensinya? Kenapa harus ada proses? jawabannya hanya satu, kita diperintahkan untuk BELAJAR. 



Dalam rangka belajar, memperdalam ilmu, dan memperluas jaringan, Saya bersama adik-adik dari Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ bercengkrama dengan Bang JJ Rizal, seorang sejarawan muda yang dimiliki Indonesia.  Beliau juga pendiri Komunitas Bambu, lembaga riset di bidang humaniora dan penerbitan buku.

Pagi itu di Sekretariat Komunitas Bambu, Jl. Pala No. 4B Beji Timur Depok kami tiba kira-kira pukul 10.30 WIB. Dengan sambutan hangat dari beliau, kami langsung berkenalan dan dipersilahkan masuk. Tanpa basa-basi, obrolan ringan mulai mengisi pertumuan pagi itu. karena beliau adalah seorang sejarawan, banyak menggeluti sejarah Jakarta, maka obrolan ringan itu langsung mengerucut pada konteks sejarah dan kebudayaan jakarta.

Kritik-kritik terhadap pembangunan Jakarta beliau sampaikan pada Gubernur baru, Jokowi. "Kebijakan Anda itu tidak tepat sasaran!" begitu ia menegur Jokowi. Kebijakan seperti kartu pintar dan kartu sehat tidak lebih dari kebijakan populis dan tidak relevan dengan kebutuhan masalah jakarta saat ini. 

Beliau mengumpamakan "Menjadi Gubernur ibu kota itu harus memposisikan diri dengan Jakarta sebagai istri sendiri" ketusnya. 

Mengapa demikian?  "Ya kalau istri sendiri kan pasti tau siklusnya, kapan dia datang bulan, biasanya lebih sensitif". 

"Kalau jadi gubernur ya harus tau kapan waktunya Jakarta itu curah hujannya tinggi, apa yang dibutuhkan untuk menangani banjir" ungkapnya.

Banjir yang ada di Jakarta adalah korban dari pembangunan yang tidak terarah dan sesuai dengan rencana pembangunan kota Jakarta sejak zaman belanda. Sejak dulu, wilayah Jakarta Selatan adalah daerah yang tidak boleh dibangun jadi perumahan, karena harusnya menjadi daerah aliran air bila terjadi kelebihan dari Jakarta. Wilayah Pluit dipersiapkan untuk hutan bakau, sekarang malah dibangun Perumahan. jadi jangan salahkan banjir kalau sudah begini.



Sebagai orang yang menggeluti dunia kajian dan riset humaniora. Bang JJ Rizal membangun Komunitas Bambu dengan 12 karyawan yang berfungsi sebagai officer management. Sedangkan yang bergerak di bidang risetnya hanya beliau seorang, "Saya menganggap diri saya sendiri sebagai seorang lembaga riset"

Beliau juga memberikan kita sebuah pengalaman yang menarik tentang susah-payah membangun Komunitas Bambu selama belasan tahun, namun baru 5-6 tahun ini saja Komunitas Bambu mulai gencar menerbitkan buku yang saat ini percapai 200-an. Upaya ini tidak lain berangkat dari filosofi ingin mengenalkan generasi penerus tentang sejarah bangsa, agar kita semua mengenali seperti apa negara kita.

Tentang kehidupan, beliau berbagi tips "Kalau kalian bekerja dan tidak sedikitpun merasakan capek, berarti jalan hidup kalian sudah benar, seperti saya ini.."

Memang benar adanya, bahwa dalam hidup ada sesuatu yang perlu dikejar, sesuatu yang kita perjuangkan, sesuatu yang kita anggap sebagai jalan hidup atau passion. Begitulah jalannya sehingga kita bisa menikmati waktu yang terus berjalan seolah tidak pernah ada bosannya.
continue reading Sehari dalam Komunitas Bambu

Sabtu, 18 Agustus 2012

Perahu Kertas, The Movie of Friendship, Love, and Passion


“Hai Neptunus, apa kabar di laut biru? Perahu kertas yang kali ini akan membawakanmu kisah tentang perjalanan hatiku…”



Sudah banyak film yang diangkat dari kisah novel, namun tidak semua film membuat kepuasan hati pembaca novel terbalas. Banyak pembaca setia yang mengharapkan film dari novel kesayangannya akan sebagus imajinasi mereka, tapi tidak semua sutradara bisa menjawab penasaran itu. Namun tidak untuk Perahu Kertas dalam imajinasi saya yang cukup puas dengan penyajian sinematografi serta artistiknya.

