Jumat, 05 Oktober 2007

Perempuan di Tengah Perhelatan Konflik: Merajut Asa di Atas Kerikil Derita (Narasi Dan Solusi Perdamaian Atas Nurani Kaum Perempuan Yang Tertindas)

“Aku diam membisu ketika musuh menyiksaku:
Dengan besi dan baja;
Jiwaku menderita tanpa kepastian
Kisah heroik buat anak-anak.

Aku membisu karena kubicara dengan diriku sendiri:
Adakah orang yang masuk hutan dan lari akibat lebah hutan;
Membuka mulutnya meminta belas kasihan?”
(Nguyen Chi Thien)

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.  Konflik merupakan gejala sosial  kemasyarakatan, menjadi “jiwa” di tengah kehidupan, Selalu menyertai seiring terjadinya interaksi. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik yang merebak di abad modern kini tak lagi muncul secara alami. Konflik yang berkembang kebanyakan hasil suatu rekayasa sosial oleh pihak-pihak yang hendak mempertahankan kekuasaannya. Segelintir orang ini teramat berkepentingan menjajah dan menindas individu maupun kelompok-kelompok masyarakat yang lemah dan rentan dalam berbagai dimensinya, seperti ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi perempuan dengan segala keterbatasan yang dimiliki.

Kekuasaan dan kepentingan telah membuat manusia menghempas jiwa tidak berdosa, menyiksa kaum yang tidak berdaya (baca: perempuan). Mereka menjadi sasaran keberangusan manusia yang diselimuti kerakusan naif. Kerikil penderitaan mengiringi hari para wanita yang menggendong anaknya penuh kasih sayang, dan tak gentar menjalani cobaan demi mempertahankan kehormatan meski terhalang dengan perilaku bejat para penindas.

Konflik bukanlah persoalan yang baru di indonesia. Sejak zaman kerajaan, kolonisasi Belanda dan Jepang hingga pasca kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru masyarakat di nusantara ini telah mengalami langsung atau tidak langsung akibat-akibat buruk konflik yang tiada berkesudahan. Perang telah membawa bencana besar bagi penduduk negeri ini. Tak terhitung jumlah konflik sosial yang berbau SARA merebak di Indonesia. Tak terhitung pula jumlah korban jiwa dan harta benda. Belum lagi derita yang harus ditanggung oleh mereka yang tersisa akibat konflik itu.

Kekerasan Terhadap Perempuan


Kekerasan apapun bentuknya (fisik maupun mental) saat ini menjadi potret suram kehidupan masyarakat kita. Kekerasan ada di mana-mana dan di berbagai tingkatan sosial, oleh perorangan maupun kelompok. Masalahnya, di tengah masyarakat kita yang ditimpa krisis dalam berbagai dimensi, kemampuan kita untuk mengendalikan nilai-nilai hak asasi, toleransi, saling percaya dan keberagaman telah hancur. Aneka kearifan lokal yang pernah hidup di banyak kelompok masyarakat di nusantara ini bagai lenyap ditelan bumi. Kita telah kehilangan arah dan makna sosial kita.

Dalam kondisi tersebut, perhatian masyarakat kita terhadap pentingnya perjuangan melawan kekerasan yang berbasis gender amatlah jauh dari harapan. Kekerasan terhadap perempuan belum menjadi pusat perhatian kita apalagi dalam situasi konflik. Ketidakseimbangan kuasa antara laki-laki dan perempuan jelas terlihat, apalagi dalam tautan kepentingan negara yang otoriter militeristik Orde Baru. Kalangan perempuan di daerah konflik tersudutkan menjadi kaum pinggiran yang dilumpuhkan meskipun berbagai terobosan kreatif untuk meredakan konflik justru muncul dari mereka. Karena sesungguhnya, jujur dapat dikatakan bahwa pemicu dan penikmat konflik itu mayoritas kaum laki-laki. Nilai-nilai untuk berperang dan membunuh bukanlah warisan sejarah perempuan. Kaum laki-lakilah di berbagai tempat di muka bumi dan sepanjang sejarah umat manusia yang menghadirkannya.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang umum terjadi di masyarakat kita antara lain yaitu: Perkosaan (termasuk perkosaan dalam perkawinan, perkosaan sebagai alat represi militer terhadap kelompok-kelompok tertentu), Kekerasan dalam rumah tangga, Perlakuan kasar terhadap anak-anak, ketiadaan sarana kesehatan dan kekurangan gizi bagi anak-anak, Pelecehan seksual dan emosi, Pelacuran, Pornografi, Pengendalian jumlah penduduk, sterilisasi, Eksploitasi pengungsi, Kekerasan politik (menjadi sasaran intimidasi), Penghentian pelayanan negara terhadap warga yang melahirkan tekanan dan beban ganda terhadap perempuan.

