Beda kuliah dengan organisasi itu apa ? Jika diformat sama-sama membosankan, dengan melakukan pelatihan yang tidak dekat pada realitas permasalahan, juga tidak taktis.
Utamanya sebuah organisasi yang baik selalu melandasakan segala kegiatannya diatas aktivitas belajar yang tidak mengenal koma, apalagi titik. Tidak kenal libur. Tidak juga kenal siang dan malam. Lalu, apa yang dimaksud belajar dalam konteks berorganisasi ? sekedar mengetahui teori ? atau menguji kembali teori yang sudah absah ? juga menerapkannya ?
Terus terang, setelah saya merenung dalam-dalam, terpikir sebuah pertanyaan besar tentang efektivitas pembelajaran di LKM. Setidaknya ada dua indikasi. Pertama: Kita tahu, setiap minggunya secara rutin LKM melakukan pelatihan. Hal tersebut terkhusus dalam pengukuran tingkat kemajuannya yang menurut saya kurang signifikan.
Alasannya, sebagian konsep didalamnya tidak menunjang kearah proker inti yaitu KREATIS dan JURNAL. Apa yang salah, pelatihannya atau polanya ? Atau barangkali manusianya sendiri ? sehingga terkesan pelatihan tersebut berdiri sendiri dan tidak linear. Sepertinya kita banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tingkat relevansi terhadap prioritas utama itu minim. Sehingga proker yang besar terabaikan.
Hari-hari yang seharusnya bisa dipakai untuk rapat redaksi jurnal atau membahas verifikasi reportase serta kreatis terpaksa dipakai untuk pelatihan. Saya bukan tidak setuju, kita butuh fokus pada hal-hal yang penting. Ini adalah suatu dilema dalam pikiran saya mengamati semuanya. Kita bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal besar itu, sekali lagi. Lebih dalam.
Kenapa saya bilang begitu ? karena saya merasakan benar kegiatan selama ini seperti rutinitas semu. Maya. Dan tidak bisa diraba. Karena ujungnya tidak membuah karya. Jurnal kita belum juga terbit. Buletin kita apalagi. Kreatis kita telat. Reportase kita ancur. Bahkan molor dari target semula. Bisa-bisa kita tidak kredibel kalau begini terus-terusan.
Saya hanya ingin bilang jika pembelajaran yang sesungguhnya itu ada pada rapat redaksi jurnal, dan verifikasi kreatis juga reportase. Kita bahkan bisa sekaligus melakukan semua fundamen di kegiatan itu. Ada kajian di rapat redaksi dan verifikasi. Ada public speaking di liputan, ada penulisan di dalam laporan semua prosesnya. Landasan dari semua adalah riset. Jadi “setali tiga uang” kira-kira peribahasanya.
Di lain hal. Indikasi kedua setelah saya amati LKM dari waktu ke waktu, selama dua tahun kebelakang. Dalam hal tulis-menulis khususnya. Pada prosesi reportase bagi angkatan baru, dan kreatis di angkatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas, tulisan yang dikumpulkan kebanyakan masih belum layak dari segi kedalaman ilmu dan informasi. Terkesan asal selesai, jadwal deadline mepet !!
Kemudian saya hubungkan lagi, ada apa dengan semua ini ? dari beberapa pengamatan saya. Seolah-olah di LKM orang-orang itu belajar seperti di bangku kuliah. Datang sore hari, mendengar pemateri berbicara, dibuka sesi tanya jawab, diberi sedikit simulasi, lalu pulang.
Pembelajaran seperti itu, saya kira tidak akan signifikan. Karena kurang bersentuhan dengan tantangan. Tidak dibiasakan menghadapi suatu masalah. Tidak memberikan titik tekan pada si pembelajar untuk menemukan siapa dirinya dan apa potensinya. Karena mereka seperti disuapi. Dimanjakan. Alhasil, regenerasi yang dicetak dimasa berikutnya rentan dan tidak berkarakter.
Hal yang lebih parah dari pola pembelajaran seperti itu adalah tidak mencetak seseorang untuk punya inisiatif tinggi. Berorganisasi tanpa inisiatif tidak akan pernah mengalami suatu kemajuan. Lalu, apa itu inisiatif ? saya mengartikannya dengan siasat atau strategi melewati masalah dengan solusi yang tepat, cepat, cerdas. Ini hanya bisa dilakukan kalau di organisasi, orang-orangnya selalu dihadapkan dengan masalah. Lalu dibiasakan pula memecahkan masalah sebenarnya.
Jadi, sebenarnya saya ingin mengatakan. Rubahlah pola belajar di LKM. Sebisa mungkin, keluarlah dari ruangan yang sempit. Belajarlah dari masalah. Agar kita bisa tahu, siapa kita. Seberapa kuat daya tahan kita mengahadapi permasalahan itu. Belajar pada dasarnya adalah soal membiasakan diri. Karena manusia belajar by imitate.
Kemudian, hal yang paling penting dalam melandasai semuanya adalah kegiatan membaca. Semua kalau mau di tarik ujungnya ada pada aktivitas membaca. Maka sebisa mungkin jadikan membaca sebagai gaya hidup. Tidak keren kalau belum membaca ! tidak gaul kalau tidak membaca !
Dengan sendirinya kalau membaca sudah gandrung, menulis akan lancar. Sambil berjalan, kita belajar teknik menulis. Tapi jangan coba-coba belajar teknis menulis jika belum membaca. Jadinya omong kosong saja.
0 komentar:
Posting Komentar