Film Perahu Kertas diadaptasi dari novel Dewi ‘Dee’ Lestari yang tayang serentak di bioskop pada 16 Agustus.Novel yang terdiri dari 434 halaman tentu saja cukup panjang jika harus dipaksakan menjadi satu cerita film yang rata-rata durasinya 120 menitan. Ketika megetahui bahwa film Perahu Kertas disutradari oleh Hanung Bramantyo, ditambah Dee sebagai penulis skenario, saya yakin bahwa Perahu Kertas dalam medium film akan tetap ‘nikmat, mengalir, dan bermakna’ seperti novelnya. 

Saya rasa tidak salah untuk menontonnya sekedar mengambil jeda diselang Ramadhan yang akan menjelang epilognya. Justru film ini menjadi semakin bermakna, karena saya bisa merasakan nuansa yang benar-benar syahdu. Namun bukan karena suasana film ini bisa menarik, namun karena kualitas pesan yang baik.  

Adegan pembuka cukup memanjakan mata penonton dengan keindahan bawah laut dan deburan ombak. Sesuai dengan novelnya, dikisahkan seorang gadis bernama Kugy (Maudy Ayunda) yang akan menempuh kehidupan barunya sebagai mahasiswa di kota Bandung. Proses kepindahan Kugy dibantu oleh sahabatnya sejak kecil bernama Noni (Syvia Fully). Kugy yang memiliki hobi menulis dongeng memilih kuliah di jurusan Sastra. Oleh Noni dan pacarnya bernama Eko (Fauzan Smith), Kugy dinilai sebagai anak aneh yang memiliki hobi aneh pula, yaitu melipat perahu kertas dengan imajinasinya dan gaya Kugy yang selalu meletakkan jari telunjuk diatas kepala.

Kugy kemudian bertemu dengan sepupu Eko yang bernama Keenan (Adipati Dolken) yang berasal dari belanda dan kuliah di jurusan ekonomi. Salah satu dialog yang menurut saya menarik terjadi ketika Kugy bercerita mengenai rencana hidupnya setelah selesa kuliah di jurusan Sastra.



“Aku kuliah di Sastra. Kemudian lulus dan kerja sampai mapan. Setelah itu aku baru bisa jadi penulis dongeng”.

Tanggapan dari Keenan,”Oh kalau begitu kamu berputar dulu jadi orang lain, baru kamu kembali jadi diri kamu sendiri, begitu?”

Bagi Kugy, impian itu harus dikejar. Tapi ia juga realistis bahwa impiannya yang tak lazim bisa jadi akan membuat hidupnya menjadi sulit. Tapi setidaknya ia masih beruntung dizinkan kuliah di jurusan yang sesuai dengan minatnya. Keenan yang hobi melukis terpaksa masuk jurusan Ekonomi karena paksaan dari sang Ayah. Akhirnya Keenan lari dari rumah dan mengatakan kepada Kuggy di dalam masalah yang dihadapinya bahwa "Menyerah dengan realistis itu bedanya tipis"

Pembaca novel Perahu Kertas tentu tahu bahwa kisah yang dihadirkan Dee berlapis tapi saling terkait. Awalnya saya tidak yakin kisah itu dapat disampaikan dengan cair dalam film. Tapi nyatanya, Hanung berhasil menyampaikan kisah yang berlapis itu dengan apik. Terhalangnya perasaan cinta Kugy dan Keenan karena situasi akhirnya membuat mereka saling menjauh satu sama lain. Kugy mulai menjauh ketika ada sosok wanita bernama Wanda (Kymberly Ryder) yang menyukai Keenan. Keenan pun mengalami konflik dengan ayahnya akibat pilihannya untuk berhenti kuliah dan menekuni dunia melukis.