Perempuan di wilayah konflik, baik sebagai penduduk setempat maupun yang menjadi pengungsi, langsung atau tidak langsung mengalami berbagai bentuk kekerasan tersebut. Perlakuan dan ancaman itu datang dari pihak-pihak yang sedang berkonflik, keluarga maupun kelompoknya. Di Aceh, sejak tahun 1998-2000 tercatat 189 orang mengalami tindak kekerasan; 56 orang ditembak, 8 orang diculik, 7 dibunuh, 26 dianiaya, 19 dijarah, 9 mengalami kekerasan dalam rumah tangga, 40 diintimidasi, 20 diperkosa. Tahun 2003, 23 orang dituduh terlibat GAM. Selama pemberlakuan darurat sipil 2004-2005, 19 orang diperkosa, 8 mengalami pelecehan seksual. 

Di Poso, selama konflik berlangsung 7 perempuan menjadi korban penembakan. Tahun 2003, 2 orang dibunuh. Tahun 2004, 4 perempuan menjadi korban penembakan. Di Papua, selama DOM diberlakukan sejak 1965-1990 dilaporkan 190 perempuan menjadi korban kekerasan, 7 orang disiksa sampai cacat, 22 orang diperkosa, 35 diperkosa dan disiksa, 27 orang disiksa sampai mati, 8 orang ditahan dan diperkosa, 8 orang diperkosa dan ditembak mati, 25 orang ditembak mati, 7 orang dibunuh secara massal, 51 orang diperkosa dan disiksa sampai mati.

Kekerasan tersebut telah mematikan perkembangan kemampuan kaum perempuan di wilayah konflik melakukan peran dan fungsi sosialnya secara wajar dan bermakna. Mereka kehilangan waktu hidup mereka dan terjerumus ke dalam ketakpastian masa depan yang suram di tanah airnya sendiri. Perubahan sosial yang mendadak melahirkan perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan di wilayah konflik. Oleh karena keluarga harus bertahan hidup, maka banyak perempuan keluarga miskin terpaksa menjual dirinya sebagai pembantu dan pelacur-pelacur baru. Banyak perempuan mengalami berbagai penyakit sebagai akibat mengalami kekerasan. Kekerasan itu tak terungkapkan karena mereka sengaja dibungkam sehingga mimpi buruk itu tak terucapkan lagi. Sungguh prihatin!!

Perempuan dan Situasi Konflik


Di tengah perhelatan situasi konflik yang semakin menderu, peran perempuan semakin tidak menentu dalam konteks esensialisme, tapi jelas dalam konteks ketertindasan. Artinya, keberadaan perempuan hanya dijadikan objek para penindas yang tidak memahami arti kemanusiaan. Jelas hal tersebut tidak dapat dibiarkan karena keberadaan perempuan sangat membantu terjadinya perdamaian, perempuan adalah kasih sayang. 
 
Situasi perempuan di wilayah konflik berada dalam beberapa situasi. Pertama, perempuan sebagai identitas kelompok. Dalam konflik bersenjata perempuan seringkali dijadikan sasaran oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Posisi perempuan dalam situasi konflik sering dijadikan sasaran kekerasan, baik berupa penyanderaan sampai kepada pembunuhan. Pertaruhan mencakup hidup dan mati serta harga diri suatu kelompok. Contohnya kerusuhan Maluku yang berawal dari dibunuhnya seorang wanita hamil. Menilik lebih jauh hal ini, sungguh sangat memilukan, pasalnya wanita hanya dijadikan sasaran para pengecut.

