Rabu, 24 Agustus 2011

Sate Afrika, Bukan Sate Biasa


Suatu minggu saya berkesempatan mencicip hidangan ala Afrika yang kesohor itu. Letaknya di tepi Jalan KS Tubun. Tepat disamping Mesuem Tekstil Jakarta. Mencari alamat resto ini agak sulit, karena letaknya tidak persis di samping jalan. Masuk kedalam kompleks pertokoan.

Awalnya saya hanya terbawa rasa penasaran. Kemudian coba mengajukan pertanyaan. Apa beda Sate Afirika dengan Sate Madura ? Dari situ kemudian saya berniat sesekali waktu pergi untuk merasakan seberapa nikmat hidangan khas Afika itu.

Sate Afrika boleh jadi merupakan satu-satunya tempat makan khas Afrika di Ibukota Jakarta. Perintis usahanya adalah Haji Ismail, pria asal Mali, sebuah negara bekas koloni Perancis di sub-Sahara, Afrika Barat. Ia Merintis usaha tersebut semenjak tahun 1999.

Ia masuk Indonesia tahun 1997. Siapa sangka pria yang sukses dengan Sate Afrika ini adalah seorang yang awalnya berdagang sandal jepit selama satu tahun. Kemudian ia berpikir untuk berbisnis kuliner karena belum ada orang Afrika yang dagang makanan.


Semula, pengujungnya kebanyakan orang Afrika, sekarang orang Indonesia lebih banyak. karena banyak yang merasakan cocok dengan rasa Sate Afrika. 

Warung itu sesungguhnya tanpa nama. Sate Afrika merupakan nama yang tersebar di antara pelanggan, kemudian terlanjur terkenal. Meski disebut sate, jangan bayangkan masakan Ismail itu seperti sate dalam arti yang umum.

Sate atau satai dalam leksikon kuliner Indonesia adalah irisan daging kecil-kecil yang ditusuk dan dipanggang, diberi bumbu kacang atau kecap. Sate Ismail Coulubally tidak ditusuk, tidak diberi bumbu kacang atau kecap.



Domba yang dipakai adalah domba betina, berusia satu sampai dua tahun dengan berat badan maksimal 20 kilogram. Domba-domba itu dipesan dari Cipanas, Jawa Barat. Ismail memesan dua sampai tiga ekor domba setiap hari.

Bumbu Sederhana

Dalam mengolah masakannya, Ismail tidak menggunakan banyak bumbu. Meski begitu satenya terasa empuk, garing, dan gurih. Rasa dagingnya menonjol. Menurut salah seorang karyawan tempat itu, bumbunya hanya penyedap rasa dan garam.

Ismail juga menyediakan sambel lampung yang dicampur dengan mustard. Orang bisa mencocol potongan daging dalam sambal yang dicampur mustard tersebut. Namun tanpa dicocol sambal pun rasa satenya sudah makyus.

Proses pengolahannya tergolong sederhana "Pertama, daging dipotong-potong dalam ukuran besar, lalu dibakar di atas bara sampai hampir matang," kata Ismail.

Selanjutnya, daging diungkep dalam panci. "Tidak pakai air atau minyak. Nanti minyak dagingnya keluar sendiri. Itu sekitar 20 menit. Minyak itu dibuang. Jadi kolesterolnya mati (tidak ada). Makanya, makan makanan saya tidak akan kolesterol atau darah tinggi karena minyaknya sudah dibuang. Ketika memotong daging, lemak-lemaknya juga kami buang," katanya.

Setelah diungkep, daging dipotong-potong kecil kemudian dibakar sampai matang. Selama proses itu, lemaknya terus keluar. Potongan daging lalu dimasukkan ke dalam panci kecil, ditaburi garam halus, penyedap rasa serta irisan bawang bombay mentah. Panci digoyang-goyang agar garam dan penyedap rasa tersebar merata. Kemudian daging dibungkus pakai aluminium foil dan ditaruh di atas tungku pembakaran yang masih panas. Kalau ada pelanggan, bungkusan tinggal dibuka, daging disuguhkan.

Pilihan menu ada dua macam, sate daging atau jeroan. Sate daging seporsi harganya Rp 35.000 sementara jeroan Rp 30.000.


 
continue reading Sate Afrika, Bukan Sate Biasa

Senin, 22 Agustus 2011

Redefinisi Kuliah

Belajar di perguruan tinggi (PT) merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang meyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut. Namun, realitas yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan tinggi dalam banyak hal jauh dari harapan. Perilaku mahasiswa dan dosen dalam belajar-mengajar belum menunjukkan atribut yang seharusnya melekat pada individual yang mendapat sebutan sebagai akademisi. Salah satu faktor yang menciptakan kondisi seperti ini adalah kesenjangan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan, dosen, dan mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan tinggi. Akhirnya, mengakibatkan proses pembelajaran tersebut kurang menyentuh esensi keilmuan sebagai suatu hal yang harus diarahkan pada karya mahasiwa-dosen yang bermanfaat bagi masyarakat.

Di sisi lain, belajar merupakan hak dan kewajiban setiap insan. Akan tetapi, kegiatan belajar di PT dapat dikatakan privilege, karena mereka punya tanggung jawab sosial lebih di tengah masyarakat. Privilege yang melekat tidak hanya terletak pada sarana fisik, status kemahasiswaan, dan sumber daya manusia yang disediakan. Dengan pengakuan tersebut, harapannya bahwa seseorang akademisi yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan perilaku akademis yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan, mengarahkan mereka pada kebijaksanaan bersikap dan berfikir. Selain itu, perguruan tinggi sebagai pusat keilmuan dapat berperan maksimal dalam pembangunan bangsa.

Idealnya, karena seseorang mendapat privilege belajar di PT, seseorang dituntut untuk berbuat lebih dari sekedar kuliah. Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir/nalar serta sikap mental, kepribadian, dan kearifan tertentu, sehingga menurut Mochtar Buchori, mahasiswa memiliki pengetahuan luas, kecerdikan, tilikan, dan kemampuan mencerna pengalaman hidup. Selain itu, kemampuan penalaran (reasoning) juga merupakan bagian penting dari bekal tersebut guna mendukung terciptanya pribadi yang mempunyai integritas, dan merespon setiap permasalahan lingkungan masyarakat dengan kepedulian.

