Senin, 13 Juni 2011

Tragedi ’65: Pemuda dalam Perwujudan Civil Society


Sejarah bangsa Indonesia mempunyai lubang hitam yang sulit dihapuskan dari traumatik bebangsa dan bernegara, sampai kehidupan bermasyarakat. Pobia yang tidak berkesudahan ini masih ditelan mentah-mentah oleh sebagian besar rakyat. Kejadian yang kemudian kita kenal dengan G-30-S (selanjutnya dilengkapi menjadi “G-30-S PKI. Ketika mengenyam bangku sekolah, saya diajarkan tentang sejarah pemberontakan PKI yang kejam. Dari buku paket sekolah dan dokumentasi sejarah yang kemudian saya pelajari dari beberapa media masa yang terbit tahun ’65 menerangkan adanya pencongkelan mata para jendral dan penyilatan alat kelamin. Dari situ saya seolah diyakinkan bahwa PKI adalah musuh kita bersama, dan harus dimusnahkan.

Kemudian, sebagai studi lanjutan untuk memahami sejarah lebih dalam, lalu saya pun ditugaskan oleh pihak sekolah untuk menonton film tentang “G-30-S PKI”. Dalam film tersebut, terllihat jelas aksi penculikan 7 jenderal  yang kemudian 6 diantaranya tewas. Kejinya penyiksaan tersebut divisualisasikan dengan menghadirkan suasana tegang. Pesan semiotika kemudian menggambarkan bahwa Republik ini berada di titik nadir. Kekejaman yang didramatisir membuat kita percaya secara spontan, bahwa PKI itu sadis. Film itu kemudian berhasil membuat wacana palsu tentang peristiwa Gestapu (nama lain “G-30-S PKI”) selama lebih dari 20 tahun.

Pantas saja masyarakat kita takut mendengar kata “G-30-S PKI”, bahkan pernah ada penelusuran oleh Jurnal Perempuan yang diangkat oleh sejarawan Asvi Marwan Adam dalam sebuah diskusi yang menemukan fakta tentang pobia masyarakat akan peristiwa tersebut antara lain bentuknya: (1) adanya traumatik korelasional dengan audiovisual film itu, ketika beberapa perempuan yang diwawancarai pada saat mendapatkan menstruasi dengan situasional film PKI yang mengangkat dialog “darah itu merah jenderal”. mereka langsung mengingat adegan getir itu, traumatik. (2) ditemukan pula seorang ibu di menteng yang sengaja melakukan bedah sesar lebih cepat agar anaknya tidak lahir pada tanggal 30 September.  Sampai sebegitu takutnya masyarakat kita.
   
Kemudian, ketika saya kuliah dan mempelajari banyak literatur sejarah.. Fakta tentang “G-30-S PKI” dengan sudut pandang yang berbeda dari versi Orba banyak saya temukan. Setelah Orba runtuh muncul beragam wacana tentang “G-30-S PKI”. Diantaranya wacananya yaitu persaingan politik yang kemudian menjadi peristiwa saling mematikan. Adanya indikasi siasat politik TNI/AD (Soeharto di dalamnya) yang ikut campur tangan dalam pewacanaan peristiwa tersebut. Kemudian adanya campur tangan pihak luar karena sinisme terhadap pemerintahan Orla (Soekarno) atas sikap anti asing (Amerika dan Belanda) dengan politik “Berdikari”. Sampai kepada selundupan peran CIA yang menyelinap masuk sebagai dalang dibalik kejadian tersebut. Lebih lanjut, juga diungkap bahwa semua diskursus perihal pencongkelan dan penyilatan terhadap ke-7 jendral ternyata tidak benar.
   