Posisi kedua perempuan dalam wilayah konflik adalah sebagai tameng. Dalam situasi konflik perempuan juga sering dijadikan tameng. Di Aceh, untuk menghindari penyerangan dari pihak-pihak yang berkonflik, masyarakat meminta perempuan untuk beramai-ramai menempati sebuah rumah. Di Maluku, perempuan diminta menghadapi kelompok garis depan untuk menghadang pihak lawan. Hal ini bukanlah hal yang layak melihat posisi perempuan dalam kehidupan yang menjunjung tinggi nilai kehidupan.

Ketiga, perempuan objek kekerasan seksual. Konsentrasi kelompok bersenjata di daerah konflik juga menimbulkan persoalan obyektifitas perempuan secara seksual. Di Aceh, Poso, dan NTT menunjukkan banyak kasus penghamilan yang dilakukan kelompok bersenjata, baik melalui pacaran maupun paksaan. Dalam situasi itu, perempuan dan masyarakat tidak mempunyai cukup daya tolak untuk menghentikan pengobjekan ini. Situasi ini juga berdampak buruk pada status kesehatan perempuan. Mereka rentan tertulas HIV/AIDS dan pemaksaan aborsi. Imbasnya menyentuh ranah regenerasi bangsa yang terputus.

Posisi keempat, perempuan di wilayah konflik mengalami beban ganda. Di Aceh pada masa DOM terdapat 23.366 janda.  Dalam situasi ini perempuan harus mengambil alih peran yang biasanya dijalankan laki-laki. Di Maluku, perempuan selain harus menanggung beban untuk keluarganya, mereka juga menanggung beban untuk melayani kebutuhan sehari-hari aparat keamanan, yang dikenal sebagai ”mama piara”, yaitu para ibu yang diminta oleh aparat keamanan yang sedang bertugas untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dari mulai makan minum dan mencuci baju.

Gambaran tentang posisi perempuan di atas sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa konflik sebenarnya tidak memberikan kontribusi yang positif bagi perempuan. Konflik bagi perempuan adalah sebuah penderitaan yang berkepanjangan yang tidak pernah ia inginkan. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Sudah terlampau banyak perempuan yang menjadi korban. Kita tidak bisa berdiam diri melihat penderitaan itu. Membiarkannya menderita, sama halnya kita melakukan suatu kejahatan kemanusiaan.

Perempuan: Peacemaker Konflik


Sudah saatnya perempuan menjadi inspirator pencipta perdamaian (peacemaker) dimanapun dan kapanpun terjadi konflik. Perempuan adalah makhluk istimewa yang mempunyai perasaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan mewujudkan perdamaian. Rasa cinta dan kasih sayang yang dimiliki perempuan mampu melunakkan tajamnya parang, serta meredam riuhnya deruh peluru. Keberadaanya bak penyejuk di tengah panasnya perhelatan konflik.

Upaya untuk melepaskan penderitaan perempuan di wilayah konflik bukan pekerjaan mudah. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memberi perhatian dan kesempatan pada perempuan untuk aktif dalam menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Seringkali, upaya-upaya yang dilakukan perempuan untuk membangun perdamaian tidak direspon secara positif, baik oleh pihak yang bertikai atau pihak-pihak yang akan menjadi fasilitator perdamaian. Padahal sejumlah upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh perempuan banyak membuahkan hasil yang positif bagi perkembangan kemanusiaan.

Di samping tidak diresponnya upaya-upaya perempuan dalam menyelesaikan konflik, sejumlah resolusi yang dilakukan oleh berbagai pihak, sering perempuan tidak banyak terlibat secara aktif. Perjanjian Malino beberapa tahun yang lalu misalkan, pelibatan perempuan sebatas pada aspek simbolis, bukan pada aspek substansial yang secara nyata memberikan kontribusi positif bagi perempuan. Akibatnya pasca perjanjian konflik bias jadi sedikit mereda, namun penderitaan perempuan tetap saja berlangsung.

