Senin, 19 September 2011

Ramadhan, Puasa, dan Lebaran


SAYA TIDAK TAU PERSIS MANA YANG LEBIH BAIK antara ketiga hal itu. Ramadhan sebagai bulan bernuansa spiritual yang syahdu, puasa yang membentuk pribadi insan berwatak sabar, ikhlas, dan berbagi. Atau lebaran sebagai kultus hari raya yang melambangkan kesucian dan kemenangan. Semua adalah sebuah keutamaan yang memberikan kesan tersendiri. Terlebih sebagai muslim.

Meski demikian, ketiganya memiliki titik temu sebagai suatu garis biner. Hanya saja kita langka memaknai. Agama adalah hikmah, salah satu derajat bentukan tentang bagaimana cara kita memaknai ritus spiritual. Tanpa itu, hidup sebagai muslim ibarat padang kering tanpa air. Karenanya, agama menuntut pribadi sebagai religious man. Sebutan untuk pemeluk agama. Agar menjadi insan yang berkualitas dan terus belajar. Dalam Al Quran semua perintah selalu bertuju pada sebutan kualitas individu. Seperti Ya ayyuhalladzina amanu. 

Seruan pada ayat diatas ditujukan untuk orang-orang bersifat jamak, yakni termasuk individu beriman yang ada didalamnya. Banyak ayat di dalam Al Quran yang menuntut kita menjadi pribadi religius dalam artian selalu berupaya untuk berpikir dan taat melaksanakan perintah Allah SWT. Merasionalkan  agama dan merubahnya dari mitos kepada upaya mencerdasakan. Sebab banyak sekali ritus yang kurafat, mistis, dan irasional dalam agama yg sifatnya membodohi, seperti meminta pada kuburan, berdoa tanpa usaha, dan menerima takdir tanpa berikhtiar terlebih dahulu.

Agama adalah bagaimana seseorang menemukan dirinya sendiri. Taqlid dalam agama sangat dilarang, karena didalamnya tidak memiliki nilai pembelajaran. Juga terlepas dari pribadi muslim berkarakter.  Bahkan sebaliknya, Taqlid adalah simbol kebodohan. Berijtihad dengan ilmu akan mendapatkan pahala. Dengan demikian menjadi muslim berarti siap untuk mempelajari sebanyak mungkin ilmu. Agar kualitas diri semakin bertambah.

Penyair sufi asal Aceh, Hamzah Fansuri menyatakan dalam sajaknya bahwa dia mencari Allah di mana-mana, termasuk di Ka’bah. Tapi ternyata dia menemukan Allah di dalam dirinya sendiri. itulah kenapa sebabnya kualitas orang beragama selalu tergantung dari individu tersebut berusaha untuk mencari dan titik tolaknya adalah diri sendiri sebagai pribadi.

***

RAMADHAN MENGHANTAR KITA KEDALAM SUATU RUANG yang didalamnya terdapat bermacam figura bernuansa islami. Mulai dari tayangan televisi sampai kepada ragam ibadah dengan kelipatan pahala. Didalamnya seolah kita mendapatkan pengalaman spirit agama yang kental. Meski sering kali kita selalu lupa ketika Ramadhan berlalu. Iming-iming bulan pembinaan, hanya jadi momentum.

Biasanya kita lupa, bahwa sebenarnya Ramadhan itu hanya bulan persinggahan yang tidak selalu ada setiap waktu. Ia akan meninggalkan kita, atau kita yang meninggalkannya. Nuansa ramadhan juga tidak dapat djadikan tolak ukur, karena kebanyakan kita jarang sekali mengambil nilai-nilai dari esensi berpuasa setelah Ramadhan berakhir. Bahkan kita hanya mementingkan simbol artifisialnya saja. Seperti baju baru, hidangan berbuda sekaligus santap sahur, serta jalan-jalan ketika mudik.

Jika kita tinjau dari terapan syariat, Ramadhan sebenarnya tidak lebih istimewa dari bulan lain. Istilah bulan istimewa dalam islam adalah bulan haram. Institusi Arab pra-Islam yang melembagakan bulan tersebut untuk meredam pertumpahan darah yang kerap terjadi di jazirah tersebut. Bulan-bulan itu adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Pada bulan-bulan ini, setiap bentuk kekerasan dan peperangan dilarang.