Dari privilege tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka yang berstatus mahasiswa sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang belajar tidak melalui lembaga pendidikan formal, kecuali pada status pemegang kartu tanda mahasiswa. Kemudian, berbicara pada proses dan hasil pembelajaran di PT yang belum secara signifikan mencerminkan kualitas penalaran, penelitian, dan pemahaman mahasiswa tercermin dari perkuliahan di ruang kelas, forum diskusi, dan kompetisi mahasiswa. Jika demikian, bisa jadi pada saat mahasiswa lulus dari PT hanya bertambah atribut, tanpa nilai tambah sosial di tengah kemasyarakatan.

Tujuan Belajar

Terdapat dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi. Pertama, tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar. Kedua, tujuan individual dari mahasiswa tersebut. Proses belajar mengajar mestinya harus mampu meyelaraskan tujuan indivisual dan tujuan lembaga pendidikan, disamping itu keduanya harus diselaraskan dalam mengemban misi pendidikan nasional. Jangan sampai kesenjangan antra kedua tujuan tersebut membentuk stigma yang tidak seimbang, akhirnya mahasiswa-dosen berfikir amat pragmatis, bahwa belajar utnuk sebuah legalitas saja.

Kemudian, gejala yang sering dirasakan bahwa belajar di PT cenderung mengarah pada kebutuhan sosial yang pragmatis, dalam arti kata merasa berbeda status ditengah strata sosial masyarakat, dari pada berfikir kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar. Kebutuhan sosial ini biasanya datang dari keluarga yang menjadikan tujuan pendidikan PT tidak lebih dari meraih gelar sarjana, tanpa dilandasi dengan kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar, akhirnya belajar di PT dianggap mahasiswa sebagai beban, siksaan, percobaan atau penderitaan (ordeal). Bukan dianggap sebagai kebutuhan untuk pengembangan dan pematangan sikap.

Kesalahan persepsi ini akan menghasilkan suatu sikap dan semangat belajar yang pragmatis, hanya berorientasi pada nilai dan atribut legalitas. Senang bila dosen tidak ada, tapi tidak berfikir untuk mencari alternatif lain dengan membaca buku di perpustakaan. Bangga dapat nilai tinggi, walaupun hasil nyotek. Menjiplak tugas teman atau buku tanpa tahu isi dan dibaca terlebih dahulu. Hal-hal seperti ini adalah gejala yang kurang sehat dalam iklim akademis akibat dari dangkalnya orinentasi belajar. Untuk itu perlu adanya pembenahan tujuan belajar dengan meluruskan kembali orientasi tersebut menjadi kesadaran berfikir, bahwa tujuan belajar bukan hanya mengedepankan aspek individu.

Redefinisi Kuliah

Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan nonformal. Namun, hal yang perlu dicatat adalah bahwa kuliah bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan satu-satunya kegiatan belajar. Arti kuliah umumnya diperoleh mahasiswa bukan karena kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya, tetapi karena pengalamannya dalam mengikuti kuliah, ironisnya pengalaman tersebut terlanjur membentuk paradigma yang salah tentang kuliah itu sendiri. Kesan yang keliru akan mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan antara lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang efektif menjadi terhambat.

Perlu dipahami pula bahwa pola belajar di PT dapat dikatakan lebih mandiri, dengan kata lain mahasiswa dituntut untuk mengetahui lebih banyak dari apa yang disampaikan oleh dosen. Oleh karena itu, pencitraan dosen sebagai satu-satunya media transfer ilmu pengetahuan dalam perkuliahan mesti diubah. Kemudian didefinisiskan kembali, bahwa kuliah merupakan ajang konfirmasi pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai hal yang harus ditelaah lebih dalam dan dikorelasikan kembali dengan aplikasi nyata kehidupan sebenarnya. Dengan begitu penulis yakin fenomena “we learn anything about nothing” pada mahasiswa yang datang kuliah kemudian duduk, dengan, catat, lalu pulang dengan pikiran kosong akan berakhir.

Hal lain yang harus dikritisi adalah paradigma nilai perkuliahan yang seolah mencerminkan cerahnya masa depan, karena katanya akan mudah mencari kerja. Dengan begitu mahasiswa pun rela melakukan apa saja demi nilai bagus, meskipun harus nyontek. Padahal, yang harus menjadi orientasi dalam proses perkuliahan adalah kompetensi. Di sisi lain, paradigma nilai yang disalahartikan juga telah menyalahi fungsi seharusnya yaitu mengukur keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari bidang ilmu tersebut dan sekaligus sebagai alat evaluasi. Seharusnya, nilai bukanlah suatu tujuan tetapi lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari apa yang dilakukannya selama mengikuti proses belajar.

Dengan kondisi budaya belajar yang menyimpang dari tujuan, tugas PT adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut. Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan citra baru melalui pembelajaran alternatif dengan kesadaran berproses untuk belajar. Tidak sepantasnya PT mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. PT mesti mengahasilkan generasi penerus yang dapat mengubah masyarakat yang keliru untuk lebih baik. Menurut Hall dan Cannon (1975), fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja, tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian yang integral.
continue reading Redefinisi Kuliah

Ruang Imanen

Di ruang itu lamunan orang berubah jadi mimpi 
Tentang nilai yang entah berujung apa ?