Untuk lebih jelas memahami inti masalah, saya sarikan situasi tahun ’65 serta maksud didalamnya. Konstelasi politik dalam negeri kala itu terbagi menjadi tiga kekuatan: (1) Kekuatan Presiden RI (2) Kekuatan TNI/AD (3) Kekuatan PKI.  Kedekatan antara kubu Presiden RI dengan PKI mengundang keresahan pada kubu TNI/AD yang merasa terancam dalam arena perpolitikan. Kemudian membuat suatu strategi pelemahan kekuasaan Soekarno sekaligus PKI. Begitupun sebaliknya sebagai antitesis dari politik militer. Semua merasa harus melakukan tindakan pengamanan terhadap dirinya. Semisal Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya dan penobatan presiden seumur hidup.

Sedangkan peristiwa “G-30-S PKI” adalah propaganda yang berhasil dilakukan oleh pihak militer terhadap lawan politiknya PKI. Kemudian Soekarno dibuat lemah dengan wacana kesehatan yang terganggu,. Pengusaan informasi dipegang oleh pihak militer, dengan kekuatan wacana dapat mempengaruhi masyarakat. Karena usai kejadian “G-30-S PKI”, media massa no-militer dilarang terbit. Hanya ada dua media yaitu Angkatan Bersenjata dan Pelita Yudha.  Ada monopoli informasi dan penyebaran kebohongan sejarah secara sistematis. 



Bila disarikan, inti seputar sejarah tahun ’65 tidak luput dari politik dan kepentingan. Karena ujung-ujungnya bila dilihat dari peta orientasi, semua bermuara pada perebutan kekuasaan.  Propaganda dilakukan dengan tujuan saling mematika, Adagium politik ada benarnya, “tidak ada teman abadi, kecuali kepentingan“. Refleksi yang kemudian dapat kita ambil dari kejadian itu adalah dengan upaya pelusuran sejarah dan pemaknaan ulang. Karena hal itu menjadi turning point perubahan bangsa kedepan. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, jika terjadi perubahan sosial-politik yang dramatis masyarakat cenderung mempersoalkan kebenaran gambaran masa lalu. 
 

Jika dilihat dari sub tema tertentu, sejarah menurut Hegel dalam bukunya The Philosophy of History dibagi menjadi tiga tematik yaitu Original History, Reflective History, dan Philosophical history.  Dapat kita konsolidasikan dalam korelasi (1) masa lalu (Original), faktanya  dalam hal transisi Orla ke Orba (termasuk “G-30-S PKI), (2) sekarang,, era reformasi (refleksi dari masa lalu) (3) masa depan (filosofi makna yang diambil sebelumnya untuk kedepan), tansisi kepemimpinan kedepan. Tahun ’65 penuh akan polemik. Gugatan terhadap gambaran sejarah yang ketahuan palsu itu kemudian berdatangan.
 

Ada pengistilahan yang menarik dari orang Perancis dalam menggambarkan substansi diatas. Sebagai berikut,  histoire-realite yang artinya sejarah sebagaimana peristiwa itu terjadi. Kemudian historie-recite sebagai usaha untuk mengkonstruksi peristiwa dengan pewacanaan kisah.  Dalam pengistilahan yang kedua (historie-recite) inilah makna tentang sejarah faktanya dikaburkan, yang bermain adalah kepentingan politik atau pencitraan. Perebutan hegemoni historie-recite tadi dimanipulasi kemudian dipercaya oleh orba sebagai diktum sejarah bahwa “siapa yang menguasai kekinian, akan mengusai masa lalu, dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan”.

