Senin, 22 Agustus 2011

“Laskar Pelangi” Kebangkitan Pendidikan di Daerah Pedalaman


Bila pemerataan akses pendidikan terwujud, pondasi pembangunan akan berjalan aktif bersama kesadaran masyarakat untuk selalu belajar dan mewujudkan pendidikan dari semua (education from all) sampai terbentuk kemandirian berkarakter

Indonesia adalah Negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri 13.000 pulau. Kebhinekaan yang terdiri 300 suku bangsa, dengan 200 bahasa yang berbeda. Begitu luas dan kaya negeri ini terhampar, bahkan dengan kesuburan tanah Indonesia analogi kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Belum lagi hutan dan kekayaan bahari yang melimpah, sampai-sampai kita lengah menjaga dan melindunginya. Di sisi lain Hal terpenting yang harus diingat adalah dalam setiap jengkal kekayaan, kedaulatan, kebhinekaan bangsa Indonesia ada hak yang harus dipenuhi, yaitu pendidikan untuk semua (education
for all). Dimana kemanusiaan dijunjung, hak asasi dihargai, dan keadilan di wujudkan. Pendidikan mengambil peran penting dalam membangun kehidupan berbangsa saat ini.

Salah satu hal yang menjadi ironi dunia pendidikan saat ini adalah masalah pemerataan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia yang belum signifikan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human Development Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator pemerataan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Angka putus sekolah masih tinggi, Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Terjadi penambahan tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk, dan tingkat kemiskinan yang terus bertambah kurang lebih 25% dari jumlah penduduk Indonesia.

Peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat tinggi. Pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak, namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa. Dapat dibayangkan, gairah belajar dan harapan 12 juta anak Indonesia terpaksa dipadamkan. Angka putus sekolah tersebut merupakan bukti apatis pemerintah terhadap dunia pendidikan. Berkaitan dengan hal itu sebenarnya dapat diatasi, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan 20% sebagaimana diamanatkan pada pasal 31 ayat 4 UUD (Amandemen Keempat) harus dikelola dengan baik sesuai kebutuhan.

Belum lagi nasib pendidikan didaerah pedalaman. Di Nabire dan Manokwari, Papua. Terdapat kejadian, Akibat runtuhnya gedung sekolah yang tidak layak, siswa menjadi trauma untuk duduk dan belajar kembali di sekolah. Lain halnya dengan di Palas, fasilitas pendidikan dan kulitas guru yang terbatas telah mengubur impian dan cita-cita mereka untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Di Singkawang, Kalimantan barat. Siswa dihadapkan dengan keterbatasan daerah yang masih semak belukar, dan juga persepsi yang mengklaim bahwa pendidikan tidak penting. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami dengan realita “Laskar Pelangi”, dengan keterbatasan pendidikan mereka berjuang mewujudkan mimpi mengenyam pendidikan.

Di sisi lain, menurut F.D. Rosevelt bahwa dalam “New Deal”, Sekolah merupakan hak yang menyeluruh. Artinya, setiap orang berhak atas pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Selain itu, pendidikan juga memegang peran yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan pendidikan sebuah bangsa bisa bermartabat, mandiri, dan kompetitif.

Pesan Edukasi “Laskar Pelangi”

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,”

Menurut analisa semiotik penulis terhadap kisah “Laskar Pelangi”, didapat suatu pesan bahwa pendidikan adalah hak mutlak warga masyarakat. Dengan latar pedalaman daerah terpencil, mimpi besar seorang siswa dapat terwujud. Hal inilah yang mungkin menjadi ihwal menyikapi keterbatasan menjadi hal yang menggugah semangat belajar. Penulis lebih sepaham bila kita mengistilahkannya sebagai wishfull thingking, artinya bahwa geliat pendidikan nusantara nantinya berangkat dari pelosok daerah pedalaman yang dengan keterbatasannya dapat memaksimalkan cita.

Kemunculan kisah “Laskar Pelangi” juga dapat dikatakan sebagai kritik bagi pemerintah. Terutama masalah perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan di daerah pelosok. Hal yang memancing perhatian publik adalah bahwa sebenarnya kisah “Laskar Pelangi” adalah potret sesungguhnya tentang sikap apatisme pemerintah dalam akses pemerataan dan kualitas pendidikan. Ada pesan edukasi dalam kisah tokoh tersebut, Seperti, Ikal selaku tokoh utama yang kental dengan cita dan mimpi, Lintang yang jenius, Mahar yang artistik, Ibu Muslimah (Cut Mini) yang begitu komitmen terhadap pendidikan, serta Pak Arfan yang begitu setia pada sekolah mereka. Penjaga moral yang tak pernah surut semangatnya mengurus sekolah yang hanya bermuridkan sepuluh orang, meski tanpa keuntungan sepeserpun. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya,” demikian lelaki renta itu menyemangati Laskar Pelangi.