Dalam konteks ini maka, peran konkrit yang bisa dilakukan adalah mendorong keterlibatan perempuan dalam penyelesaian konflik, baik penyelesaian konflik yang menjadi inisiatif perempuan maupun penyelesaian konflik yang dimotori oleh pihak-pihak yang bertikai. Upaya ini masih minim dilakukan, bahkan oleh pemerintah sekalipun yang sebenarnya bertanggung jawab atas segala insiden konflik di negeri ini. Jangankan untuk mempunyai perhatian terhadap upaya-upaya perempuan dalam penyelesaian konflik, memberi bantuan terhadap para korban saja masih sulit dan berbelit.

Studi yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan bagi perempuan korban konflik di Poso beberapa tahun lalu menunjukkan bagaimana respon dan kebijakan pemerintah daerah terhadap penanganan perempuan sebagai korban konflik cukup minim.  Minimnya perhatian pemerintah dalam hal ini dapat direpresentasikan dari minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah daerah terhadap perempuan yang menjadi korban, yang membutuhkan banyak sekali bantuan, dibandingkan pos-pos anggaran daerah yang lainnya. Fakta ini ini jelas menunjukkan bagaimana perempuan bukanlah prioritas, sekalipun mereka telah menjadi korban yang paling berat.

Memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam resolusi konflik adalah cara yang mungkin bisa dilakukan, karena pada dasarnya penyelesaian konflik tidak saja terletak pada pihak-pihak yang bertikai, tetapi juga pihak yang menjadi korban. Justru mereka yang menjadi korban harus diprioritaskan keterlibatannya. Di samping itu perhatian secara khusus terhadap penanganan korban konflik sudah seharusnya tidak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga peran pemerintah harus lebih nyata melalui sejumlah kebijakan yang berpihak kepada perempuan yang menjadi korban.

Menyoal Peran Pemerintah

Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi tentu penghormatan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia amat tinggi demi melindungi perempuan. Negara memiliki kewajiban moral dan politik (kekuasaan) untuk melaksanakan perlindungan terhadap semua warga negaranya secara adil dan setara. Artinya, prularisme hak atas perempuan harus terwujud dalam berbagai interpretasi. Namun, bagaimana bila pelanggar HAM itu sendiri adalah negara (aparat negara). Atau, apa yang akan pemerintah lakukan bila pelaku atau pemicu konflik adalah orang atau kelompok yang bersekutu dengan negara untuk melakukan kerusuhan sosial ?

Pengalaman membuktikan bahwa negara (pemerintah) melalui aparat belakangan ini justru terlibat banyak kasus pelanggaran HAM dan ambil bagian (langsung atau tidak langsung) dalam berbagai konflik sosial di Indonesia. Kalau sudah begini, upaya penghormatan, penghargaan terhadap HAM hanya omong kosong. Apalagi diminta pertanggungjawabannya untuk melindungi kaum perempuan di wilayah konflik terhadap impak konflik terkait.

Bagi kalangan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok perempuan di wilayah konflik, telah disediakan instrumen hak asasi manusia yang memiliki kekuatan berskala internasional yang dapat dipergunakan untuk menuntut pihak-pihak pelaku apakah itu negara maupun kelompok sosial tertentu. Kekuatan itu tertuang dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Konvensi Sosial Politik dan Konvensi Ekonomi, Sosial, Budaya, Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Anti KDRT No.23/2004, UU Pengadilan HAM No.26/2000, Konvensi Genewa dan Statuta Roma.

Ada beberapa hal yang mesti dilakukan pemerintah demi mewujudkan perdamaian, tidak hanya itu pemerintah juga harus menyelamatkan kaum perempuan sebagai bentuk kepedulian dalam mengatasi masalai ini. Pertama, Pemerintah lokal harus membuat Perda perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan akibat konflik. Dengan itu terdapat acuan yang jelas mengenai permasalahan terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan. Apalagi dengan maraknya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat lebih universal dalam menetapkan Perda (Peraturan Daerah) ditengah keberagaman karakter kedaerahan.

