Sabtu, 15 Maret 2014

Manusia Kampus, Manusia Belajar



Judul                          : Manusia Kampus, Potret Kultural Mahasiswa UNJ
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                    : Pustaka Kaji
Catakan                    : I, Maret 2014
Tebal                          : xx + 83 Halaman
ISBN                          : 978-602-99700-6-7




Sudah dari dulu saya ingin menuliskan sebuah buku tentang kritik pada pembelajaran di ruang kelas. Entah karena pengalaman pahit dihardik guru karena tidak bisa mengerjakan soal, atau karena saya sendiri merasakan bahwa ruang kelas bukan tempat terbaik bagi saya untuk belajar. Tidak banyak hal yang saya dapat dari kelas dan sekolahan selain kebekuan pada proses belajar. Selebihnya saya belajar sendiri dan dengan kerja keras saya sendiri.

Mungkin buku ini gambaran bahwa dunia akademik telah berubah jadi ruang yang membosankan. Kampus menjadi ajang yang mereduksi nilai-nilan pendidikan. Mahasiswa tidak diberikan pilihan selain mengekor pada pola ajar yang absolut—mahasiswa salah jika mengkritik dosen, tidak diberikan ruang untuk berkreativitas, dan tidak diarahkan pada prakarsa penelitian. Hal itu membuat sebagian mahasiswa yang ingin benar-benar belajar mencari alternatif lain.

Sebagian mahasiswa menjadikan organisasi sebagai sarana belajar, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil meraih prestasi. Sebagian yang lain menganggap organisasi adalah ruang untuk menunjukkan aspirasi dan kreativitas. Ada juga yang menganggap bahwa organisasi adalah tempat melatih bakat dak hobi. Ya, organisasi bisa dijadikan tempat alternatif untuk mendapatkan nilai tambah di luar ruang kelas.

Organisasi tidak lain adalah sebuah komunitas. George Herbert dalam antologi tulisan The Philosophy of Education menyinggung kegiatan belajar pada lingkup komunitas. Ia mengatakan bahwa kehidupan intelektualitas yang tercermin dalam sebuah komunitas adalah efek dari proses induksi pada individunya. George pertama-tama meletakkan proses belajar sebagai kegiatan yang komunal dan dibangun dari individu-individu yang ada di dalamnya.

Dalam komunitas, pembelajaran bisa bersifat sederajat, tidak memandang angka sebagai indikator penilaian—dengan serta merta pula tidak ada kasta pintar dan bodoh, semua berperan untuk saling belajar dan mengajar. Karena itulah pembelajaran menjadi semakin hidup. Proses mencari pada dasarnya akan kembali pada di pribadi dan dunianya.

Selain itu, pembelajaran lewat organisasi dan komunitas menganut prinsip equality, hal
itu sesuai dengan cita-cita pendidikan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak dan kesempatan untuk maju bersama. Apalagi nilai persamaan selalu beriring dengan nilai kebersamaan. Terkadang tidak ada guru, semua menuntut untuk aktif, semua berperan sebagai guru bagi dirinya sendiri. Tidak ada penghakiman bagi mereka yang tidak bisa mengerti atau lambat dalam proses belajar. Tidak seperti di kelas, pembelajaran seperti hantu yang menakutkan. Sedikit berbuat salah bisa berujung pada hukuman.

Buku ini adalah gambaran dunia kampus dan organisasinya. Dengan buku ini pembaca dapat mengetahui apa saja yang dilakukan mahasiswa di kampus. Mulai dari kegiatan organisasi, sampai kepada kongkow ala mahasiswa. Gunanya adalah mengambil nilai positif dari setiap aktivitas.  
continue reading Manusia Kampus, Manusia Belajar

Jumat, 14 Maret 2014

Ketika Modernitas Mati di Tengah Kota


Judul                          : Endemik Modernitas, Polemik Pembangunan Jakarta
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                     : Pustaka Kaji
Catakan                     : I, Maret 2014
Tebal                          : xxii + 125 Halaman
ISBN                           : 978-602-99700-36


Modernitas identik dengan pembangunan. Lalu apa yang terjadi ketika pembangunan telah berubah menjadi sabotase di ruang-ruang perkotaan? Menyingkirkan semua bentuk yang dianggap tidak estetik, tidak rapih, dan tidak komersil. Sehari-hari yang kita temui adalah sebuah fenomena menggusur kaum marjinal di perkotaan untuk digantikan dengan mesin-mesin ekonomi, agar menghasilkan pertumbuhan, bukan kesejaheraan.