Jabaran diatas jelas mengindikasikan pengkaburan makna dalam diorama sejarah bangsa ini. Oleh karena itu, perlu adanya usaha untuk memperkecil timbulnya penyelewengan fakta dan makna sejarah kedepan. Peran pemuda adalah kuncinya Sebagai pilar ke-5 demokrasi, pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sarat akan nilai-nilai. Pendapat ideologis atau kulturil mengatakan “pemuda harapan bangsa”, atau “pemuda pemilik masa depan” dan sebagainya.  Memperlihatkan betapa lekatnya nilai yang tertanam pada pemuda. Bung karno pernah berkata pemuda menjelma dari sekedar suatu batas umur menjadi suatu mitos hidup.  Artinya peran pemuda telah terbuka luas untuk terus membuat kehidupan ini menjadi ideal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
 

Dalam konteks ini pemuda menjadi kunci perubahan sosial. Dari elemen traumatik sejarah, pelurusan makna, dan harapan masa depan. Pemuda harus melakukan hubungan korelasional antar generasi agar dapat menyambung orientasi bangsa ini kedepan. Bukan hanya dari pembaharuan peran dan fungsi, tetapi juga peninjauan menyeluruh dari nilai-nilai hirarkis yang dikenakan pada peran-peran tersebut. Semisal dengan melakukan kontekstualisi terhadap pemikiran founding fathers tentang gambaran Republik Indonesia serta cita-citanya yang belum tercapai. Mensejahterakan rakyat dan lepas dari jerat kemiskinan. Membuat bangsa ini bisa berkompetisi. Pemuda berarti harus memiliki sikap kreatif, berani, spontan, dan konsisten.

Caranya adalah melakukan mediasi antar suara rakyat dengan kebijakan pemerintah. Bisa lewat jalur ruang publik (dalam filsafat Habermas) yang mengukur seberapa besar demokratisasi itu berhasil. Pemuda juga menjadi penggalang terciptanya civil society yaitu merupakan satu cara untuk memahami relasi antara individu masyarakat dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab setelah memaknai tragedi sejarah ‘65. Dengan begitu kesadaran peran rakyat akan tumbuh, hak serta kewajiban dijalankan. Makna sejarah memang bisa saja diselintir oleh pihak penguasa masa lalu. Tapi kebenaran akan hadir dengan posisinya yang lurus bersama masyarakat. Berapa banyak yg karena paradigma buruk PKI, akhirnya simpatisan partai itu dibantai sampai menelan ribuan korban di Bali setelah tragedi ’65. Juga selama Orba kita hidup dalam penjara aspirasi.  





_________________________________________________________

Referensi:

Abdullah, Taufik. 1976. Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES

 
Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika

 
Brackman, Arnold C. 1969. The Communist Collapse in Indonesia. New York: W.W. Norton & Company. Inc

 
Hafidz, Wardah. 2000. Mencari Kembali Pemuda Indonesia: penuturan para Aktivis dari Berbagai Generasi. Jakarta: CYFIS Press

 
Hegel, George Wilhelm Friederick. 1956. The Philosophy of History. New York: Dover Publications, Inc 

 
Mohamad, Goenawan. 1997. Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafiti

 
Siregar, Hariman. 2001. Gerakan Mahasiswa: Pilar Ke-5 Demokrasi. Jakarta: Teplok Press

 
Soe Hok Gie. 1997. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang

 
Soebandrio. 2001. Kesaksianku Tentang G-30-S PKI. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total
continue reading Tragedi ’65: Pemuda dalam Perwujudan Civil Society

Agar Adik tetap Menulis


 “Aku pernah berpesan padanya, menulislah dimanapun dan kapanpun adik berada. Kemudian berpikirlah tentang apapun saat adik dalam keadaan sulit ataupun senang, jangan berhenti ! karena kita hidup, bukan sedang mati”

SABTU ITU MATAHARI MENYAPAKU AGAK PAGI, jam dinding menunjukkan angka 06:30 WIB.Tetapi terik sinar sudah menjamah bahu badanku, sampai retina mata kaget dibuatnya, silau. Sedikit beban pikiran agak mengganjal. Tidak seperti biasa.

Kali pertama rupanya saya ingat bahwa jadwal mengajar dimulai hari ini, Saya diamanahi untuk menjadi pengajar guru ektrakulikuler Jurnalistikdi SMAN 30. Dengan bismillah saya akan mencoba berbagi wawasan tentang bidang yang sudah kugeluti sejak ada di bangku SD. Meski tak serumit sekarang dengan segala konsekuensinya.

