Senin, 22 Desember 2008

Refleksi Strategik Kemandirian Ekonomi


Ideologi kapitalisme dengan doktrin laissez-faire telah membuat guncangan besar dalam tatanan perekonomian global. Asumsi ’the invisible hand’ pada pasar, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasar terbukti tidak mampu mengatur dirinya sendiri, kemudian timbul keajegan pada kelembagaan pasar karena kredit macet. Rakyat miskin di Amerika Serikat diarahkan memiliki rumah namun dengan mekanisme pasar dan bukan dengan pendekatan intervensi terhadap pasar itu sendiri, yaitu peran pemerintah.

Pemerintah Amerika Serikat menggunakan pendekatan rekayasa keuangan yang justru mengikat sektor keuangan seperti bank tradisonal dan investment bank untuk memiliki loan yang tak berbasis passiva. Jadi tugas APBN diserahkan ke pasar dengan melakukan rekayasa keuangan pada sektor keuangan itu sendiri. Padahal jika pemerintah Amerika Serikat mau memberikan subsidi melalui APBN maka resiko kehancuran sektor perbankan di Amerika Serikat dapat dihindari akibat bermain rekayasa finansial di pasar sub prime mortgage itu.

Demikianlah bila mekanisme pasar dibiarkan sebebas mungkin, mengakomodir ketidakpastian (uncertainty) seperti apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Kemudian, krisis ekonomi pun merambat keseluruh penjuru dunia, karena kegiatan ekonomi telah tersentralisasi dalam sistem yang bernama ’kapitalisme global’. Dunia pun mengalami global imbalances di berbagai lini. Lebih lanjut, depresi seperti ini diproyeksikan akan mengalami kontraksi hingga tahun 2009, bahkan semakin dalam dan melebar 2010.

Semua bermula dari tidak adanya market regulating institution yang berperan sebagai stabilizing institution, pasar subrime mortgage dan perbankan di Amerika tidak diatur. Indonesia sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia turut mengalami resesi tersebut, setidaknya melalui beberapa faktor. Pertama, melalui faham neoklasik, Faham ini akan semakin menguat karena IMF akan menjadi semakin tinggi perannya dalam resesi ekonomi dunia kali ini. Melakukan intervensi ketergantungan pada banyak negara dunia ketiga.

Kedua, mekanisme transmisi melalui nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah menjadi melemah secara cepat sehingga sektor traded justru semakin melemah. Daya jual komoditas domestik pun akan jatuh harga. Hal ini dikibatkan oleh ducth diseases yaitu penyakit perekonomian dimana sektor inti dari suatu negara seperti pertanian dan industri tumbuh separuh dari total pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi adalah buble economic, pertumbuhan hanya sebatas angka dan mekanisme kosong pada instrumen portofolio.

Ketiga, melalui pasar modal. Pasar modal di Indonesia merupakan pasar modal yang mengalami penurunan harga saham ketiga paling parah di dunia. Pasar modal di Indonesia juga merupakan pasar yang didominasi oleh asing selain juga berisi ”hot money”. Dengan hancurnya harga saham maka rupiah juga semakin melemah karena para spekulan ingin meyelamatkan posisinya dalam dolar. Selain pasar saham, pasar obligasi di Indonesia juga semakin kering sehingga bunganya juga semakin mahal akibat kredibilitas kebijakan APBN di Indonesia yang diragukan oleh investor.

Kelima, adalah melalui neraca perbankan. Hal ini dapat dilihat dari terus trurunnya rasio aset bank terhadap produk domestik bruto. Perlu juga dicamkan bahwa rasio NPL tertinggi perbankan Indonesia hanya lebih baik ketimbang Filipina (dimana untuk kuartal pertama tahun 2008 Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan masing-masing adalah 4,3 persen, 4,5 persen, 3 persen, 3,7 persen, dan 0,7 persen). Artinya, perbankan Indonesia lebih rentan terkena pukulan oleh krisis karena krisis.

Penulis ingin mengulas kemudian memprediksi dengan ramalan yang sedikit berdasar pada argumentasi diatas. Bahwa, Tahap pertama, terjadi antara Agustus 2007 hingga September 2008 dimana sifatnya menghantam neraca dan rugi laba dari perbankan berskala internasional. Tahap kedua, terjadi antara periode  setelah September 2008 hingga saat ini dimana krisis semakin dalam menghantam neraca dan rugi laba perbankan skala internasional dan juga perbankan skala nasional di banyak negara.