Kota telah berubah dari masa ke masa. Perubahannya tentu saja berlajan di atas serangkaian rancang pembangunan. Modernitas adalah produk kemajuan yang dianggap paling ampuh mengobati penyakit kehidupan. Sayangnya abstraksi modernitas dipahami hanya sebatas fisik, gedung-gedung tinggi, pabrikan, dan perkantoran. Lalu  bagaimana dengan manusianya? Seringkali pembangunan di era modern mengabaikan aspek bagaimana manusia hidup.

Lain halnya dengan analisis Marx dan Durkheim yang melihat bahwa modernitas sebagai suatu masalah yang rumit. Keduanya malah menganggap bahwa modernitas merupakan suatu era industri—yaitu wabah kapitalisme. Pada satu sisi memberi nilai tambah ekonomi, tapi disisi lain berdampak kerusakan. Kota menjadi lahan dimana kerusakan itu terjadi.

Kota dipaksa menjadi mesin bagi kemajuan modernitas. Maka kota, sebagaimana disebutkan Marco Kusumawijaya dalam bukunya Kota Rumah Kita, tak ubahnya metropolis—tempat bagi terjadinya proses modernisasi yang paling intensif, baik dalam arti konsentrasi maupun besaran, bila dibandingkan dengan lingkungannya. Metropolis bukanlah suatu tipologi planologis yang direncanakan dan harus dihindari maupun dijadikan tujuan, melainkan suatu kondisi objektif yang merupakan dampak logis dari modernitas.

Sebenarnya modernitas adalah proses yang vital bagi kemajuan kota, jika dikelola di bawah realitas humanisme. Modernitas juga dianggap sebagai model paling ampuh dalam prototype kota masa depan. Tapi lihatlah saat ini, pembangunan hanya menjadi simalakama. Pembangunan jadi proyek korupsi anggaran. Pembangunan menggusur rumah rakyat jadi mall. Pembangunan juga merobohkan pasar tradisional jadi supermarket. Lalu dimana tempat keberpihakan pembangunan bagi rakyat kecil?

Buku berjudul Endemik Modernitas ini adalah potret sebuah polemik pembangunan di Jakarta. Penulisnya adalah sekelompok mahasiswa dari LKM UNJ. Gaya tulisan dalam buku ini dibuat dengan gaya feature. Lebih terlihat seakan sebuah laporan jurnalistik ketimbang buku popular.

Dalam pembuatan buku ini, mahasiswa melakukan peliputan berbulan-bulan lamanya, menjaga hubungan dengan tempat yang dijadikan objek liputan. Menemui nara sumber dan memahami masalah di lapangan. Ini merupakan pengalaman baru bagi mahasiswa yang biasanya berdiam di rungan kelas yang beku.

Pengambilan objek liputan juga sepenuhnya inisiatif dari mahasiswa. Hanya pada temanya diskusi dilakukan secara intensif. Buku ini merupakan sebuah jawaban dari keresahan yang dialami oleh para mahasiswa yang kuliah di Jakarta. Melihat fenomena pembangunan yang destruktif, mahasiswa ini melakukan suatu tindakan berupa rekaman tulisan.

Buku dengan tema perkotaan ini patut dibaca oleh kalangan umum, baik masyarakat kota Jakarta ataupun bukan. Buku ini juga baik untuk sarana membangun wacana kritis bagi kebijakan pemerintahan Jakarta di bidang tata kota, sosial, ekonomi, moral dan lingkungan. Harapannya ke depan, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan sebagai sarana untuk keterwakilan civil society agar tidak dirugikan.
continue reading Ketika Modernitas Mati di Tengah Kota

Kamis, 13 Maret 2014

Sebuah Kisah di Pusaran Landmark Jakarta

Judul                         : Landmark Jakarta, Relasi Sosial dan ruang Publik
Penulis                      : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit                    : Pustaka Kaji
Catakan                     : I, Maret 2014
Tebal                         : xxii + 220 Halaman
ISBN                          : 978-602-99700-4-3




Mungkin banyak orang yang bertanya apa itu landmark? Sebenarnya istilah ini seringkali muncul pada disiplin ilmu arsitektur. Dalam buku karangan Kevin Lynch berjudul The Image of The City—sebuah buku yang mengulas habis bidang arsitetur dan planologi—landmark berarti sebuah tempat, monumen, taman, ataupun patung yang merefleksikan sejarah dari kota di mana ia dibangun.