Bung, mari kita menikmati proses, 
Meski orang kata itu uang, Bagi kita semisal derita
Namun kehendak mereka berbeda simpul
Pendapat tidak perlu sama, bukan ? 
Berkacalah pada alam yang serasi meski tidak seragam 

Kadangkala hari-hari menepi di pendakian hidup
Ramai bersahut senyum, ranum diterik emosi
Orang lain tak akan pernah tau siapa kita
Juga dunia yang semakin sulit ditebak arahnya
Kadang kompas dibuat bingung menavigasi petunjuk

Figura dinding sedikit miring ke barat, hampir jatuh
Diatas sapu ijuk yang bersandar ke utara 
Ruang itu gelap, hanya sepancar sinar yang masuk
Karena loteng yang bolong, dan jendela yang kusam.
Biarlah tetap menjadi gelap agar tidak terbakar matahari 

Atap-atap langit kita bernoda 
itu akibat jejak air yang memaksa masuk saat hujan
dan kita anggap hujan itu rezeki, 
Rahmat yang turun dari langit oleh Tuhan
Walauppun pada kenyataannya kita tetap saja miskin

Di ruang itu, lapar menjadi teman baik kita membaca
Tempat kita membentangkan karpet untuk tidur malam
dan bertapa pada imanensi pikiran yang jauh
Lantas, seberapa lama kita bisa ada. Mengisinya lagi.
Seperti sedia kala. Saat aku baru saja mengenal tujuan


Hamzah Ichwal,
Menteng 25 Agustus 2011


continue reading Ruang Imanen

Cerita Dibalik Tulisan “Demokrasi dan Kekecewaan”: Eksotika Analitik terhadap Perjalanan Sejarah Politik Indonesia


Dalam tulisan tersebut saya seolah diberikan penyadaran batin, bahwa politik adalah sesuatu yang tidak akan ada habisnya mengecewakan banyak orang. Apapun bentuknya, politik tetap saja mengorbankan rakyat yang nelangsa. Karena ulah pemeran antagonis. Sampai pura-pura bersolek dengan janji muluk tanpa realisasi.

Sekedar bercerita, setiap kali saya membaca tulisan Gunawan Muhammad (GM) selalu saja memberi suatu inspirasi baru di benak pikiran. Kadang seketika itu juga kedua jari saya berdetik dalam keypad handphone yang tak sabar menunggu loading karena ingin segera up date status via “snaptu” perihal internalisasi ide beliau. Ada makna yang menerjemahkan peristiwa, kadang mengajak kita berdialog lewat setiap gagasan yang ia cetuskan. Maklum mungkin karena “sepak terjang” bacaan dan referensi GM sudah matang, beragam, dan membumi dengan dirinya barangkali. Terlebih karena dia wartawan senior yang sudah tidak asing dengan dialektika pemikiran manapun. Dari pemikiran kir ke kanan, atau ilahiah sampai ke pergolagakan filosofi keagamaan. Nikmat didalami.

Selain itu, diksi yang saya resapi sangat sastrawi. Tidak terlalu kaku dengan beban ide yang ia suguhkan. Walau kadang saya sendiri bingung memaknainya. Terlampau tinggi untuk kadar konfigurasi bahasa. Bagi saya, saripati tulisan merupakan bunga dari sebuah lamunan filsafat setelah adanya proses membaca, berpikir, dan menyesuaikan. Membaca sebagai aktivitas input, berpikir sebagai proses pencarian makna, dan menyesuaikan sebagai upaya pembuktian. Agar lebih rasional dan dekat dengan kenyataan sebenarnya. Itulah kaitan yang tak pernah habis dalam proses belajar. Terutama kita sebagai mahasiswa yang bergelut dengan banyak problem, dari berita ke berita. Sampai pada gagasan.

Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama GM adalah pemikiran monodimensional. Ia seorang yang mengisi setiap letupan dialektika dengan beragam pemikiran. Sampai-sampai di “twitterland” ia sering berbagi sumber bacaan atau referensi yang sedang ia baca. Bisa dibilang ia adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka terhadap berbagai hal. Tapi kalau dikerucutkan ia sangat toleran sekali dengan isu humanistik sebagai sifat dan humaniora sebagai dunianya.

Dalam tulisan “Demokrasi dan kekecewaan” yang beliau sampaikan di Pidato untuk Nurcholish Madjid Memorial Lecture II pada tahun 2009. Substansinya mengerucut pada dalih bahwa demokrasi yang berguling sepanjang masa pada akhirnya banyak berujung nestapa. Terutama dalam pergulakan politik di Indonesia “dari masa ke masa” atau “dari transisi ke transisi”. Entah demokrasi parlementer, terpimpin, sampai reformasi. Sama saja. Belum bisa membuat bangsa ini keluar dari penderitaan rakyatnya. Tetap berputar dalam ruang gerak “lingkar setan kemiskinan”. Kemudian dari situ ia mempertanyakan demokrasi sebagai suatu konsep, apakah masih bisa dipertahankan ? kalau iya dalam dimensi dan bentuk yang seperti apa ?

Saya bersama tulisan ini ingin menjawab. Tentu dengan kapasitas saya sebagai seorang mahasiswa yang “minim ilmu”. Jadi maaf saja kalau belum begitu komprehensif. Sebenarnya pemikiran demokrasi yang berkembang pada awalnya mulai diperkenalkan 2.500 tahun lalu di Athena, Yunani. Dalam sejarahnya demokrasi demokrasi amat disakralkan, karena ia konon lahir dari sebuah revolusi berdarah-darah umat manusia melawan kedzaliman, praktik otoritarian. Yaitu upaya reaksioner kaum filsuf, cendekiawan dan rakyat nasrani yang ditindas para kaisar di Eropa yang disahkan pihak gereja. Sejarah yang kemudian didramatisir ini lalu dianggap sebagai sebuah pencerahan (renaissance) umat manusia dari kegelapan (aufklarung/dark ages).

Demokrasi juga dianggap sebagai ideologi suci anti tiran dan kediktatoran. Ia dianggap sebagai suara rakyat. Slogannya; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Atau demokrasi itu adalah perwujudan dari spirit liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan). Melawan demokrasi berarti melawan suara rakyat, dan suara rakyat itu adalah kebenaran. Dengan gegabah para pendukung demokrasi sesumbar suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei).

Padahal antithesis dari eloknya demokrasi juga banyak “korengnya” Tragedi Tiananmen di Cina yang menelan banyak korban mahasiswa pro-demokrasi, atau lebih terkesan dengan Aung San Su Kyi di Birma. Juga peristiwa reformasi 1998 di Indonesia yang banyak menelan ribuan korban sipil juga mahasiswa. Lalu kemudian saya berpikir, apa yang salah ? demokrasi atau perangkatnya ? karena perenungan saya mengatakan bahwa demokrasi bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia dijalankan oleh perangkat yang menjadi “rider” bergulirnya suatu tatanan yang mengatur. Sejarah mengatakan bahwa sistem demokrasi bergulir fluktuatif, “dari baik ke buruk” dan “dari buruk ke baik”. Tapi banyak yang prosesnya seperti ini “dari buruk ke baik kemudian buruk lagi”. Tidak lain manusialah yang berperan dalam turu-naik tersebut.