Ramadhan menjadi penting karena momen Nuzulul Quran serta satu-satunya bulan yang disebut dalam Al Quran pada ayat yang sama. Namun, terlepas dari itu semua saya kira di zaman ini orang sudah mulai lupa bagaimana cara memaknai momen sakral tersebut.  Ramadhan hanya diisi dengan Ramainya acara televisi yang sama sekali tidak islami secara makna, hanya islami sebagai simbol.

Pada dasarnya menurut hemat saya, Ramadhan menjadi istimewa karena bentukan budaya kita. Secara majemuk kita merasa bahwa Ramadhan menjadi berbeda dari bulan lainnya karena disini orang bermai-ramai melakukan kebiasaan yang tidak rutin dilakukan di bulan lainnya. Sehingga kerasan sebagai momentum yang islami secara ritual. Padahal hanya sedikit sekali orang yg memanfaatkannya sebagai kesempatan taqarrab pada Allah.

Selebihnya masyarakat kita masygul menjalani Ramadhan dengan kebiasaan membakar petasan, meramaikan mall, serta sibuk menentukan waktu buka bersama. Tarawih kian hari mengalami pengurangan jamaah.

***

PUASA BUKAN IBADAH YANG BARU, dalam Al Quran disebutkan bahwa puasa telah juga dilakukan orang-orang sebelum islam. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu.

Agama lain juga melakukan puasa. Pemeluk agama Yahudi misalnya, berpuasa selama 25 jam, pada hari kesepuluh Tishrei atau yang dikenal dengan hari Yom Kippur, setiap tahunnya. Demikian juga pemeluk agama Kristen Timur, yang berpuasa selama 40 hari sebelum perayaan paskah.

Meski demikian tujuan puasa bagi setiap agama berbeda-beda. Dalam islam, jejak arkeologis aya-ayat Al Quran puasa terdapat pada enam serial ayat yang mengandung perintah untuk melakukan ibadah tersebut.

Lima diantaranya merupakan ayat-ayat penalti. Yakni ayat-ayat yang mengatur hukuman bagi seseorang yang telah melakukan kesalahan. Dua diantara ayat penalti ini berhubungan dengan ritual haji (Q. 2:196; 5:95), dua lainnya berkaitan dengan hubungan sosial: hubungan suami-istri (Q. 58:4) dan janji (Q. 5:89), serta satu berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan (Q. 4:92).

Menarik bahwa perintah berpuasa dalam kelima ayat tersebut selalu menjadi alternatif terakhir, dari satu atau dua opsi pertama yang jauh lebih sulit yang secara umum berkaitan dengan uang dan makanan. Yakni mengeluarkan sedekah dalam jumlah tertentu, membebaskan budak, atau memberi makan orang-orang miskin.

Dapat kita ambil hipotesis ayat-ayat tersebut, bahwa tindak berpuasa pada awalnya adalah suatu bentuk hukuman primordial, bagi seseorang yang tidak memiliki sarana apa-apa untuk menebus kesalahan yang ia perbuat. Ia adalah hukuman fisik orang pertama, yakni hukuman yang berasal dari kesadaran diri sendiri.

Agar membedakan dengan hukuman fisik orang kedua, seperti hukuman potong tangan, dan cambuk, yang memerlukan keberadaan orang kedua sebagai eksekutor pelaksanaan hukuman tersebut.

Atau hukuman non fisik, macam denda membebaskan budak, dan memberi makan orang miskin, yang semuanya bersandar pada uang dan harta yang dimiliki si terhukum. Singkat kata, dalam jenis hukuman primordial seperti puasa ini, hukuman diposisikan sebagai tindakan kesadaran diri sendiri untuk menebus kesalahan.

Lalu kenapa kita puasa di bulan Ramadhan ? dalam ayat-ayat Al Quran sebenarnya tidak ada kalimat tegas bahwa kita wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Hanya Pengenalan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa, baru hadir di ayat 2:185, yang merevisi term hari-hari tertentu, ayyam ma’dudat, kemudian diteruskan dalam Hadits Nabi Muhammad  SAW "Datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan berkah, Allah azzawajalla mewajibkan kalian berpuasa pada bulan itu."

Dalam puasa Ramadhan, puasa dianggap sebagai sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin karena posisi puasa yang istimewa itulah, ayat tentang doa (Q. 2:186) diselipkan ditengah-tengah ayat tentang pewajiban puasa di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan “Puasa itu milikku (Tuhan) dan hanya Aku jua yang akan membalasnya”. Puasa adalah tindak beribadah yang sangat istimewa

Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa, yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan, banyak sekali menyimpan makna dalam konteks sosial. Hendaknya kita melakukan refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan yang berlangsung selama Ramadhan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Maksudnya, puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.

