Rabu, 03 Desember 2008

Miskin Popularitas Politik


Gerakan politik di era informasi coba melakukan ekstensifikasi keranah neologisme persuasif di berbagai media komunikasi, membuat semiotika pesan yang mencitrakan diri mengubah politikus medioker kepada popularitas.

Menjalarnya iklan politik dengan berbagai bentuk di beberapa media sosialisasi publik telah menjadi riuh di tengah dinamika demokrasi. Ironisnya, pergerakan politik saat ini cenderung lebih menekankan pada aspek popularitas, bukan kualitasnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada nasib dan masa   depan bangsa. Polularitas publik saja tidak cukup menjadi modal dalam merubah kondisi bangsa saat ini, tanpa diikuti oleh strategi dan langkah konkret pengentasan masalah kebangsaan.

Ekstensifikasi gerakan politik keranah popularitas publik tidak terlepas dari pergeseran zaman ke abad informasi. Dalam hal ini, media sosialisasi publik memegang peranan penting untuk mempengaruhi kecenderungan masyarakat. sebagaimana diungkapkan oleh Melvin DeFleur (1975) media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Bila di era panglima perang Alexander the Great dan Napoleon diperlukan meriam dan bedil sebagai alat memperbesar pengaruh dan memenangkan dukungan politik. Maka saat ini iklan di media sosialisasi menjadi alat meraup popularitas masyarakat, begitu kira-kira hemat penulis.

Disisi lain indikasi euphoria iklan politik dapat diasumsikan bahwa gerakan politik saat ini ‘miskin popularitas’, bahkan ‘miskin kepercayaan’ dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena seringkali terjadi kesenjangan antara apa yang dijanjikan oleh bayak gerakan politik dengan kenyataan implementasi kebijakan saat pemerintahan berjalan. Kebijakan yang masih mendiskreditkan kepentingan rakyat, serta peneyelewengan wewenang kekuasaan masih sering terjadi. Dengan begitu, rakyat semakin tidak mudah percaya.

Belum lagi dana yang dikeluarkan untuk ongkos iklan politik sangat tinggi, bila asumsi seorang politisi memasang 500 papan iklan seluas 4 meter persegi di satu kabupaten selama 2 bulan, hitungan kasar saya mengatakan ia akan mengeluarkan biaya sekitar Rp.160 Juta. Untuk biaya iklan di televisi menghabiskan sekitar Rp. 15 Milyar setiap bulan, dan iklan satu halaman penuh di harian media massa terkemuka bisa menghabiskan lebih dari Rp. 75 Juta. Hal ini tentu saja konsekuensi bila politik bergeser arah ke popularitas.

Selain itu, kecenderungan Iklan politik yang dimuat di media massa, terutama televisi, saat ini belum menyampaikan program dan sasaran yang tegas. Masih tersentralisir pada memoriam keberhasilan masa lalu belaka dan mengagungkan penokohan segelintir partai, ironisnya beberapa parpol merasa memiliki beberapa tokoh tersebut, padahal tokoh tersebut berjasa untuk bangsa bukan untuk parpol. Dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan yang dapat direalisasikan dan sesuai dengan konteks kebangsaan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi sebagai calon pemimpin. Bukan yang lain.

Neologisme dan Medioker Politik

Kecenderungan diatas sebenarnya masuk dalam diskursus komunikasi politik, dimana iklan menjadi mediasi atau sarana menyalurkan ‘pencitraan’. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah menyalahi aturan, karena sama saja dengan menipu orang lain. Hal inilah yang sering disepelekan oleh aktor politik saat ini. Dalam bahasa komunikasi politik, hal ini sering diistilahkan dengan neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Hanya untuk menarik simpati masyarakat untuk mendukung.

Dalam kajian sosial, kecenderungan pada popularitas diistilahkan dengan Hobbe-Nietzchean, yaitu orang yang ingin dikenal baik pada ruang-ruang publik. Dengan mencitrakan jasa diri dan orang lain sebagai klaim rekayasa yang dimilki. Dalam kenyataannya seringkali kita melihat kepemilikan tokoh bangsa oleh golongan politik. Diskursus ini termasuk dalam disiplin realita uang, dan kekuasaan sebagai simbol atau tujuan politik yang negatif. Mengakomodir pemerintahan dengan keserakahan manusia.

Komunikasi politik yang dikemas dengan iklan, reklame, dan poster, serta slogan politik lainnya memang efektif mendongkrak popularitas. Hal inilah yang kemudian menjadi efek bola salju bagi kaum medioker politik lainnya untuk mencanangkan strategi mendingkrak popularitas diri. Medioker adalah orang yang tidak punya bekal berpolitik, biasa-biasa saja, dan rendah popularitas sama dengan ‘miskin politik’. Tapi kita harus sadar, bahwa politik tidak hanya berbekal popularitas, tapi norma dan komitmen perubahan.

Politik Ideal

Seharusnya, gerakan politik mengedepankan aksi bukan embel-embel popularitas. Untuk berbuat kebajikan pada rakyat tidak harus terlebih dahulu duduk di pemerintahan, kesempatan itu terbuka bagi siapapun termasuk partai politik. Ketika melakukan gerakan politik pun harus bertujuan membangun bangsa, bukan memenangkan persaingan antar partai. Bangsa kita tidak akan berubah bila arah dan tujuan gerakan politik masih berkutat pada ranah popularitas.

Selain itu, moral politik juga harus ditransformasikan dalam komitmen kebijakan. Membuat loyal society dengan aksi, bukan janji. Politikus yang demikikian sesuai dengan apa yang diasumsikan oleh Rawls dan Habermas dalam bukunya Keadilan Sosial mewujudkan politik moral. Bila semboyan demokrasi-politik adalah vox populi vox dei, maka belajarlah untuk interest pada kondisi dan nasib rakyat untuk akhirnya membangun bersama kepercayaan.

Sekedar berkomentar tentang paradigma politik yang membumi. Maka, bila politik adalah siasat, maka bersiasatlah untuk perubahan. Bila politik adalah alat gunakanlah untuk perbaikan. Bila politik itu kejam, buatlah ia menjadi baik dan alihkanlah pada kemaslahatan. Bila politik adalah kepentingan, maka berpihaklah pada kepentingan rakyat. Semua ada baiknya, tergantung sudut pandang kita melihat peluang untuk selalu berpaku pada norma dan moral berpolitik.

0 komentar:

Posting Komentar