Dalam rasa kehilangan, Kugy dan Keenan mulai menemukan sosok yang mencintai mereka. Remi (Reza Rahadian) untuk Kugy dan Luhde (Elyzia Mulachela) untuk Keenan. Ketika Kugy dan Keenan mulai mencintai pasangan mereka dalam ‘pelarian’, mereka justru harus dipertemukan oleh takdir.

Perahu Kertas adalah cerita cinta dalam arti yang luas. Kisah cinta antar pasangan manusia yang juga sahabat, dibalut konflik untuk mencintai impian mereka. Berusaha untuk menjadi diri sendiri, mengikuti kata hati, mengejar passion, tanpa harus berubah jadi orang lain untuk sekadar mencintai. 

Kemudian, pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak pembaca dan penonton adalah apa yang dimaksud perahu kertas sebagai simbol cerita dalam film dan novel ini? 

Saya coba memaknai simbol tersebut, yang dimaksud perahu kertas adalah seorang individu yang mungkin saya diintrepretasikan sebagai Kugy, atau siapapun. Kemudian laut biru yang sering diimajinasikan dalam prolog film dan novel "Dee" adalah kehidupan yang dijalani. Kdang memang kita bisa menganggap bahwa hidup kita seperti air yang mengalir. Keluar dari mata air, Melewati batuan, mengaliri sungai, dan bermuara di lautan.

Hanung Bramantyo bersama Dee dan Titi DJ ikut ambil peran dalam film ini. Penasaran mereka bermain sebagai apa? Langsung saja lihat filmnya ya.

“Hai Nus, manusia satu itu muncul lagi. Apa kabar ya dia? Tunggu perahu kertasku ya.. cerita ini belum usai…,” (Kugy)



continue reading Perahu Kertas, The Movie of Friendship, Love, and Passion

Jumat, 17 Agustus 2012

Cycling Around The Village

Sepeda adalah kendaraan vital di Pare. Setiap orang bangga mengendarai sepeda dalam menjalani keseharian. Kemanapun mereka pergi, sepeda menjadi kendaraan pavorit dan gaya hidup. Baik orang tua, maupun anak muda.

Di Pare banyak sekali tempat penyewaan sepeda. Biasanya untuk para pelajar yang kursus menyewa sepeda untuk jangka waktu seminggu, dua minggu, ataupun sebulan. Biasanya rata-rata per bulan untuk sewa sepeda Rp50.000, per hari bisa Rp5.000, dan seminggu bisa mencapai Rp15.000

sepeda yang disewakan pun bermacam-macam, mulai dari Sepeda Gunung, Sepeda Fixie, Sepeda Mini, Sepeda Kuno - Seperti Ontel. Kita bisa memilih sesuai dengan minat kita. prosedur yang harus dilakukan oleh penyewa biasanya adalah menyerahkan Kartu Identitas, Seperti SIM, KTP, KTM (bagi mahasiswa).


Fun bike

Banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi dengan bersepeda di Pare, letaknnya yang dekat dengan Situs Bersejarah, seperti Candi Surowono. Jadi kalau mau jalan-jalan banyak pilihan. Kita juga bisa bersepeda keliling desa yang penuh dengan persawahan, dan pemandangan gunung di berbagai penjuru arah. 

Sambil bersepeda juga kita mengajak teman-teman untuk ikut bersama. Semakin banyak teman, semakin ceria suasana. Biasanya sehabis bersepada, tidak salah untuk mencoba berbagai jajanan khas Kampung Pare, seperti Ketan Susu dan Dawet Ireng.

Kegiatan bersepada seringkali ramai dilakukan pada sore hari sehabis aktivitas kursus, juga di akhir pekan untuk menghabiskan waktu liburan di sela-sela aktivitas yang sibuk.


Jalan yang lowong di kampung Inggris, Pare



Arah menuju Alun-alun Pare
continue reading Cycling Around The Village