Tahap ketiga, adalah periode saat ini hingga satu atau dua tahun ke depan dimana krisis keuangan juga menghantam neraca dan rugi laba perusahaan non perbankan. Untuk itu perekonomian indonesia harus membuat suatu pengamanan terhadap tsunami krisis global tersebut. Dalam teori Anthony Giddens untuk mengantisipasi uncertainty tadi adalah dengan menerapkan Antological Security, maksudnya dalam hal ini perekonomian nasional harus dapat menjalankan strategi kemadirian ekonomi.

Dalam mempertimbangkan pada strategi kemandirian ekonomi yang dikaitkan dengan situasi saat ini, beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, kebijakan ekonomi nonsiklis dimana kebijakan APBN dan moneter menjadi saling terkait dan terpadu dengan peningkatan defisit APBN dan penurunan BI rate secara signifikan. Kedua, hindari kebijakan neo klasik dan kerjasama dengan IMF. Untuk memperkuat cadangan devisa maka Indonesia dapat bekerjasama dengan negara Opec dan China yang kelebihan devisa. Gordon Brown yang juga perdana menteri Inggris bahkan telah meminta Saudi Arabia dan China untuk memperkuat modal IMF. Untuk apa Indonesia meminta dana IMF yang dananya ternyata berasal dari negara Opec?

Ketiga, terapkan kebijakan blanket guarantee tanpa batas oleh pemerintah di sektor-sektor fundamental perekonomian untuk mengukuh kepercayaan publik yang kemudian secara efek bola salju memperbaiki kelesuan iklim untuk terus menjalankan roda perekonomian. Dan kemudian menjaga pertumbuhan yang semakin meningkat Keempat, terapkan industrial policy dengan memberikan rebate ekspor, kebijakan nilai tukar yang tepat dan perlindungan tarif dan non tarif barrier dari serangan produk impor dan memperkuat produk domestik.
continue reading Refleksi Strategik Kemandirian Ekonomi

Rabu, 03 Desember 2008

Miskin Popularitas Politik


Gerakan politik di era informasi coba melakukan ekstensifikasi keranah neologisme persuasif di berbagai media komunikasi, membuat semiotika pesan yang mencitrakan diri mengubah politikus medioker kepada popularitas.

Menjalarnya iklan politik dengan berbagai bentuk di beberapa media sosialisasi publik telah menjadi riuh di tengah dinamika demokrasi. Ironisnya, pergerakan politik saat ini cenderung lebih menekankan pada aspek popularitas, bukan kualitasnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada nasib dan masa   depan bangsa. Polularitas publik saja tidak cukup menjadi modal dalam merubah kondisi bangsa saat ini, tanpa diikuti oleh strategi dan langkah konkret pengentasan masalah kebangsaan.

Ekstensifikasi gerakan politik keranah popularitas publik tidak terlepas dari pergeseran zaman ke abad informasi. Dalam hal ini, media sosialisasi publik memegang peranan penting untuk mempengaruhi kecenderungan masyarakat. sebagaimana diungkapkan oleh Melvin DeFleur (1975) media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Bila di era panglima perang Alexander the Great dan Napoleon diperlukan meriam dan bedil sebagai alat memperbesar pengaruh dan memenangkan dukungan politik. Maka saat ini iklan di media sosialisasi menjadi alat meraup popularitas masyarakat, begitu kira-kira hemat penulis.

Disisi lain indikasi euphoria iklan politik dapat diasumsikan bahwa gerakan politik saat ini ‘miskin popularitas’, bahkan ‘miskin kepercayaan’ dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena seringkali terjadi kesenjangan antara apa yang dijanjikan oleh bayak gerakan politik dengan kenyataan implementasi kebijakan saat pemerintahan berjalan. Kebijakan yang masih mendiskreditkan kepentingan rakyat, serta peneyelewengan wewenang kekuasaan masih sering terjadi. Dengan begitu, rakyat semakin tidak mudah percaya.

Belum lagi dana yang dikeluarkan untuk ongkos iklan politik sangat tinggi, bila asumsi seorang politisi memasang 500 papan iklan seluas 4 meter persegi di satu kabupaten selama 2 bulan, hitungan kasar saya mengatakan ia akan mengeluarkan biaya sekitar Rp.160 Juta. Untuk biaya iklan di televisi menghabiskan sekitar Rp. 15 Milyar setiap bulan, dan iklan satu halaman penuh di harian media massa terkemuka bisa menghabiskan lebih dari Rp. 75 Juta. Hal ini tentu saja konsekuensi bila politik bergeser arah ke popularitas.

