Senin, 22 Agustus 2011

Idul Adha: Kenyang Sehari Lapar Kemudian


Hari ini seperti Idul Adha sebelumnya hampir sama persis. Dimulai dengan Pemuka khutbah yang menyinggung lakom Ibrahim dan Ismail berserta kedua wanita Hajar dan Sarah, sebagai keluarga dengan totalitas kepatuhan. Sebuah kisah nostalgia tentang pengurbanan keduawian terhadap Tuhan. Atas nama ketaatan dan keyakinan. Membelakangi logika dan emosi sebagai manusia yang punya hawa nafsu dan nalusi kealfaan. Begitulah cerita yang diulang. Saat khutbah dan memoar kita tentang Idul Adha setiap kali datang.
 
Kemudian, orang-orang bersiap memotong hewan qurban setelah shalat ied. Ada nilai kebersamaan, saling membantu dan gotong royong. Pada setiap proses penyembelihan sampai penataan hewan kurban. Kemudian  berduyun orang antri mengambil jatah, namun masih ada sikap tidak harmonis untuk sekedar memaknai hak dan ketepatan. Ada yang berhak namun tidak berkesempatan. Namun yang tidak berhak malah mendapat kelebihan. Disinilai nilai entitas ilahiah bertaruh vis a vis dengan konteks lingkungan.
 
Dalam benak saya yang sudah hamper 23 tahun memalui idul Adha. Ada satu hal yang pasti, dan satu lagi kenaifan. Yang pasti adalah makna kurban yang terlupakan. Sedangkan yang naïf adalah kita hanya dapat kenyangnya saja ketika Idul qurban itu datang. Tanpa melihat lebih jauh ke dalam konteks yang lebih panjang bahwa sebenarnya kita sedang diingatkan untuk berdampingan menjalani hidup antara kesibukan dengan keharusan berbagi dengan sesama.
 
Kurban bukan seremonial. Jadi berkurban bukan hanya setahun sekali hanya pada Idul Adha. Orang miskin itu lapar. Bila kita jadikan makan hewan kurban hanya peringatan setahun sekali. Maka tujuan dari islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tidak tercapai. Karena si miskin akan kembali lapar di sisa hari lain. Maka dari itu, makna kurban harus dikontekskan pada konsistensi keseharian, bersifat universal yang berinduk pada kebutuhan, serta membuat si miskin dapat makan pada hari-hari lainnya.
 
Kemudian dari pada itu, tolak ukur paling jitu adalah sejauh mana kita bisa konsisten berlaku empati untuk memberikan apa yang privat untuk menjadi hak orang lain dalam konteks kurban. Karena privatisasi internal dapat menimbulkan kealfaan. Tidak mampunya diri kita untuk terlepas dari ketergantungan antara diri dengan materi. Itulah ketidakberdayaan manusia. Sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Namun mengakui apa yang menjalani milik Sang pencipta menjadi dirinya.
 
Tujuan dari peringatan idul kurban adalah membuat si empunya untuk berbagi dengan si miskin. Dalam kehidupan sehari-hari bertetangga, hidup di kantor, belajar di sekolah. Sampai berkendara di jalan. Harus selalu diingat. Membantu itu berkurban. Menyisihkan harta kita untuk kebuutuhan orang lain. Tujuannya hanya karena Allah untuk keridhoan.

0 komentar:

Posting Komentar