Kedua, pemerintah setempat segera membangun sarana layanan untuk perempuan korban kekerasan bahkan dalam situasi damai. Hal yang harus diperhatikan dalam hal ini yaitu keterjangkauan (achievable) dari aparat pemerintahan agar layanan yang diberikan dapat lebih maksimal. Selain itu, birokrasi yang praktis dan tidak berbelit-belit harus menyertai jalannya program ini demi kemudahan kaum perempuan dalam mengakses layanan tersebut.  

Ketiga, Pemerintah setempat juga harus melakukan pengawasan ketat terhadap berbagai aparat negara (keamanan) yang bertugas di wilayah konflik sehingga tak melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Ada baiknya mereka diberikan arahan moral terlebih dahulu sebelum melakukan pengawasan. Pentingnya memberikan arahan moral agar mereka menyadari nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manuasi secara integral dan bertanggung jawab. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk.  

Keempat, Pemerintah setempat harus menjamin keselamatan aktivis perempuan, aktivis HAM dan aktivis kemanusiaan lainnya dalam melakukan kerja-kerjanya di wilayah konflik. Keberadaan mereka menjadi inspirator di tengah situasi konflik. Para perempuan yang tertindas harus di berikan kesadaran kritis atas realita yang terjadi, dan meningggalkan kesadaran naif serta kesadaran magis ala Paulo Freire yang selalu beradaptasi serta meromantisa realita penderiataan.

Kelima, Tugas pemerintah pusat antara lain meninjau ulang kebijakan perpanjangan operasi militer di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua, menindak tegas aparat keamanan yang terlibat dalam skenario konflik di berbagai wilayah, menghukum pasukan gelap yang kerap memperkeruh situasi dan menghukum aparat daerah maupun tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat skenario konflik. Pemerintah pusat perlu mendesak pihak kepolisian dari pusat sampai daerah agar menyediakan layanan khusus bagi perempuan korban kekerasan.

Keenam, Pemerintah pusat melalui Departemen Sosial dan Tim Prasarana Wilayah harus memberikan jaminan hidup dan rumah tinggal bagi para pengungsi untuk melanjutkan hidup mereka. Karena, keadaan serta infrastruktur pasca konflik tidak memungkinkan untuk rehabilitasi tempat tinggal serta memenuhi kebutuhan mereka dalam waktu singkat. Rehabilitasi tempat konflik meliputi sosial, politik, ekonomi, dsb.  

Ketujuh, Pemerintah pusat mesti meninjau kembali tiap upaya penghentian konflik dengan pendekatan militer. Hal in sangat erat hubungannya dengan evaluasi serta controlling dalam mewujudkan perdamaian di wilayah konflik. Proses ini harus ditidaklanjuti secara kontinu seiring berjalannya upaya perdamaian demi hasil yang maksimal. Dalam hal ini seluruh elemen terkait (stakeholder) harus ambil bagian dalam pembenahan upaya pedamaian.
   
Sederhananya, peran pemerintah sangat diharapkan dalam menciptakan perdamaian di wilayah konflik. Terutama keselamatan kaum perempuan demi kelanjutan regenerasi bangsa. Rakyat sangat mendamba partisipasi pemerintah dalam menghadapi kesewenangan para penindas yang memupus habis harapan rakyat dalam mewujudkan kestuan bangsa dalam konteks nasionalisme.
   
Penulis berharap kita bisa saling bekerjasama baik aparat maupun warga negara daam mewujudkan perdamaian berbasis gender. Masing-masing menjalankan fungsi, namun masih dalam kesatuan (convergence) tujuan demi terwujudnya persamaan hak dan partisipasi perempuan dalam cakupan prularisme. Dalam mewujudkan hal itu perlu adanya koordinasi yang baik dan saling memahami demi terhindarnyakesalahpahaman.      