Saya kemudian berjalan dengan berjuta tanda tanya tentang gambaran siswa didik di eskul jurnalistik. Saat itu yang terbayang adalah apa yang mengisi benak saya tentang dunia itu di kampus. Jika digambarkan pers mahasiswa identik dengan ideologi kiri, berpenampilan minimalis, alias serba irit. Baju jarang ganti, ahkan celana yang sudah robek pun dikenakan.

Sesampai di sekolah. Saya hanya kenal Adi, ketua kelompok eskul jurnalistik. Dari dia kemudian saya berkenalan dengan seluruh anggota lain. Pada saat itu yang datang hanya 4 orang. Tya, Nisa, Sara, dan Adi. Mereka adik yang manis. Saya melihat ada ketulusan untuk belajar. Karena itu saya juga semangat. Dan kita sama-sama semangat.

Ketika awal, mungkin saya bicara terlalu berat, sampai mereka mengerutkan kening. Kemudian bertanya berulang kali tentang penjelasan materi saya. Disatu sisi saya bilang itu hanya soal adaptasi. Tapi disisi lain mereka jadi semakin bingung. Lalu saya harus bagaimana ?

Memang. Gaya pembawaan saya lebih kepada segmen mahasiswa ketimbang menyesuaikan dengan memberi materi dengan gaya siswa. Karena di kampus, saya sering memberikan materi pengantar diskusi ataupun penulisan. Bertuturpun jadi amat terkesan serius. Maklum baru belajar mengajar. Sebagai calon lulusan sarjana pendidikan saya dituntut untuk mengusai kelas dan berlatih berbicara.

Ini adalah ajang saya mengajar sekaligus juga belajar. Tak apalah mereka bicara tidak senang dengan pembawaan saya. Tetap menyikapinya dengan hati yang berharap kita semua bisa saling memahami. Sampai kapanpun kita, pernah bertemu dan saling berbagi tentang gagasan.

HARI BERGANTI MINGGU, KEMUDIAN MENJADI BULAN. Pertemuan kita sudah beberapa kali tidak berjalan. Entah apa yang terjadi. Tapi sebelum itu, Tya pernah berkata “eskul kita mau dibekukan kak” wajah cemas. Mungkin karena kejadian itu, kita jadi pupus. Saya pernah bilang tentang solusinya. “tolong dibicarakan dengan terbuka bersama Bu Rossa”. Setelah itu saya pun tidak tahu kabar jalannya tindak lanjut tersebut.

Kini eskul jurnalisme benar-benar tidak ada. Karena mereka kehilangan generasi penerus. Tidak ada yang berminat mendalaminya. Ditambah dukungan yang minim dari pihak sekolah. Lengkap sudah alasan untuk tutup buku. Tinggal kenangan yang bisa membuatnya ada kembali. Dalam angan, dalam ilusi.

Tapi setidaknya saya berharap, dari yang pernah mengikuti eskul jurnallisme bisa terus menulis tanpa henti. Menyalurkan pikiran mereka dengan menulis. Menjadi contoh bagi siswa lain. Membuat bangga guru di sekolah. Harapan itu tentunya berujung pada hidup kembali eskul jurnalisme sebagai pilar berjalannya kreativitas serta aspirasi siswa.

Saya pun sebenarnya dalam posisi serba salah, karena status mengajar belum jelas. Tidak pernah mendapat surat tugas. Apalagi berbincang tentang progress eskul jurnalisme dengan pihak sekolah. Oleh karenanya saya tidak ingin banyak bersuara soal masalah ini. Semoga menjadi keputusan yang tidak berat dihadapan dua pilah.