***

TAKBIR BERGEMA, JAMAAH MULAI BERSIAP MENUJU LAPANG. Sementara itu umat islam bersahut meneriakkan takbir Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Tanda bahwa Lebaran sudah tiba. Senyum lebar menyisip di wajah, orang-orang sibuk bersilaturahim, permohonan maaf melenggang pada setiap kalimat. Bagi kita ini adalah suatu momen untuk saling menebus kesalahan. Dengan doa Taqaabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.

Pada budaya Indonesia Idul Fitri kita kenal dengan Lebaran. Namun kalau kita mau tarik tak terlampau jelas asal-usul kata “lebaran” ini. Ada yang berkata bahwa ia berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata “lebar” yang berarti “selesai”. Kemudian kata “lebar” diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan diberi akhiran “an”, sehingga menjadi kosa kata umum untuk sebuah perayaan setelah selesai menjalankan puasa.

Ada juga yang berkata, lebaran berasal dari bahasa Betawi, “lebar” yang berarti “luas”, yaitu keluasan hati seseorang setelah melakukan puasa. Orang-orang Madura punya kata yang mirip, yaitu “lober” untuk menggambarkan selesainya sebuah acara, yaitu puasa Ramadan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lebaran akhirnya dimaknai sebagai hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan; Idul Fitri.

Terlepas dari itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, lebaran selalu diikuti dengan mudik atau pulang kampung. Ribuan manusia bergerak dari kota ke desa untuk berjumpa dengan orang-orang tercinta. Mereka tak peduli dengan harga tiket yang membubung tinggi, kesengsaraan di jalan karena berjubelnya manusia, hingga resiko kecelakaan yang kerap terjadi. Mudik lebaran menghipnotis banyak orang.

Pertanyaannya, mengapa orang begitu bersemangat untuk mudik ? Pertama, mudik dianggap punya makna spiritual juga kebudayaan. Setelah memohon ampun kepada Allah sepanjang bulan Ramadan, seseorang bermaksud meminta maaf terhadap orang tua, sanak saudara, dan tetangga di kampung. Dalam tradisi Jawa juga lebaran adalah salah satu ritus tahunan untuk sungkem pada orang tua. Juga mengunjungi kuburan para leluhur.

Kedua, menghadapi kompleksitas masalah di kota, seseorang kadang dihinggapi perasaan untuk kembali ke masa lalu saja. Ia seperti hendak melipat waktu, menuju ke masa kanak-kanak dan masa remaja. Ketiga, untuk membuktikan usaha bagi para perantau untuk berbakti rejeki bagi kerabat di kampung. Bayangkan selama mudik lebaran 2011 ini dana yang mengalir ke desa mencapai Rp 61 Triliun. Ini adalah bukti bahwa lebaran merupakan momentum berbagi rejeki sekaligus upaya distribusi pendapatan yang tersentralisir.

Kalau saja kita mau merenungi lebih jauh, sebenarnya lebaran dapat kita maknai secara multideimensi. Secara kultural lebaran dimaknai untuk halal bi halal yang tidak kita temukan di budaya manapun selain Indonesia. Secara teologis lebaran dimaknai sebentuk peristiwa iman, peristiwa yang dipercaya dan dinyatakan terkait dengan Sang Ilahi. Secara humanis lebaran dimaknai untuk bisa saling berbagi rejeki dan menjalin hubungan sosial yang rekat.

Saat ini, hampir sebulan selepas lebaran. Meninggalkan bulan Ramadhan. Serta tidak lagi berpuasa. Tapi sudahkan kita menerapkan nilai-nilai yang telah kita bangun selama sebulan penuh. Dekat dengan Allah. Rajin beribadah. Hati yang tenang. Serta momentum yang sakral. Hal yang terpenting bagi saya justru bukan pada Ramadhan dan lebaran. Tapi bagaimana kita setelah itu ? 
continue reading Ramadhan, Puasa, dan Lebaran

Jumat, 16 September 2011

Sore, Jakarta, dan Harapan

Meski sore menghentikan siang
dan memaksa matahari tenggelam

Rona pada Jakarta tidak terhenti
Ia tetap gagah dengan cakar yang melangit
Menjulang awan, menusuk ruang
Menyangga kota, di rongga jalanan

Kehidupan akan tetap ada, kawan
Melanjutkan sisa-sisa harapan
yang belum sempat kita gapai bersama

Hamzah Ichwal
Jakarta 16 September 2011


continue reading Sore, Jakarta, dan Harapan