Selain itu, kecenderungan Iklan politik yang dimuat di media massa, terutama televisi, saat ini belum menyampaikan program dan sasaran yang tegas. Masih tersentralisir pada memoriam keberhasilan masa lalu belaka dan mengagungkan penokohan segelintir partai, ironisnya beberapa parpol merasa memiliki beberapa tokoh tersebut, padahal tokoh tersebut berjasa untuk bangsa bukan untuk parpol. Dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan yang dapat direalisasikan dan sesuai dengan konteks kebangsaan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi sebagai calon pemimpin. Bukan yang lain.

Neologisme dan Medioker Politik

Kecenderungan diatas sebenarnya masuk dalam diskursus komunikasi politik, dimana iklan menjadi mediasi atau sarana menyalurkan ‘pencitraan’. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah menyalahi aturan, karena sama saja dengan menipu orang lain. Hal inilah yang sering disepelekan oleh aktor politik saat ini. Dalam bahasa komunikasi politik, hal ini sering diistilahkan dengan neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Hanya untuk menarik simpati masyarakat untuk mendukung.

Dalam kajian sosial, kecenderungan pada popularitas diistilahkan dengan Hobbe-Nietzchean, yaitu orang yang ingin dikenal baik pada ruang-ruang publik. Dengan mencitrakan jasa diri dan orang lain sebagai klaim rekayasa yang dimilki. Dalam kenyataannya seringkali kita melihat kepemilikan tokoh bangsa oleh golongan politik. Diskursus ini termasuk dalam disiplin realita uang, dan kekuasaan sebagai simbol atau tujuan politik yang negatif. Mengakomodir pemerintahan dengan keserakahan manusia.

Komunikasi politik yang dikemas dengan iklan, reklame, dan poster, serta slogan politik lainnya memang efektif mendongkrak popularitas. Hal inilah yang kemudian menjadi efek bola salju bagi kaum medioker politik lainnya untuk mencanangkan strategi mendingkrak popularitas diri. Medioker adalah orang yang tidak punya bekal berpolitik, biasa-biasa saja, dan rendah popularitas sama dengan ‘miskin politik’. Tapi kita harus sadar, bahwa politik tidak hanya berbekal popularitas, tapi norma dan komitmen perubahan.

Politik Ideal

Seharusnya, gerakan politik mengedepankan aksi bukan embel-embel popularitas. Untuk berbuat kebajikan pada rakyat tidak harus terlebih dahulu duduk di pemerintahan, kesempatan itu terbuka bagi siapapun termasuk partai politik. Ketika melakukan gerakan politik pun harus bertujuan membangun bangsa, bukan memenangkan persaingan antar partai. Bangsa kita tidak akan berubah bila arah dan tujuan gerakan politik masih berkutat pada ranah popularitas.

Selain itu, moral politik juga harus ditransformasikan dalam komitmen kebijakan. Membuat loyal society dengan aksi, bukan janji. Politikus yang demikikian sesuai dengan apa yang diasumsikan oleh Rawls dan Habermas dalam bukunya Keadilan Sosial mewujudkan politik moral. Bila semboyan demokrasi-politik adalah vox populi vox dei, maka belajarlah untuk interest pada kondisi dan nasib rakyat untuk akhirnya membangun bersama kepercayaan.

Sekedar berkomentar tentang paradigma politik yang membumi. Maka, bila politik adalah siasat, maka bersiasatlah untuk perubahan. Bila politik adalah alat gunakanlah untuk perbaikan. Bila politik itu kejam, buatlah ia menjadi baik dan alihkanlah pada kemaslahatan. Bila politik adalah kepentingan, maka berpihaklah pada kepentingan rakyat. Semua ada baiknya, tergantung sudut pandang kita melihat peluang untuk selalu berpaku pada norma dan moral berpolitik.

continue reading Miskin Popularitas Politik

Jumat, 21 November 2008

Reengineering Human Capital: Reconstruction of Development Principles Toward Welfare State



What we speak about poverty sounds like a spotlight discussed a lot of people in Indonesia. The Rubrics of humanities published in mass media were filled by the phenomenon of poverties in different parts of the Indonesia country with a variety of symptoms—malnutrition and the spread of disease.

