Senin, 22 Agustus 2011

Ruang Imanen

Di ruang itu lamunan orang berubah jadi mimpi 
Tentang nilai yang entah berujung apa ?

Bung, mari kita menikmati proses, 
Meski orang kata itu uang, Bagi kita semisal derita
Namun kehendak mereka berbeda simpul
Pendapat tidak perlu sama, bukan ? 
Berkacalah pada alam yang serasi meski tidak seragam 

Kadangkala hari-hari menepi di pendakian hidup
Ramai bersahut senyum, ranum diterik emosi
Orang lain tak akan pernah tau siapa kita
Juga dunia yang semakin sulit ditebak arahnya
Kadang kompas dibuat bingung menavigasi petunjuk

Figura dinding sedikit miring ke barat, hampir jatuh
Diatas sapu ijuk yang bersandar ke utara 
Ruang itu gelap, hanya sepancar sinar yang masuk
Karena loteng yang bolong, dan jendela yang kusam.
Biarlah tetap menjadi gelap agar tidak terbakar matahari 

Atap-atap langit kita bernoda 
itu akibat jejak air yang memaksa masuk saat hujan
dan kita anggap hujan itu rezeki, 
Rahmat yang turun dari langit oleh Tuhan
Walauppun pada kenyataannya kita tetap saja miskin

Di ruang itu, lapar menjadi teman baik kita membaca
Tempat kita membentangkan karpet untuk tidur malam
dan bertapa pada imanensi pikiran yang jauh
Lantas, seberapa lama kita bisa ada. Mengisinya lagi.
Seperti sedia kala. Saat aku baru saja mengenal tujuan


Hamzah Ichwal,
Menteng 25 Agustus 2011


0 komentar:

Posting Komentar