___________________________________________________
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Buku

Smith, William A. Conscientizacao  Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: pustaka pelajar, 2001

Artikel

Merajut Asa di Atas Puing: Solidaritas Untuk Perempuan Pengungsi, Press Release Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2005
Perempuan di Wilayah Konflik: Merajut Asa di Atas Puing, Kalyanamitra, LBH-Apik Jakarta; KontraS; Truk; JKB; Sekitar Kita; ELSAM; Suara Ibu Peduli; Yayasan Jurnal Perempuan
Beri Kesempatan Perempuan Bersuara, Eko Bambang Subiyantoro

Website

http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/1/sisipan1.htm
www.jurnalperempuan.com
www.wikipedia.org















continue reading Perempuan di Tengah Perhelatan Konflik: Merajut Asa di Atas Kerikil Derita (Narasi Dan Solusi Perdamaian Atas Nurani Kaum Perempuan Yang Tertindas)

Kamis, 20 September 2007

Ramadhan dan Fenomena Kamuflase Agama

Bulan Ramadhan,  penuh berkah yang menjadi ajang kontemplasi spiritual muslim untuk mencapai tingkat puasa sesungguhnya, dengan tujuan akhir menggapai “Title” Taqwa tanpa pelantikan nyata, namun bersenyawa lewat aksi kesadaran religius melalui ibadah secara berkelanjutan (Istiqamah). 


Berbagai nuansa tayangan televisi mulai menggejala di tengah keberkahan bulan penuh hikmat keridhoan. Dengan berbagai tayangan yang seolah menjadi representasi ritual keagamaan. Mulai dari sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi diformat sedemikian rupa dengan aneka ceramah keagamaan dan sinetron agama. Bahkan, iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan. Tidak hanya itu, acara lawak pun disusupi muatan religi, meski sesekali agama dijadikan bahan tertawan.  

Semua tayangan televisi dalam titik ini seakan di "sembah" pemirsa, Bahkan mengalahkan berbagai pengajian yang diadakan di pesantren, masjid, dan mushala. Televisi menjadi "kiblat" manusia untuk menentukan benar-tidaknya ajaran agama yang diyakini. Dengan demikian, agama tidak lagi populer untuk dikaji di berbagai pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga lain. Agama dikaji dan dijalankan berdasarkan apa yang dikatakan televisi. Kebenaran agama tidak lagi melalui dialog dan perenungan spiritual yang dalam, namun kebenaran "mandek" dan terparadigma dengan sendirinya oleh rutinitas acara televisi.

Berbicara agama (Islam), maka yang harus kita pahami adalah mempustakakan segala hal pada Al Quran dan Sunnah. Namun, bila fenomena ini terus berlanjut akan berakibat pada terbentuknya atmosfer kamuflase ritual agama dalam konteks peracunan muatan-muatan murni religius Ilahiah. Karena, mereka yang memposisikan diri menjadi orang shaleh pada sinetron agama bukan melandaskan segala amal pada iman, tapi lebih kepada tuntutan skenario, bahkan keuntungan materil.

Kamuflase keagamaan di televisi mampu mengalahkan ritualitas-praktis yang selama ini dijalankan, sebagian acara menarik (sinetron agama) ditayangkan bersamaan dengan waktu salat wajib dan tarawih, tadarus pun dilalaikan. Gosip masih menjadi tontonan asyik para pegiat selebritis. Setidaknya pada bulan suci ini kita kurangi hal-hal yang berbau Ghibah apalagi bila menjerumus kepada fitnah. Mustahil keberkahan Ramadhan dapat kita raih dengan menonton acara televisi, bila acara yang kita tonton jauh dari nilai-nilai hakikat keagamaan.

Mengakar (Sebab) Kamuflase

Untuk menjelajahi fenomena tersebut lebih dalam, mencari sebab timbulnya budaya agama yang dikamuflasekan kedalam berbagai interpretasi, maka yang dibutuhkan adalah sejauh mana kita berintrosfeksi. Terkadang untuk hal yang begitu dekat dengan diri saja masih sering lalai untuk dibenahi, apalagi mentransformasikan apa yang telah kita peroleh untuk kesalehan umat.  