The Central Bureau of Statistics (BPS) publish that the poverties reach 14.5% in 2009, 13.33% in 2010, 12.49% in 2011, and 11.96% in 2012. The data conclude that poverties have declined, nevertheless the poverties cannot be inferred from the quantitative data. The real facts on civic life remain social inequality .

The poverty should be seen as a relative concept, because the poverties relate to the structure of society. The poverties are not defined in terms of quantitative economy, furthermore it is qualitative and humanistic. In other words, the poverties cannot be determined as a single issue (poverty), but it is the plural meanings (poverties).

There are three concepts of poverties used as a reference—absolute poverties, relative poverties and subjective poverties (Suntoyo Usman, 2003). The absolute poverties are defined by making a certain size which is concrete—the basic living needs of society (clothing, food, shelter). The relative poverties show the dimensions of space and time. They are typically measured by the consideration of particular society who are oriented by the degree of life viability. 

The basic assumptions of poverties are different in the other regions, and times. The opinion of poverties are formulated by themselves in their context. This concept is not familiar with objective poverty and relative poverty. The societies according to the characteristics of poverties do not possibly consider themselves who are poor and vice versa.

The Misguided Development

The eradication of poverties in a nation cannot be separated from development. In 1969, the government of Indonesia initiated a crash-programs which follow the pattern of capitalist by borrowing funds from abroad—the Inter Governmental Group On Indonesia (IGGI). A financial capital is considered as a single crucial variable of construction. There are the others of crucial variable—human capital that seemed neglected—that must be considered by the government.

In 1967, the government issued Foreign Investment Law, so that she invited the foreign investors to invest in Indonesia. Its policy can be said that production rises as a result of the investment, but the income levels of farmers, industrial workers, and low-wage service employees in urban areas—the rural areas—remain low. The results of the misguided strategy of development born some problems— 1) increasing the external debts which causes Indonesia at the third level debtors of the world after Mexico and Brazil. 2) the raise of inflation which devalues the rupiah against foreign currencies. 3) depletion of natural resources—forest and oil that cause endangerment preservation and environmental damage. 

The environmentalists say that destruction of natural resources is calculated by the cost—the growth of the real economy becomes much smaller than the gain of investment. It may even be a negative economic growth. Draining oil may exacerbate natural damage, so that Indonesia eventually ceases to be oil exporters, and causes the energy crisis.

The foreign debts and the decline of oil revenues induce a budget crisis—the pressure of difficult conditions. On the advice of the International Monetary Fund (IMF), the government should reduce or eliminate subsidies to address the budget. The subsidies of Small and Medium Enterprises and Cooperative (SMEC) are revoked. The fuel subsidies (BBM) which are drastically reduce born the higher fuel prices. Increasing fuel prices triggers an increase prices of goods— it means increasing of inflation, so that people's purchasing power dramatically declines and causes the poverties.

Reengineering Human Capital

Single crucial variable that can be expected is human capital—agents of development and poverty-fighting in the era of global competition. Building human capital takes time, hard work, and struggle. Our nation requires human capital that has a strong character, positive mind, ethical work,  moral sense, and honesty .

Nowadays, the human capital discourages heart. The riots, violence and crime have become the spotlight in the media. The corruption entrenched as a common issue. The Compassion increasingly eroded by individualism and materialism. 

Reengineering human capital or human capital engineering is the constructive design of development—the human capital of the nation. Sharif (1993) says that the engineering are physical facilities (techno ware), skills, expertise, and even human creativity (Human ware) (Kompas, 17 April 2007).

Realizing the human capital is integral. There are four elements that must be considered. Firstly, public education. It requires a considerable substantial investment. The constitution of 1945 determines the education budget—at least 20% of the national and regional budgets. The importance of human resource development and the impact of the investment in human capital have become a major concern by Theodore W. Schultz in his book—The Economics Of Being Poor (1993).

Secondly, attitudes and behaviour in relation to the work ethic. It is associated with what is often referred by "culture of poverty". He concrete examples of the attitudes and behaviours— lazy to work, wasteful consumption, low self-esteem, underestimate, resigning to fate—that born the poverty.

Thirdly, the technical skills which are associated with tools and energy. It is associated with the development of technology systems and equipments to cultivate the land. The use of this equipment systems greatly improve the productivity of human labour and labour-saving nature. Samuelson depicts by the theory of “Increasing Return to Scale” of microeconomic theory—the technology then the output will increase by more than the added input.