Menjawab pertanyaan diatas, yang salah dari “borok” demokrasi adalah perangkat dari sitem yang menjalankan. Karena itu tujuan demokrasi sebagai konsep mengembalikan kehendak rakyat tidak tercapai. Akhirnya seperti dalam bahasan GM ditulisan itu mengatakan “otokrasi politik” yang mengangkangi akses bagi rakyat untuk mendapatkan haknya meraih kesejahteraan. Kekuasaan tidak lebih dari olok-olokan sampah yang kalau saya tidak salah baca di dalam sejarah pemikiran sosialis dianalogikan sebagai pihak yang “tidak mampu mengolah karya rakyatnya”. Bahan baku, pajak, dan kerja keras menjadi sia-sia kalau pemerintah tiran. Tidak mampu dengan baik mengolah dengan etos baik. Malah alih-alih membudaki rakyat dengan kebijakan pro-asing.

Jadi, untuk kesimpulan yang pertama sesi tulisan ini saya hanya mau menyimpulkan hal yang sederhana saja. Menjawad pertanyaan GM. Demokrasi sebagai suatu konsep, apakah masih bisa dipertahankan ? kalau iya dalam dimensi yang seperti apa ?Begini, GM dalam tulisan itu menjabarkan dalam “jalan buntu” atau istilahnya “kurva lonceng” yang artinya politik yang tidak kemana-mana, stagnan. Mendobrak sebuah solusi bahwa politik harus dikembalikan kearah “perjuangan” seperti apa yang diupayakan pada masa kebangkitan nasional, kita satu dalam pergerakan memerangi penjajahan. Seperti adanya Jong Java, Jong Sumatra, Jong Selebes, Jong Islamicten Bond, Pemuda Betawi, Jong Ambon pada akhirnya menjadi “pemoeda indonesia”.

Konteks tersebut kalau diproyeksikan kemudian di zaman sekarang menjadi sulit. Pasalnya orientasi kebangsaan menjadi pudar dan terkotak-kotak dalam orientasi golongan, etnis, dan suku masing-masing. Titik temu tersebut baru ada ketika bangsa ini dirundung masalah besar, dan itu belum terlihat. Kerikil kecil malah dianggap sepele. Sulit untuk dipersatukan karena masing-masing punya kepentingan. Pemersatu kita saat ini hanya “bahasa” dan asas “bhineka tunggal ika”. Kalau itupun pudar karena globalisasi saya tidak tahu apa tumpuan berikutnya.

Kembali lagi. Mari memulai jawaban dari pertanyaan GM. Dalam benak saya, demokrasi bukan saja sekedar “perjuangan”. Ia adalah integrasi dari perpaduan ide, pergerakan dan perangkat kepemimpinan atau yang kita sebut sebagai pemerintah. Perjuangan adalah upaya dalam konteks ikhtiar kenegaraan mewujudkan dimensi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Saya mengindikasikan begini. Pertama, Ide adalah gagasannya, dari sini muncul kemudian seperti apa bentuk pemerintahan nanti seperti visi dan misi serta sistem ketatanegaraan. Kedua, Pergerakan sebagai kerangka tahapannya yang coba mengatur proses demokrasi itu berjalan. Ketiga, Sedangkan untuk perangkat pemerintah adalah motor atau pelaku yang menjalankan, ada elemen masyarakat sebagai sipil yang diatur untuk turut mewujudkan demokrasi ideal.

Jadi kesimpulannya dalam posisi yang seperti apa demokrasi bisa dipertahankan adalah jawabannya terdiri dari konteks keterkaiatan tiga hal tersebut. Pada dasarnya saya hanya mencuruhkan apa yang saya pikirkan saja. Demokrasi sebenarnya sengaja dipertahankan sebagai sistem pemerintahan karena sudah terlanjur dijalankan, pilihannya hanya itu. Meski kita tahu bahwa demokrasi belum bisa membawa bangsa ini sedikit baik dengan kualitas hidup rakyat yang sejahtera. Lalu kemudian nantinya bagaimana, demokrasi hanya berubah sesuai kodratnya, ada transisi dan peralihan. Pada saat itulah kemudian demokrasi bias menjadi baik atau bahkan semakin buruk. Tergantung dari pemimpinnya. Dan sekarang bangsa ini belum punya pemimpin sekaliber Umar bin Khattab yang bias mengerti kondisi rakyat untuk kemudian menyelesaikannya secepat mungkin. Seperti kisah seorang ibu kelaparan yang merebus batu untuk anaknya, kemudia diketahui Umar untuk kemudian diberikan makanan saat itu juga.

****

Disini, bagian tulisan kedua, saya pisahkan antara jawaban dialektis saya dengan tanggapan atau letupan ide GM. Kita mulai dari “kekecewaan terhadap parlementer” saya sebut sebagai kesadaran kritis terhadap kondisi saat itu. Dari demokrasi parlementer, kemudian diruntuhkan ke demokrasi termpimpin, lalu beralih transisi ke demokrasi orde baru. Barulah reformasi memulai perjalannya. Menarik sekali seperti serial “ludruk” Jowo. Cerita yang mengilhami banyak pemikir untuk menganalisis penyebab kejadian demi kejadian. Tapi yang tetap ada pada setiap transisi lagi-lagi adalah “kekecewaan”.

Letupan lain dari pemikiran di tulisan itu adalah analogi “sang antah” yang diambil dari teori Lacan disebut sebagai le Reel (dalam versi Inggris, the Real). Dengan itu sebenarnya ditunjukkan satu kekhilafan utama dalam pemikiran politik demokrasi yang mengasumsikan kemampuan “representasi”. Pengertian “representasi” dimulai dari ilusi bahasa, bahwa satu hal dapat ditirukan persis dalam bentuk lain, misalnya dalam kata atau perwakilan. Ilusi mimetik ini menganggap, semua hal, termasuk yang ada dalam dunia kehidupan, akan dapat direpresentasikan. Seakan-akan tak ada Sang Antah.