Sehingga bila suatu waktu eskul ini tidak berjalan lagi. Tidak ada pihak yang dititikberatkan sebagai objek. Harapannya begitu. Kemudian yang terpenting adalah semua bisa mencari titik terang yang objektif untuk mencari jalan keluar dari semuanya. Untuk kesinambungan.

TYA BEBERAPA KALI BERSUA DENGAN SAYALEWAT PESAN SINGKAT. Namun tidak untuk membicarakan eskul kami, jurnalistik. Komunikasi kami bersifat pribadi. Tentang pertemanan, persaudaraan, permasalahan, dan solusinya. Dari situlah kami menjadi akrab.

Dari situ kemudian saya mengajaknya untuk terus membaca dan menulis. Sedikit demi sedikit minatnya mulai tumbuh. Harapan saya semoga dua aktivitas itu bisa menjadi gaya hidupnya, dijalani dengan kesadaran penuh. Karena kebutuhannya akan ilmu dan informasi.

Meski kita jarang bertemu, tapi saya harap kita tidak putus komunikasi. Meski sekedar tegur sapa belaka. Esensinya adalah menyambung silaturahmi. Demi suatu persaudaraan. Lanjutannya adalah meneruskan etikad kita untuk tetap menulis selamanya.

Jika saya ingin bercurah hati, ingin rasanya berpesan:

Adik, tetaplah menulis. untuk dirimu.
Karena hanya dengan itu kita ada.
Kita diakui. Dan kemudian dikenal orang.

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Meski tintamu habis.
Biarkan tetes air matamu
menjadi penggantinya.

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Agar kita bisa bertemu di masa datang
Berbincang tentang gagasan
Yang kita buat lewat tulisan

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Niscaya dunia ini milikmu
Dan orang lain ada dipundakmu
Agar kamu merasa dibutuhkan
Dan selalu menulis untuk dunia


Semoga semua adalah takdir yang baik. Dibalik upaya kita merajut asa untuk hari depan. Bahwa tidak ada sesuatupun yang luput dari suratan upaya kita jika ada kemauan. Semoga tulisan ini berbuah kemauan untuk menulis kembali…
continue reading Agar Adik tetap Menulis

Sabtu, 04 Juni 2011

LKM dan Pola Belajar Kita


Beda kuliah dengan organisasi itu apa ? Jika diformat sama-sama membosankan, dengan melakukan pelatihan yang tidak dekat pada realitas permasalahan, juga tidak taktis.

Utamanya sebuah organisasi yang baik selalu melandasakan segala kegiatannya diatas aktivitas belajar yang tidak mengenal koma, apalagi titik. Tidak kenal libur. Tidak juga kenal siang dan malam. Lalu, apa yang dimaksud belajar dalam konteks berorganisasi ? sekedar mengetahui teori ? atau menguji kembali teori yang sudah absah ? juga menerapkannya ?
   
Terus terang, setelah saya merenung dalam-dalam, terpikir sebuah pertanyaan besar tentang efektivitas pembelajaran di LKM. Setidaknya ada dua indikasi. Pertama: Kita tahu, setiap minggunya secara rutin LKM melakukan pelatihan. Hal tersebut terkhusus dalam pengukuran tingkat kemajuannya yang menurut saya kurang signifikan.

Alasannya, sebagian konsep didalamnya tidak menunjang kearah proker inti yaitu KREATIS dan JURNAL. Apa yang salah, pelatihannya atau polanya ? Atau barangkali manusianya sendiri ? sehingga terkesan pelatihan tersebut berdiri sendiri dan tidak linear. Sepertinya kita banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tingkat relevansi terhadap prioritas utama itu minim. Sehingga proker yang besar terabaikan.

Hari-hari yang seharusnya bisa dipakai untuk rapat redaksi jurnal atau membahas verifikasi reportase serta kreatis terpaksa dipakai untuk pelatihan. Saya bukan tidak setuju, kita butuh fokus pada hal-hal yang penting. Ini adalah suatu dilema dalam pikiran saya mengamati semuanya. Kita bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal besar itu, sekali lagi. Lebih dalam.