Fourthly, entrepreneurship. The entrepreneurial economy is the driving forces that connect the world with innovative techniques to market. The characteristic entrepreneurs are the motive to obtain the risk, but the activities are driven by the profit motive, in this case the nationalist spirit must be maintained. The theory of “Swasono Compasssion Utility” who prefer the interests of the nation to consume, rather than pursuing a more favourable consumer equilibrium foreign parties.    



Refereces:

Books
Rahardjo, M. Dawam. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: khanata, pustaka LP3ES Indonesia.
Poerwopoespito, F.X. Oerip S dan T.A. Tatang Utomo. 2000. Mengatasi Krisis Manusia Di Perusahaan: Solusi Melalui Pengembangan Sikap Mental. Jakarta: Grasindo.

Articles
Muttaqien, Arip. Paradigma Baru Pemberantasan Kemiskinan: Rekonstruksi Arah Pembangunan Emnuju Masyarakat Yang Berkeadilan, Terbebaskan, Dan Demokratis. 
Handayani, Ririn. Paradigma Baru Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia: Bukan Sekedar Tugas Dan Kebajikan, Tapi Sebuah Investasi. 

Mass Media
Kompas, 17 april 2007
continue reading Reengineering Human Capital: Reconstruction of Development Principles Toward Welfare State

Selasa, 11 November 2008

Disruption Media

Menurut futuris Alvin Toffler kecenderungan dunia saat ini telah masuk pada gelombang ketiga atau era informasi, dengan begitu media memegang kendali untuk membawa iklim kehidupan menggugah kodrat manusia dan membentuk tata sosial baru.

Pergeseran ranah transisi kehidupan telah beralih, dari masyarakat pemburu-pengumpul menjadi masyarakat pertanian, kemudian dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Dilanjutkan dengan abad informasi, pascaindustri, atau posmodernisme dengan berbagai ciri positif yang nampak seperti  berkembangnya tatanan penemuan pada ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan diskursus globalisasi dengan melintasi jarak ruang, bahkan waktu.

Namun, dari kecenderungan tersebut. Ada tata nilai yang menggugah kodrat manusia kearah disruption besar dalam transisi gelombang ketiga tersebut. Francis Fukuyama mengatakan bahwa hal tersebut dicirikan dengan erosi pada modal sosial. Kepercayaan manusia pada manusia lain menipis, kecurigaan dan ketakjuban merebak, serta pelanggaran hukum dan kejahatan semakin meningkat. Proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi saling memakan dan merugikan.

Dalam transisi tersebut, analisis Francis Fukuyama bukan terfokus pada perubahan, akan tetapi lebih pada akibat terhadap tatanan masyarakat. Yaitu hubungan antar individu secara formal (hukum) dan informal (etika, moral). Dalam perubahan tersebut, menurut hemat penulis tentulah dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung oleh tatanan informasi yang disajikan oleh media. Sebagai penentu arah pembawaan lintas-diskursus tentang informasi, dan bagaimana tatanan sosial masyarakat mencerna.

Beberapa hari lalu, kita dicengangkan dengan pemberitaan media massa bahwa saat ini dengan meningkatnya kejahatan dipengaruhi atau diinspirasi oleh penyajian acara di media. Bahkan lebih kejam. Setidaknya terjadi 13 kasus pembunuhan dengan mutilasi di indonesia. Angka itu tertinggi untuk periode tahunan, sejak kasus mutlilasi muncul tahun 1967. sementara itu, pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi. Hal tersebut mungkin saja dipicu oleh jenis tayangan kekerasan dan pemberitaan kriminalitas yang mendominasi.

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia siaran televisi yang mengandung kekerasan telah memasuki berbagai ranah acara televisi ranah sinetron (29,7%), film kartun (6,8%), variety dan reality show (20,9%), klip musik (4,7%), kuiz (6,8%), berita (10,1%) talk show (6,8%), iklan (8,1%), olah raga (2%), lainnya (4,1%). Dari sinilah kemungkinan tata hidup sosial masyarakat kita saat ini dipengaruhi, sebagaimana diungkapkan oleh Melvin DeFleur (1975) media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa.

Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada kenapa media melakuakan sesuatu pada kita, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan besar antara nilai positif dengan harapan media yang dipengaruhi oleh rating. Hal tersebut akan mengarahkan penyajian informasi yang nihil-esensial. Tidak penting, cenderung hanya untuk hiburan semata. Dengan mengabaikan pengaruhnya di tengah-tengah tatanan sosial masyarakat.

Francis Fukuyama memprediksikan bahwa ketika terjadi Guncangan Besar pada transisi Gelombang Ketiga akan terjipta suatu pergerakan alamiah manusia yang mengarah pada perbaikan. Dengan alasan naluriah bahwa manusia adalah makluk sosial, yang sebagian besar dorongan dasarnya membimbing pada penciptaan aturan-aturan moral yang mengikat dirinya satu sama lain menjadi kelompok-kelompok masyarakat dengan penerapan moral dan norma etika.  

Dalam teori lain perihal media ada peluang dimana media dapat memberikan tayangan edukatif, yaitu teori Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring tayangan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers”. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan nilai-nilai edukati dan secara objektif menyusupi tata nilai positif pada tayangan tersebut. Dalam hal hal ini paradigma mengejar rating harus dihapuskan, sebelum masyarakat kita benar-benar sadar.
continue reading Disruption Media

Senin, 19 Mei 2008

Intuisi dan Realita Kehidupan

Telalu banyak peristiwa yang berakhir tanpa nilai,
Karena ia tak nyata dalam bentuk,
Daun berserakan bisa menjadi pohon,
Karena intuisi berarti ilham, bagi penulis.



Hidup menyimpan banyak pesan yang hanya dapat ditangkap lebih dalam dengan hati. Menyelinap dalam kejamnya dunia, dan terkadang khilaf dalam fatamorgana keindahan materi. Dinamika, suatu kondisi yang hanya bisa dipahami dengan intuisi. Memaknai setiap detik dengan internal wisdom, sehingga dapat tercipta suatu pembelajaran untuk semua dan semasa dalam tulisan.

Intuisi merupakan olah rasa, dimana nurani menjadi tameng bagi abstraksi diri. Jika direnungi, banyak hal yang dipikir secara rasio tapi bertentangan dengan hati. Seperti sesuatu yang dilematis dengan tuntutan kemanusiaan. Penulis lebih cenderung untuk menyikapi rasio yang diolah oleh intusi hati. Karena lebih jujur dan berarti. Untuk hidup dan kehidupan.

Realita bukan apa yang dipikirkan secara ideal, tapi yang nyata untuk dilakoni sebagai hal yang seharusnya dijalani. Menyikapi realita bagi seorang penulis adalah analisis kritis dengan korelasi rasio dan intusi hati. Setelah itu, lakukan suatu pengayaan materi, satu dengan yang lain dengan strategi diferensiasi terhadap kekhususan ilmu. Lakukan secara bertahap dan konsisten.

Jika hal tersebut memancing kebuntuan, bisa jadi anda belum mendapat feel tentang tema yang anda tulis. Anda belum seimbang dalam menggunakan rasio dan intuisi. Bisa jadi anda lebih berfikir teoritis yang melangit, tanpa melihat konteks. Kesesuaian itu perlu, untuk mengisi satu lembaran dengan citra dan perasaan. Agar tulisan punya jiwa yang hidup. Dan bisa berkomunikasi dengan pembaca. Gambarkan diri anda sesuai dengan pesan terimplisit.

Sekarang, apa jadinya jika intusisi melebihi rasio. Yang terjadi dalam tulisan anda adalah bahasa puitis yang tidak punya arah dan plot penulisan. Akan membuat pembaca jera dan lelah melihat tulisan anda. Kuncinya adalah jadikan intusi itu sebagai stimulus mood yang katanya punya peran penting dalam proses penulisan. Jika demikian berilah yang terbaik untuk diri anda dan orang lain.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah mengolah kedua hal tersebut sehingga menjadi aksi yang konsisiten, juga tidak mengenal toleransi terhadap kesiaan waktu. Karena yang membuat halangan adalah diri dan kedaan untuk dilakoni. Sisakan moment waktu dalam sehari utnuk sekedar mengolah rasio dan intusi menjadi seimbang dengan terapi angan keseharian. Saluran terbaik adalah buku diary. Namun, coba buat agak bermakna ilwal kontemplasi kehidupan.

Salam cermat untuk kritis dalam bersikap.
Dan selamat menulis demi tanggung jawab dedikasi intelektual
continue reading Intuisi dan Realita Kehidupan