Disambut dengan teori “demokrasi radikal” yang diperkenalkan Laclau dan Mouffe, dengan menggunakan pandangan Gramsci, maupun oleh pemikiran politik dengan militansi ala Mao dalam pemikian Alain Badiou, kita ditunjukkan bahwa sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit. Senantiasa ada yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, yang dicoba diingkari. Maksudnya bila dikatakan bahwa demokrasi adalah “mewakili rakyat” faktanya tidak begitu. Saat ini, demokrasi hanya milik partai politik yang tidak sama sekali representatif. Mereka bukan kepentingan rakyat, orientasinya kekuasaan.
continue reading Cerita Dibalik Tulisan “Demokrasi dan Kekecewaan”: Eksotika Analitik terhadap Perjalanan Sejarah Politik Indonesia

Idul Adha: Kenyang Sehari Lapar Kemudian


Hari ini seperti Idul Adha sebelumnya hampir sama persis. Dimulai dengan Pemuka khutbah yang menyinggung lakom Ibrahim dan Ismail berserta kedua wanita Hajar dan Sarah, sebagai keluarga dengan totalitas kepatuhan. Sebuah kisah nostalgia tentang pengurbanan keduawian terhadap Tuhan. Atas nama ketaatan dan keyakinan. Membelakangi logika dan emosi sebagai manusia yang punya hawa nafsu dan nalusi kealfaan. Begitulah cerita yang diulang. Saat khutbah dan memoar kita tentang Idul Adha setiap kali datang.
 
Kemudian, orang-orang bersiap memotong hewan qurban setelah shalat ied. Ada nilai kebersamaan, saling membantu dan gotong royong. Pada setiap proses penyembelihan sampai penataan hewan kurban. Kemudian  berduyun orang antri mengambil jatah, namun masih ada sikap tidak harmonis untuk sekedar memaknai hak dan ketepatan. Ada yang berhak namun tidak berkesempatan. Namun yang tidak berhak malah mendapat kelebihan. Disinilai nilai entitas ilahiah bertaruh vis a vis dengan konteks lingkungan.
 
Dalam benak saya yang sudah hamper 23 tahun memalui idul Adha. Ada satu hal yang pasti, dan satu lagi kenaifan. Yang pasti adalah makna kurban yang terlupakan. Sedangkan yang naïf adalah kita hanya dapat kenyangnya saja ketika Idul qurban itu datang. Tanpa melihat lebih jauh ke dalam konteks yang lebih panjang bahwa sebenarnya kita sedang diingatkan untuk berdampingan menjalani hidup antara kesibukan dengan keharusan berbagi dengan sesama.
 
Kurban bukan seremonial. Jadi berkurban bukan hanya setahun sekali hanya pada Idul Adha. Orang miskin itu lapar. Bila kita jadikan makan hewan kurban hanya peringatan setahun sekali. Maka tujuan dari islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tidak tercapai. Karena si miskin akan kembali lapar di sisa hari lain. Maka dari itu, makna kurban harus dikontekskan pada konsistensi keseharian, bersifat universal yang berinduk pada kebutuhan, serta membuat si miskin dapat makan pada hari-hari lainnya.
 
Kemudian dari pada itu, tolak ukur paling jitu adalah sejauh mana kita bisa konsisten berlaku empati untuk memberikan apa yang privat untuk menjadi hak orang lain dalam konteks kurban. Karena privatisasi internal dapat menimbulkan kealfaan. Tidak mampunya diri kita untuk terlepas dari ketergantungan antara diri dengan materi. Itulah ketidakberdayaan manusia. Sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Namun mengakui apa yang menjalani milik Sang pencipta menjadi dirinya.
 
Tujuan dari peringatan idul kurban adalah membuat si empunya untuk berbagi dengan si miskin. Dalam kehidupan sehari-hari bertetangga, hidup di kantor, belajar di sekolah. Sampai berkendara di jalan. Harus selalu diingat. Membantu itu berkurban. Menyisihkan harta kita untuk kebuutuhan orang lain. Tujuannya hanya karena Allah untuk keridhoan.
continue reading Idul Adha: Kenyang Sehari Lapar Kemudian

“Laskar Pelangi” Kebangkitan Pendidikan di Daerah Pedalaman


Bila pemerataan akses pendidikan terwujud, pondasi pembangunan akan berjalan aktif bersama kesadaran masyarakat untuk selalu belajar dan mewujudkan pendidikan dari semua (education from all) sampai terbentuk kemandirian berkarakter

Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan dengan kesuburan tanah Indonesia analogi kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Di sisi lain Hal terpenting yang harus diingat adalah dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia ada hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education
for all). Dimana kemanusiaan dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan di wujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.

Salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan saat ini adalah masalah pemerataan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator pemerataan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi, Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Terjadi penambahan tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25% dari jumlah penduduk Indonesia.

Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Berkaitan dengan hal itu sebenarnya dapat diatasi, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan 20% sebagaimana diamanatkan pada pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat) harus dikelola dengan baik sesuai kebutuhan.

Belum lagi nasib pendidikan didaerah pedalaman. Di Nabire dan Manokwari, Papua. Terdapat kejadian, Akibat runtuhnya gedung sekolah yang tidak layak, siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Lain halnya dengan di Palas, fasilitas pendidikan dan kulitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita mereka untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Di Singkawang, Kalimantan barat. Siswa dihadapkan dengan keterbatasan daerah yang masih semak belukar, dan juga persepsi yang mengklaim bahwa pendidikan tidak penting. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.

Di sisi lain, menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam “New Deal”, Sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya, setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.

Pesan Edukasi “Laskar Pelangi”

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,”

Menurut analisa semiotik penulis terhadap kisah “Laskar Pelangi”, didapat suatu pesan bahwa pendidikan adalah hak mutlak warga masyarakat. Dengan latar pedalaman daerah terpencil, mimpi besar seorang siswa dapat terwujud. Hal inilah yang mungkin menjadi ihwal menyikapi keterbatasan menjadi hal yang menggugah semangat belajar. Penulis lebih sepaham bila kita mengistilahkannya sebagai wishfull thingking, artinya bahwa geliat pendidikan nusantara nantinya berangkat dari pelosok daerah pedalaman yang dengan keterbatasannya dapat memaksimalkan cita.