Kenapa saya bilang begitu ? karena saya merasakan benar kegiatan selama ini seperti rutinitas semu. Maya. Dan tidak bisa diraba. Karena ujungnya tidak membuah karya. Jurnal kita belum juga terbit. Buletin kita apalagi. Kreatis kita telat. Reportase kita ancur. Bahkan molor dari target semula. Bisa-bisa kita tidak kredibel kalau begini terus-terusan.

Saya hanya ingin bilang jika pembelajaran yang sesungguhnya itu ada pada rapat redaksi jurnal, dan verifikasi kreatis juga reportase. Kita bahkan bisa sekaligus melakukan semua fundamen di kegiatan itu. Ada kajian di rapat redaksi dan verifikasi. Ada public speaking di liputan, ada penulisan di dalam laporan semua prosesnya. Landasan dari semua adalah riset. Jadi “setali tiga uang” kira-kira peribahasanya.
   
Di lain hal. Indikasi kedua setelah saya amati LKM dari waktu ke waktu, selama dua tahun kebelakang. Dalam hal tulis-menulis khususnya. Pada prosesi reportase bagi angkatan baru, dan kreatis di angkatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas, tulisan yang dikumpulkan kebanyakan masih belum layak dari segi kedalaman ilmu dan informasi. Terkesan asal selesai, jadwal deadline mepet !!
   
Kemudian saya hubungkan lagi, ada apa dengan semua ini ? dari beberapa pengamatan saya. Seolah-olah di LKM orang-orang itu belajar seperti di bangku kuliah. Datang sore hari, mendengar pemateri berbicara, dibuka sesi tanya jawab, diberi sedikit simulasi, lalu pulang.
   
Pembelajaran seperti itu, saya kira tidak akan signifikan. Karena kurang bersentuhan dengan tantangan. Tidak dibiasakan menghadapi suatu masalah. Tidak memberikan titik tekan pada si pembelajar untuk menemukan siapa dirinya dan apa potensinya. Karena mereka seperti disuapi. Dimanjakan. Alhasil, regenerasi yang dicetak dimasa berikutnya rentan dan tidak berkarakter.
   
Hal yang lebih parah dari pola pembelajaran seperti itu adalah tidak mencetak seseorang untuk punya inisiatif tinggi. Berorganisasi tanpa inisiatif tidak akan pernah mengalami suatu kemajuan. Lalu, apa itu inisiatif ? saya mengartikannya dengan siasat atau strategi melewati masalah dengan solusi yang tepat, cepat, cerdas. Ini hanya bisa dilakukan kalau di organisasi, orang-orangnya selalu dihadapkan dengan masalah. Lalu dibiasakan pula memecahkan masalah sebenarnya.
   
Jadi, sebenarnya saya ingin mengatakan. Rubahlah pola belajar di LKM. Sebisa mungkin, keluarlah dari ruangan yang sempit. Belajarlah dari masalah. Agar kita bisa tahu, siapa kita. Seberapa kuat daya tahan kita mengahadapi permasalahan itu. Belajar pada dasarnya adalah soal membiasakan diri. Karena manusia belajar by imitate.
   
Kemudian, hal yang paling penting dalam melandasai semuanya adalah kegiatan membaca. Semua kalau mau di tarik ujungnya ada pada aktivitas membaca. Maka sebisa mungkin jadikan membaca sebagai gaya hidup. Tidak keren kalau belum membaca ! tidak gaul kalau tidak membaca !
   
Dengan sendirinya kalau membaca sudah gandrung, menulis akan lancar. Sambil berjalan, kita belajar teknik menulis. Tapi jangan coba-coba belajar teknis menulis jika belum membaca. Jadinya omong kosong saja.    
continue reading LKM dan Pola Belajar Kita