Sejarah suatu kota tidak bisa dilepaskan dari citra yang ditampilkan oleh kota itu sendiri. Prosesnya berjalan sampai pada persepsi masyarakat atas citra kota. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kota pada dasarnya adalah relasi antara citra yang ditampakkan melalui landmark dan relasi sosial dari masyarakat di dalamnya. Sehingga menjadi sinergi timbal balik.

Lalu apa fungsi landmark? Sehingga ia menjadi penting? Sebenarnya yang penting bagi landmark bagi sebuah kota adalah makna yang ditangkap oleh penghuninya. Bila kota sudah tidak lagi memiliki makna bagi penghuninya, maka semua apa yang terjadi di atas sebuah kota tidak lagi manusiawi. Seperti kota yang penuh sampah, kemacetan dimana-mana, banjir yang tidak juga surut, serta kaum marjinal yang terlantar.

Kehidupan kota pada abad modern merubah sisi humanis menjadi mekanis. Semua geraknya dibangun atas prinsip ekonomi. Kesibukan yang padat membuat orang tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi, walaupun sebatas menyapa tetangga. Manusia diperlakukan seperti mesin yang siang dan malamnya diisi dengan kerja.

Kebanyakan kaum urban kota kehilangan makna tentang hidup. Tidak mengerti tentang arti sebuah tujuan hidup. Apalagi memikirkan kota sebagai tempa tinggal. Maka sisi humanis antara manusia dan kota semakin terkikis. Masalah yang muncul adalah masyarakat membutuhkan sebuah media dalam rangka menjalani kodratnya untuk bersosialisasi dan memikirkan kehidupan. Dengan cara itu, kreativitas akan muncul, dan secara alamiah kehidupan menjadi bermakna.

Landmark di banyak kota dijadikan tempat berkumpul untuk melakukan sebuah aktivitas. Di dalamnya orang melakukan relasi sosial. Jadi dalam konteks biner manusia dan kota, landmark berdiri sebagai ruang publik yang menyediakan banyak fasilitas untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Kehidupan menjadi indah.

Makna membuat orang menghayati sesuatu dengan tulus. Makna juga bisa membuat orang merasa memiliki. Maka masyarakat Jakarta yang dapat menghayati denyut kehidupan di dalamnya akan bisa menjaga kota ini tetap humanis. Yakni menjadikan hidup di kota seperti Jakarta berada dalam suasana yang terbuka dan partisipatif.

Buku karya mahasiswa LKM UNJ ini merupakan hasi studi lapangan—yang dituliskan dengan gaya feature—tentang bagaimana relasi masyarakat dalam landmark. Bagaimana masyarakat memaknai kotanya sendiri. Di dalamnya adalah sebuah kisah tentang keberadaan Jakarta dan sejarahnya. Sementara landmark adalah sebuah medium sejarah yang diabadikan dalam sebuah ingatan masyarakat.

Prosesnya tentu tidak mudah, berbagai cara mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapakan potret relasi masyarakat yang ada di setiap landmark. Terkadang harus pulang larut malam dan datang teramat pagi untuk mengetahui detil kondisi kehidupan di landmark Jakarta. Hal itu penting untuk dapat membuat feature yang baik.

Meski tidak dapat mencakup keseluruhan landmark yang ada di Jakarta, buku ini cukup bisa mewakili keberadaan landmark terpenting tentang sejarah kota Jakarta. Landmark yang dibahas antara lain Monas, Taman Suropati, Senayan, Bunderan HI, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Tugu Tani, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Sunda Kelapa, Patung Sudirman, Tugu Pancoran, Taman Proklamasi, Rumah Pitung, Stasiun Kota, Museum Sumpah Pemuda, Halim Perdana Kusuma.

Perlu diapresiasi ikhtiar para mahasiswa LKM UNJ dalam mengupas landmark di Jakarta serta relasi sosialnya di ruang publik. Terlepas dari kekurangan yang terjadi, buku ini adalah sebuah gambaran tentang sekelompok mahasiswa yang bekerja keras untuk memaknai proses belajar sebagai suatu upaya mencari pengalaman di luar kelas—yang biasanya jadi tempat mereka duduk dengan manis dan menanti nilai IPK turun tiap semester.

Semoga muncul karya-karya selanjutnya dan tidak akan bernah bisa dihentikan oleh berbagai rintangan apapun. Karena sejatinya manusia akademik akan terus melahirkan pemikiran yang tidak mesti besar, tetapi berkesinambungan dan mencerahkan.
continue reading Sebuah Kisah di Pusaran Landmark Jakarta