Kemunculan kisah “Laskar Pelangi” juga dapat dikatakan sebagai kritik bagi pemerintah. Terutama masalah perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan di daerah pelosok. Hal yang memancing perhatian publik adalah bahwa sebenarnya kisah “Laskar Pelangi” adalah potret sesungguhnya tentang sikap apatisme pemerintah dalam akses pemerataan dan kualitas pendidikan. Ada pesan edukasi dalam kisah tokoh tersebut, Seperti, Ikal selaku tokoh utama yang kental dengan cita dan mimpi, Lintang yang jenius, Mahar yang artistik, Ibu Muslimah (Cut Mini) yang begitu komitmen terhadap pendidikan, serta Pak Arfan yang begitu setia pada sekolah mereka. Penjaga moral yang tak pernah surut semangatnya mengurus sekolah yang hanya bermuridkan sepuluh orang, meski tanpa keuntungan sepeserpun. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya,” demikian lelaki renta itu menyemangati Laskar Pelangi.

Hal yang menarik dari kisah ini yaitu tidak meninggalkan tema sentral pendidikan, sebagaimana dinarasikan oleh Andrea. Kisah Laskar Pelangi, memberikan inspirasi bagi penonton dan pembaca betapa pentingnya pendidikan. Sosok Lintang yang jenius adalah potret buram pendidikan kita. Kisah ini memahamkan kita kalau di negeri ini pendidikan masih seperti menara gading yang harus di nomor duakan demi menafkahi keluarga. Minggatnya Lintang dari sekolah mereka membuktikan bahwa untuk sekolah di negeri ini tidak cukup hanya dengan semangat dan kecerdasan otak, unsur materi masih menjadi syarat utama. Di usianya yang masih belia ia dipaksa menanggung beban hidup yang belum seharusnya ia pikul. Bekerja menafkahi keluarga dan meninggalkan bangku sekolah.

Dalam Kisah ini pun dipesankan bahwa kecerdasan tidak diukur dengan nilai-nilai angka dan materi semata, tapi dengan hati, kata Pak Arfan. Bahwa memang arti kata hati terdapat pesan humanistik. Dimana pendidikan dilakukan untuk memanusiakan manusia. Membangun masyarakat cerdas untuk merencanakan kehidupan di masa depan. Kebhinekaan siswa dengan latar yang berbeda mengisi setiap kegiatan pendidikan dan kemudian menjadi kunci, bahwa pendidikan adalah perwujudan realita yang harus dijalani dengan kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan. Hadirnya sosok Mahar dalam film ini, setidaknya memberikan sudut pandang lain tentang paradigma kecerdasan. Bahwa bukan hanya Lintang yang cerdas, Mahar yang suka musik pun juga dapat dikatakan cerdas. Dimitri Mahayana menyebutnya sebagai Multi Intelegent.

Concern Building Of Education

Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak masyarakat warga yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara sebagai konsepsi politik dan bangsa sebagai konsepsi budaya. Concern Building Of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsntrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan. Karena pendidikan adalah hak untuk semua. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan yang mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni, pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal yaitu equality of access, equality of survival. equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ketingkat daerah terpencil. Hal tersebut meliputi. Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan maka akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan'.

Dalam otonomi pendidikan yang optimal, akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsur kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal seperti Qaryah Thayyibah, di Salatiga, Semarang. Dikembalikan kepada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting adalah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.

Kedua, Menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Artinya, Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikanyang integral, dihasilkan suatu iklim dimana pendidikan menjadi suatu perhatian sentral dalam lapisan masyarakat.

Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan. Tidak hanya itu, paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan menajdi education from all. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirkan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.

Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaharuan dengan dostoevsy. Makna dari Dostoevsky adalah memanusiakan manusia dengan dengan cinta kasih, pendidkan seharusnya menggunaka hati. Aliran ini berasal dari rusia, awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia pada akhirnya. Lebih dari itu, penulis mengkorelasikan hal tersebut seperti konsep Pulo Freire dengan Pendidikan Kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.

Dalam epilog tulisan ini, penulis mengharap dari ketiga solusi tadi (baca: otonomi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan dostoevsy) dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education from all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa.

continue reading “Laskar Pelangi” Kebangkitan Pendidikan di Daerah Pedalaman

Riset, Jurnalisme, dan Kampung


Sebuah Tronton bertuliskan “TNI Angkatan Darat” memasuki wilayah desa Cisalak, Sukabumi. Pada suatu pagi yang hampir beranjak siang. Suasana desa terlihat sibuk. Para petani menanam padi. Sementara anak-anak terlihat berjajar di lapangan sekolah. Ojek-ojek berbaris menunggu giliran penumpang. Dan Warung kopi terlihat masih sepi. Ibu-ibu sibuk menjejali pasar yang tumpah sampai ke bibir jalan. Inilah suasana awal yang kami lihat ketika kali pertama bertandang dalam acara Bakti Sosial Pendidikan, tahun 2009 lalu.

Dalam tempo 5 hari dari situ, kegiatan berjalan sesuai rencana yang kami rumuskan di Kampus. Ada lomba, pembagian sembako, bermain bola, sampai nonton bareng dengan warga masyarakat. Ada yang spesial dari Baksospend kami, yaitu melakukan riset kecil di wilayah desa tersebut. Untuk melihat potensi masyarakat sekitar dengan keadaan apa adanya. memang agak bingung, dalam waktu yang relatif sempit. Kami mencoba melakukan itu, tanpa persiapan analisis sosial sebelumnya.

Alhasil banyak yang kita dapat, mulai dari relasi perusahan dan buruh desa yang belum juga berbuah kelayakan upah, sampai ke potensi tani dengan hasil kebun melimpah, ada juga yang menemukan sektor konservasi batu bata yang banyak diminati masyarakat industri kecil disana. Infrastruktur yang kurang memadai berjalannya sektor ekonomi desa. Dan masih banyak lagi yang lain. Itu semua hasil dari pengamatan risel lapangan yang dilakukan kami.

