Senin, 22 Desember 2008

Refleksi Strategik Kemandirian Ekonomi


Ideologi kapitalisme dengan doktrin laissez-faire telah membuat guncangan besar dalam tatanan perekonomian global. Asumsi ’the invisible hand’ pada pasar, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasar terbukti tidak mampu mengatur dirinya sendiri, kemudian timbul keajegan pada kelembagaan pasar karena kredit macet. Rakyat miskin di Amerika Serikat diarahkan memiliki rumah namun dengan mekanisme pasar dan bukan dengan pendekatan intervensi terhadap pasar itu sendiri, yaitu peran pemerintah.

Pemerintah Amerika Serikat menggunakan pendekatan rekayasa keuangan yang justru mengikat sektor keuangan seperti bank tradisonal dan investment bank untuk memiliki loan yang tak berbasis passiva. Jadi tugas APBN diserahkan ke pasar dengan melakukan rekayasa keuangan pada sektor keuangan itu sendiri. Padahal jika pemerintah Amerika Serikat mau memberikan subsidi melalui APBN maka resiko kehancuran sektor perbankan di Amerika Serikat dapat dihindari akibat bermain rekayasa finansial di pasar sub prime mortgage itu.

Demikianlah bila mekanisme pasar dibiarkan sebebas mungkin, mengakomodir ketidakpastian (uncertainty) seperti apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Kemudian, krisis ekonomi pun merambat keseluruh penjuru dunia, karena kegiatan ekonomi telah tersentralisasi dalam sistem yang bernama ’kapitalisme global’. Dunia pun mengalami global imbalances di berbagai lini. Lebih lanjut, depresi seperti ini diproyeksikan akan mengalami kontraksi hingga tahun 2009, bahkan semakin dalam dan melebar 2010.

Semua bermula dari tidak adanya market regulating institution yang berperan sebagai stabilizing institution, pasar subrime mortgage dan perbankan di Amerika tidak diatur. Indonesia sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia turut mengalami resesi tersebut, setidaknya melalui beberapa faktor. Pertama, melalui faham neoklasik, Faham ini akan semakin menguat karena IMF akan menjadi semakin tinggi perannya dalam resesi ekonomi dunia kali ini. Melakukan intervensi ketergantungan pada banyak negara dunia ketiga.

Kedua, mekanisme transmisi melalui nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah menjadi melemah secara cepat sehingga sektor traded justru semakin melemah. Daya jual komoditas domestik pun akan jatuh harga. Hal ini dikibatkan oleh ducth diseases yaitu penyakit perekonomian dimana sektor inti dari suatu negara seperti pertanian dan industri tumbuh separuh dari total pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi adalah buble economic, pertumbuhan hanya sebatas angka dan mekanisme kosong pada instrumen portofolio.

Ketiga, melalui pasar modal. Pasar modal di Indonesia merupakan pasar modal yang mengalami penurunan harga saham ketiga paling parah di dunia. Pasar modal di Indonesia juga merupakan pasar yang didominasi oleh asing selain juga berisi ”hot money”. Dengan hancurnya harga saham maka rupiah juga semakin melemah karena para spekulan ingin meyelamatkan posisinya dalam dolar. Selain pasar saham, pasar obligasi di Indonesia juga semakin kering sehingga bunganya juga semakin mahal akibat kredibilitas kebijakan APBN di Indonesia yang diragukan oleh investor.

Kelima, adalah melalui neraca perbankan. Hal ini dapat dilihat dari terus trurunnya rasio aset bank terhadap produk domestik bruto. Perlu juga dicamkan bahwa rasio NPL tertinggi perbankan Indonesia hanya lebih baik ketimbang Filipina (dimana untuk kuartal pertama tahun 2008 Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan masing-masing adalah 4,3 persen, 4,5 persen, 3 persen, 3,7 persen, dan 0,7 persen). Artinya, perbankan Indonesia lebih rentan terkena pukulan oleh krisis karena krisis.

Penulis ingin mengulas kemudian memprediksi dengan ramalan yang sedikit berdasar pada argumentasi diatas. Bahwa, Tahap pertama, terjadi antara Agustus 2007 hingga September 2008 dimana sifatnya menghantam neraca dan rugi laba dari perbankan berskala internasional. Tahap kedua, terjadi antara periode  setelah September 2008 hingga saat ini dimana krisis semakin dalam menghantam neraca dan rugi laba perbankan skala internasional dan juga perbankan skala nasional di banyak negara.

Tahap ketiga, adalah periode saat ini hingga satu atau dua tahun ke depan dimana krisis keuangan juga menghantam neraca dan rugi laba perusahaan non perbankan. Untuk itu perekonomian indonesia harus membuat suatu pengamanan terhadap tsunami krisis global tersebut. Dalam teori Anthony Giddens untuk mengantisipasi uncertainty tadi adalah dengan menerapkan Antological Security, maksudnya dalam hal ini perekonomian nasional harus dapat menjalankan strategi kemadirian ekonomi.

Dalam mempertimbangkan pada strategi kemandirian ekonomi yang dikaitkan dengan situasi saat ini, beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, kebijakan ekonomi nonsiklis dimana kebijakan APBN dan moneter menjadi saling terkait dan terpadu dengan peningkatan defisit APBN dan penurunan BI rate secara signifikan. Kedua, hindari kebijakan neo klasik dan kerjasama dengan IMF. Untuk memperkuat cadangan devisa maka Indonesia dapat bekerjasama dengan negara Opec dan China yang kelebihan devisa. Gordon Brown yang juga perdana menteri Inggris bahkan telah meminta Saudi Arabia dan China untuk memperkuat modal IMF. Untuk apa Indonesia meminta dana IMF yang dananya ternyata berasal dari negara Opec?

Ketiga, terapkan kebijakan blanket guarantee tanpa batas oleh pemerintah di sektor-sektor fundamental perekonomian untuk mengukuh kepercayaan publik yang kemudian secara efek bola salju memperbaiki kelesuan iklim untuk terus menjalankan roda perekonomian. Dan kemudian menjaga pertumbuhan yang semakin meningkat Keempat, terapkan industrial policy dengan memberikan rebate ekspor, kebijakan nilai tukar yang tepat dan perlindungan tarif dan non tarif barrier dari serangan produk impor dan memperkuat produk domestik.

0 komentar:

Posting Komentar