Dalam perspektif penulis, setidaknya ada beberapa hal yang membuat kita begitu konsisten dalam kamuflase ritual ini. Pertama, dangkalnya pemahaman atas ajaran agama. Ibadah puasa yang dijalankan masyarakat selama ini ternyata terjebak dalam pragmatisme berupa fiqih oriented. Asal berpuasa dengan tidak makan dan minum, maka puasanya sah. Orang yang terjebak fiqih oriented akan memahami puasa secara dangkal. Sehingga, pemanfaatan bulan ramadhan sebagai bulan pelipatgandaan amal sebagai motivasi dalam beribadah mulai luntur. Pencapaian target ilahiyah melalui predikat taqwa pun tidak tercapai. Tidak ada yang patut kita tuduh, tetapi hati yang teduh menjadi bening ditengah keruhnya situasi.  

Kedua, kemenangan budaya pasar. Dalam hal ini yang dimaksud budaya pasar merujuk pada budaya masyarakat yang penuh tipu daya (kamuflase) dan selalu mementingkan materi. Akhirnya berdampak pada perihal sehari-hari lewat tontonan televisi, dan tindakan semu esnsi keagamaan, begitu tertipu oleh simbol maya keduniaan. Lain halnya dengan budaya agamis yang identik dengan kejujuran dan jauh dari aspek hedonisme, identik dengan sufisme. Dalam konteks sekarang, budaya pasar telah mengalahkan budaya masjid. Berbagai tayangan televisi yang merupakan elemen budaya pasar kini telah mengalahkan "tayangan" yang didesain pengurus masjid.

Merujuk Hakikat Iman


Berujung pada perbaikan dengan landasan iman, layaknya kesunyian begitu tenang bila dipandang sebagai perihal nyata ditengah semu simbolik religius. Kebanyakan orang hanya melihat sesuatu dari fisik, padahal begitu luas penilaian dengan berbagai sudut pandang kebenaran. Kita mengatakan orang shaleh, karena ia memakai baju koko. Tapi sadarkah kita dengan keterbatasan panca indera kita yang jauh dari kebenaran hakiki, hanya Allah yang bisa menilai.

Terbentuknya fenomena ketaatan yang menjerumus pada kamuflase agama tidak lebih diakibatkan oleh in-hirarki terhadap dimensi hakekat keimanan. Dalam buku Al Iman (Muhammad Nu’aim Yasin), hakikat keimanan memberi kita ruh dalam amal, sehingga memurnikan niat dalam ranah ibadah. Pertama, mengikrarkan dengan lisan (Al Iqrarru Bil Lisan) dalam dimensi ini amalan lisan memasuki substansi persaksian sesama makhluk. Menjadi pengingat dikala lupa.

Kedua, membenarkan dengan hati (At Tasduqu Bil Qalbi). Dalam dimensi ini betapa indah kesaksian membaur lewat kuatnya keyakinan. Dalam jasad, hati memegang kendali perasaan, menjadi penerang di kala gelap suram godaan setan. Ketiga, melaksanakan dengan anggota tubuh (Al ’Amalu Bil Jawarih). Sentuhan akhir (Finishing touch) dari hirarki keimanan adalah aksi representasi berupa amalan baik, lepas dari taklid apalagi motif keduniaan.

Dalam renuangan panjang, hidup ini singkat dan terbatas. Akan ada keabadian yang akan kita jalani dalam ruang yang berbeda. Esensi agama adalah ketaatan pada Sang Pencipta, Allah SWT. Cobalah untuk menjadi orang yang amat seimbang dalam arti kata wazan amalan baik antara dunia dan akhirat, sehingga kita menjadi orang bijak. Kita sadari begitu banyak kepentingan merasuki jiwa yang seharusnya tulus terhadap perilaku apapun.
continue reading Ramadhan dan Fenomena Kamuflase Agama