Sampailah kita di suatu malam ketiga dari 5 hari itu. Suasana malam itu dingin, sampai menusuk tulang, dan hidung hampir tertutup sesak karena menghisap embun. Masih saja sekelompok kita berbincang soal hasil penelitian, Baksos Pendidikan.

“Baik, kesepakatan kita bagamana soal tulisan ?” tanya Udin
“Bagaimana kalau dikumpul seminggu setelah tiba di jakarta” Astri menjawab dengan mata sayu.

Sementara peserta lain yang rapat terlihat kurang antusias karena lelah seharian menghabiskan waktu dengan lomba bersama Siswa SDN Cisalak 01 Pagi.

Tiba-tiba dari pojok lingkaran rapat. Terdengar pekik teriakan yang cukup menggelegar. Memecah kesunyian malam yang syahdu.

“Setuju……!!!!!”

Peserta rapat lain dengan mata yang tiba-tiba melek, tertuju pada sosok lelaki kental, berbadan gemuk. Sebut saja Babeh, yang pada saat itu mencoba membangunkan peserta rapat yang tertidur, katanya.

Semua tertawa. “Hahahahaha….”

*****

 
Seminggu sudah. Selepas Baksospend kami tiba di Jakarta. Dalam kumpul writing day sore itu, hanya dihadiri pengurus yang tidak lebih dari hitungan 1 tangan 5 jari. Sedikit memang, tapi kami tidak pernah menghiraukan itu. karena prinsip kami bahwa kualitas tidak diukur dati berapa jumlahnya, tapi pembahasan dan partisipasi di dalamnya. Toh, bangsa ini juga hanya dirumuskan oleh founding fathers yang tidak lebih dari jumlah peserta kegiatan sore itu.

“Mana yang lain ?” saya bertanya
“Ga tau kak, pada kecapean kali, habis baksos” Jawab Dini, salah seorang staff divisi penulissan.
“Kecapean kok sampe seminggu” cetus saya.
“Itu sih namanya malas datang aja” Tengku ikut menimpali, lelaki muda yang baru saja menghabiskan waktu 4 bulan di kalimantan untuk bakti pendidikan.

Apapun alasannya, saya kira kita telah keluar dari komitmen jika caranya seperti ini. Kecuali memang terlalu uzur. Akhirnya, kegiatan sore itu pun berjalan apa adanya. Sementara tema umumnya adalah membahas tindak lanjut tulisan hasil penelitian Baksospen di Sukabumi.

“Bagaimana tulisan ? tanya saya
“wah, zah.. Ga tau deh anak-anak” babeh bernada pesimis

Saya pun sudah terlanjur paham, penyakit anak LKM itu kan sering lupa karena sibuk sana-sini, agendanya banyak. Di LKM saja proker menumpuk, ini belum kelar, yang itu sudah mau jatuh tempo. Alhasil, semua tidak maksimal. Dan parahnya, kita jarang sekali punya waktu untuk belajar, membaca buku, dan menulis.

Selain itu anak LKM juga sering ngaret, janji datang jam 10 pagi, mulai rapat jam 1 siang. “ampun deh….”

Satu penyakitnya, malas datang kalau tidak di sms. Kalau anda tidak percaya. datanglah sekitar jam 10 pagi. Senyap. Atau fenomena sehabis UAS. Anak-anak pasti sibur tidur di rumah, “lho”. Tidur kok sibuk ya ?? Alasannya ketika UAS masih rasional, belajar. Tapi cobalah anda pikir. Apa rasional tidak datang ke LKM dengan alasan “sedang libur kak”, yang jelas saya hanya bisa mengelus dada dalam-dalam.

Kembali ke topik tulisan riset, sore itu saya memaklumi pengumpulan tulisan mungkin saja telat. Ada yang belum koordinasi. Ada yang datanya hilang. Ada yang tinggal nulis saja. Saya pun menunggunya. Sampai hitungan hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tulisan tidak juga terkumpul. Obrolan teman-teman di LKM pun sudah keluar dari tema riset baksos. dan berlanjut ke acara lain.

Dari situ saya mengubur dalam-dalam kesepakan awal yang dirumuskan bersama. Karena sudah basi berbicara itu. Dan himbauan saya sudah tidak lagi didengar. habislah lembaran cerita. Tinggal kita ambil pelajaran.

******

Sepenggal kisah diatas, sengaja saya kutip. Agar nasib riset nanti tidak demikian. oleh karenanya saya akan memberi sedikit pengantar ke arah format riset di Sukabumi nanti. Akan saya awali dengan sebuah analogi dasar yang membawa anda untuk berpikir menggunakan imajinasi, mari kita mulai kawan.

Bayangkan seolah-olah anda ada disana saat ini. Tempat LKM mengadakan Baksospend di kampung tugu, cibadak-sukabumi. Anda ditugaskan melakukan riset. mengumbulkan fakta dan data. Mengamati latar tempat, detil sekali, untuk keperluan narasi yang seksi. Kemudian merumuskan masalah. dan mewawancarai warga desa. Merekamnya. Kemudian mencatatnya. Tidak lupa mendokumentasikan foto. Agar emosi ketika menulis nanti tetap aman.

Kemudian itu semua anda olah, sampai ketemu rumusan masalahnya. Dalam bahasa Ansos, masalah sepadan dengan konversi, yaitu perubahan. Bila tidak ada masalah krusial, cobalah lirik apa yang menarik dari hasil riset anda, keunikan. Misalkan dalam alatar pertanian, ada petani menanam dengan cara yang khas, atau dalam alatar agama masyarakat melakukan ritual yang tidak biasa. itulah titik poin pengamatan, dan seterusnya anda bekerja dalam selimut “keunikan” dan masalah. Fokuskan.