Hal yang menarik dari kisah ini yaitu tidak meninggalkan tema sentral pendidikan, sebagaimana dinarasikan oleh Andrea. Kisah Laskar Pelangi, memberikan inspirasi bagi penonton dan pembaca betapa pentingnya pendidikan. Sosok Lintang yang jenius adalah potret buram pendidikan kita. Kisah ini memahamkan kita kalau di negeri ini pendidikan masih seperti menara gading yang harus di nomor duakan demi menafkahi keluarga. Minggatnya Lintang dari sekolah mereka membuktikan bahwa untuk sekolah di negeri ini tidak cukup hanya dengan semangat dan kecerdasan otak, unsur materi masih menjadi syarat utama. Di usianya yang masih belia ia dipaksa menanggung beban hidup yang belum seharusnya ia pikul. Bekerja menafkahi keluarga dan meninggalkan bangku sekolah.

Dalam Kisah ini pun dipesankan bahwa kecerdasan tidak diukur dengan nilai-nilai angka dan materi semata, tapi dengan hati, kata Pak Arfan. Bahwa memang arti kata hati terdapat pesan humanistik. Dimana pendidikan dilakukan untuk memanusiakan manusia. Membangun masyarakat cerdas untuk merencanakan kehidupan di masa depan. Kebhinekaan siswa dengan latar yang berbeda mengisi setiap kegiatan pendidikan dan kemudian menjadi kunci, bahwa pendidikan adalah perwujudan realita yang harus dijalani dengan kesabaran, keikhlasan, dan kesungguhan. Hadirnya sosok Mahar dalam film ini, setidaknya memberikan sudut pandang lain tentang paradigma kecerdasan. Bahwa bukan hanya Lintang yang cerdas, Mahar yang suka musik pun juga dapat dikatakan cerdas. Dimitri Mahayana menyebutnya sebagai Multi Intelegent.

Concern Building Of Education

Pendidikan seharusnya memaslahatkan manusia dengan pilar-pilar kompetensi kehidupan. Namun karena aksesnya tidak merata, masih banyak masyarakat warga yang belum termaslahatkan secara ekonomi dan sosial dalam kehidupan bernegara sebagai konsepsi politik dan bangsa sebagai konsepsi budaya. Concern Building Of Education dengan basis kedaulatan merupakan suatu strategi akses pemerataan pendidikan yang terkonsntrasi pada daerah terpencil, minim akses, dan sarana pendidikan. Karena pendidikan adalah hak untuk semua. Diharapkan muncul benih-benih generasi yang dapat mengemban masa depan seperti komunitas “Laskar Pelangi” yang penulis analogikan sebagai kebangkitan pendidikan daerah terpencil.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan yang mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni, pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.

Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal yaitu equality of access, equality of survival. equality of output, dan equality of outcome. Untuk sebuah perwujudan education for all perlu dilakukan strategi perancangan penguatan (reinforcement) sampai ketingkat daerah terpencil. Hal tersebut meliputi. Pertama, otonomi pendidikan. Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan maka akses pendidikan akan lebih merata. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, termasuk prioritas pendidikan'.

Dalam otonomi pendidikan yang optimal, akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) dengan pengembangan infrastruktur sosial yang berangkat dari unsur kekeluargaan di tengah masyarakat. Bentuknya bisa saja informal seperti Qaryah Thayyibah, di Salatiga, Semarang. Dikembalikan kepada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat, dengan potensi dan motivasi menuju masyarakat edukatif. Selain itu, hal lain yang penting adalah memaksimalkan pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, seperti peningkatan guru di daerah pedalaman dengan beasiswa dan bantuan buku gratis.

Kedua, Menerapkan sosiologi pendidikan daerah yang integral. Artinya, Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengan tata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan. Dengan penerapan sosiologi pendidikanyang integral, dihasilkan suatu iklim dimana pendidikan menjadi suatu perhatian sentral dalam lapisan masyarakat.

Sehingga, kebutuhan masyarakat akan pendidikan dapat tersalurkan. Tidak hanya itu, paradigma yang biasanya muncul dari education for all akan menajdi education from all. Karena masyarakat akan mencoba untuk memandirkan dirinya dengan penghidupan yang berbasis dari pendidikan. D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya, akan lebih maksimal dan berkarakter bila pendidikan kembali pada kekuatan budaya.

Ketiga, merancang arsitek pendidikan pembaharuan dengan dostoevsy. Makna dari Dostoevsky adalah memanusiakan manusia dengan dengan cinta kasih, pendidkan seharusnya menggunaka hati. Aliran ini berasal dari rusia, awalnya menentang hakikat kehidupan manusia yang dijadikan sebagai benda. Ada kesamaan bahwa pendidikan bertujuan memanusiakan manusia pada akhirnya. Lebih dari itu, penulis mengkorelasikan hal tersebut seperti konsep Pulo Freire dengan Pendidikan Kritis yang memerdekakan. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.

Dalam epilog tulisan ini, penulis mengharap dari ketiga solusi tadi (baca: otonomi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan dostoevsy) dapat berjalan seimbang, selaras, dan saling melengkapi. Menjadikan Indonesia lebih bergairah dengan pendidikan, dan mewujudkan pendidikan dari semua (education from all) untuk negeri dan kemandirian bermartabat bangsa.

1 komentar:

  1. Bagi rekan PNS guru Bahasa Inggris yang berminat dan berkenan menggantikan posisi kami mengajar di salah satu SMA Negeri di wilayah Belitung Selatan mohon menghubungi email kami di nisfiku@hotmail.com. Terima kasih.

    BalasHapus