Setelah itu, lakukanlah sebuah alur plot yang bertutur. kenapa harus begitu ? karena otak kita bekerja sistematis. Ibarat kata “omne vivum ex vivo” dalam bahasa pembaca adalah kita memahami sesuatu bagian tulisan karena ada penjelasan sebelumnya. Maka dari itu kita haru melurai seruntun dengan gaya bertutur. Seperti anda sedang mengurai sebuah cerita. Titik poin disini adalah inti ceritanya nanti bagaimana. cara menyusunnya seperti menguruskan satu demi satu fakta-data anda. “habis begini-begitu-terus akhirnya akan seperti ini…”, begitulah kira-kira jika saya ibaratkan.

Setelah anda melakukan olah data menjadi plot, berarti anda sudah menempatkan serpihan fakta-data tadi ke tempat yang seharusnya. Cobalah mulai berimajinasi dengan kata-kata yang akan anda tulis nanti. Misalkan memikirkan tentang rumusan aforisma pendamping fakta. dan seterusnya.

Setelah berimajinasi dengan kata, cobalah untuk menuliskannya. secepat mungkin.  Sebagus mungkin. hal penting adalah memasukkan jiwa dan emosional anda. Ingat ! menulis harus lepas dari beban tuntutan ini; tulisan harus bagus, tulisan harus panjang, tulisan harus cepat saji. Karena anda akan bekerja dalam tekanan. Menulis saja dengan jiwa yang lepas. Tapi berpikirlah tentang substansi tulisan anda. Maka tuntunan yang tadi menghantui anda akan nurut, dan bukan menjadi ancaman.

Hal penting, setelah saya melihat rundown acara Baksospend. waktu menulis paling rasional HANYA 3 JAM SAJA. Kecuali anda merelakan waktu tidur malam itu.

*****

Sekarang izinkan saya berbicara agak teoritis tentang tulisan. Sebelumnya saya ingin anda tahu. Bahwa nanti tulisan yang kahirnya dibuat untuk format riset adalah feature atau gaya tulisan bertutur. Selama saya mendalami gaya tulisa itu, ada dua jenis yang sekiranya dapat saya jelaskan. Pertama jenis feature panjang dengan liputan mendalam kira-kira ukurannya dari 30.000-70.000 karakter. Kedua jenis feature pendek sampai ukuran menengah kira-kira ukuran 7000 sampai 20.000 karakter.

Selain soal ukuran karakternya, cara liputannya juga sangat berbeda. kalau yang panjang memakai metode investigative reporting waktunya bertahun-tahun, kalau yang pendek hanya menggunakan metode liputan biasa waktunya relatif bisa hitungan hari-minggu-sampai bulan. Tetapi tetap berupaya menyeruak unsur menggali informasi dibalik kasat fakta. Kemudian menyajikannya dengan gaya bertutur kepada pembaca. Disitulah kenapa membaca feature lebih dapat diterima oleh banyak orang ketimbang laporan ilmiah dengan abstraksi, bisa-bisa melihat judulnya saja kita sudah kabur duluan.

Sekarang sudah satnya saya berbicara tentang jurnalisme ilmiah, yaitu suatu istilah yang saya kampanyekan semenja setahun lalu untuk LKM. Mengandui konsep hasil konvergensi antara dunia ilmiah dengan jurnalistik. Riset yang kalian lakukan nanti, di Sukabumi adalah salah satu jenisnya. Dalamnya riset, tulisannya jurnalisme, dan metodenya penggabungan antara ilmu liputan jurnalisme dengan konsepsi ilmiah. akhirnya adalah sebuah feature, sekali lagi feature.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan ketika menulis sebuah feature. menurut Robert vare seorang lelaki paruh baya yang rambutnya memutih. Dia adalah seorang jurnalis The New Yorker dan The Rolling Stones. Setidaknya feature yang bagus harus mengandung hal berikut:

Pertama, fakta. Anda harus ingat, kejujuran adalah segala-galanya. Dan oleh karena itu fakta dikatakan kemurnian dari sebuah informasi. Sesuatu yang belum terkontaminasi oleh apapun, termasuk asumsi anda sendiri. dari fakta inilah anda berangkat menyusun satu demi satu mutiara di dalamnya objek reportase. Dia bukan pendapat anda, juga bukan kata-kata puitis berbentuk aforisma. Tapi fakta, adalah fakta, adalah fakta, adalah kebenaran, yang nyata.

Kedua, Konflik. Suatu tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya dengan konflik. Bila nanti anda menulis feature, sebaiknya pikir bagaimana memunculkan sengketa dalam tulisa itu ? konflik berarti masalah. Karena itu orang kemudian tertarik. Dan terus membaca tulisan anda. saya beri contoh, misalkan ada di kampus itu seorang pemuda yang menantang adat, mistis, dan sistem masyarakat. Pasti ada episode dalam hidupnya yang menegangkan. Maka sajikanlah.

Ketiga, Karakter. feature adalah sebuah narasi, dan oleh karena itu ia butuh karakter. karakter membantu pembaca mengingat cerita. ada karakter utama. Ada karakter pembantu. karakter utama seyogyanya terlibat dalam bagian besar cerita itu. Karakter pembantu adalh pendamping aktor utamanya, misal orang-orang yang ikut menginspirasi, membantu, sampai mendampingi. Semua dikemas dengan sajian yang tidak linier. Sisispi dengan kagetan.

Keempat, Akses. Anda seharusnya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya. Dari situlah anda kemudian mendapatkan sekupas demi sekupas fakta. Maka cobalah untuk mencari itu.

Kelima, Emosi. Ia bisa rasa cinta. Bisa penghianatan. Bisa kebencian. Kesetiaan. kekaguman. Sikap menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita anda menjadi hidup. Seperti merasakan. Emosi juga bisa bolak-balik. mulanya benci, kemudian cinta. mungkin juga ada pergulatan batin. mungkin ada perdebatan pemikiran.

Keenam, Unsur kebaruan. tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama, basi. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan dari unsur substansi dan bahasa. Substansi erat dengan angle, artinya beda dari penulis lainnya. Sementara bahasa berarti anda bermain pada diksi. Cobalah kemas perbendaharaan kata yang tidak lazim, agak sastrawi boleh, atau bahasa lisan, tetapi ingat kalau anda memaktubkan bahasa lisan tidak boleh berlebihan. ingat ini dunia literasi, sekalipun feature ia tetap tulisan.


continue reading Riset, Jurnalisme, dan Kampung