Sabtu, 28 Mei 2011

Menulis Feature: Dari Dekat Sekali


Menulis feature itu semudah kita berkata “Aaahhhhhh…..”

Setidaknya saya punya alasan sendiri jika feature jadi primadona dalam beberapa hal di organisasi ini. Ada dua alasan. Alasan pertama cukup rasional, karena feature mampu memikat pembaca untuk hanyut sampai ke bagian paling dalam, paling penting dari tulisan kita. Alasan kedua hanya main-main saja, karena feature cukup membuat saya enjoy menulis. Selepas mungkin. Tapi mengapa banyak yang sulit menulis feature ?
   
Menulis feature membutuhkan imajinasi yang sangat kuat dan detail. Karena itulah sebelum menulis feature, seorang reporter harus teliti terhadap objek liputan. Ketelitian harus dibarengi dengan kejelian. Karena kalau saja orang teliti, namun tidak jeli, yang terjadi liputan tidak akan efektif memilah fakta. Mana yang penting, dan yang buang-buang tenaga. Jeli itu perlu insting. Itu dibangun dari sikap kritis.
   
Dari proses liputan pada KREATIS, saya kira kendala kita ada pada kejelian dan ketelitian yang dianggap remeh. Disepelekan. Sehingga proses menulis jadi terganggu kekurangan banyak data yang tertinggal. Harus terjun kembali. Itu juga terhambat banyak kendala. Dari yang sifatnya pribadi, sulit mengatur waktu. Sampai kepada kendala birokrasi. Molor izin wawancara. Tidak bisa menemui nara sumber yang tepat.
   
Tapi kalau boleh jujur, realitasnya memang seperti itu. Di dunia nyata, semua hal mesti menemui kesulitan. Karena kita tidak bebas keinginan. Ada benturan disana-sini. Itulah masalah hakikinya. Semua ada resikonya. Hal yang bisa membuat kita bertahan adalah kuatnya kemauan. Kuatnya motivasi. Dan kuatnya tekad. Ini semua bisa diasah, kalau kita memikirkan hal positif atau keuntungan melakukan liputan.

Menulis Feature dari Dekat
   
Saya akan memulainya dari sisi bagian. Feature meiliki 4 (empat) bagian: Judul, Lead, Tubuh dan Ekor (ending). Semua harus diolah sedemikian rupa. Semenarik mungkin. Usahakan semua bagian berjalan terpadu. Saling melengkapi, dan yang paling penting adalah jangan bertele-tele pada cerita yang tidak penting. Sehingga hal itu mengaburkan inti feature yang anda tulis.
   
Feature berdurasi panjang, biasanya mencatat bermacam-macam fakta tentang pokok persoalan yang diamati. Setiap potong informasi sama halnya dengan sebenang “tali” dalam bagian besar yang dirajut untuk membuat “bahan” yang kuat, bagus, dan cantik.  Bahan itu adalah sebuah cerita dalam feature. Diantara sejumlah “tali” itu perlu ada transisi, yaitu “rekatan” yang membuat “tali” menjadi keseluruhan cerita yang menyatu. Tidak terpotong-potong. Atau menjadi bagian lain yang sama-sekali tidak ada hubungannya apa yang dibahas.
   
Goenawan Mohammad dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo mencirikan transisi bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat, atau mungkin paragrap. Ia punya dua tugas:

  1. Memberitahu pembaca bahwa anda pindah ke materi lain
  2. Meletakkan materi yang lain itu pada perspektif yang selayaknya

Penulis harus bisa memadu fakta-fakta menjadi pemaparan pendek-pendek yang satu sama lainnya direkatkan menjadi satu cerita.
 

Contohnya:

Para bikers telah memenuhi Lapangan Banteng sejak pukul 05.30 pagi, mereka berjumlah 300 orang yang tergabung dalam berbagai komunitas sepeda yang berdomisili di Jabodetabek. Mereka sengaja datang untuk meramaikan HUT Poligon yang ke-6. 
Selama berjalannya acara (ini transisi), HUT polygon yang ke-6 dimeriahkan oleh berbagai kegiatan, mulai dari art fermonce, sepeda hias, sampai stand komunitas yang dibuat oleh masing-masing kolompok pecinta sepeda.

Dari Judul sampai Ekor (ending)

Sampai disini, anda sudah mempunyai unsur-unsur lengkap untuk menulis feature, judul dan lead adalah kepala, struktur adalah kerangkanya, sementara ekor (ending) adalah penutup. Dan transisi adalah tali sendi yang mengikat unsur-unsur menjadi satu.
   
Penulis harus memakai teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada garisnya yang padu. Meskipun banyak teknik yang membicarakan itu, tapi setidaknya Goenawan mohammad kembali menjelaskan dalam bukunya Seandainya Saya Wartawan Tempo.
  1. Spiral. Setiap alinea menguraikan lebih rinci persoalan yang disebut alinea sebelumnya
  2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan: bila alinea terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian kecil.
  3. Mengikuti Tema. Setiap alinea menggarisbawahi atau menegaskan judul dan lead-nya

Usahakan untuk selalu membuat kalimat yang pendek dan tulisannya singkat serta sederhana. Untuk itu anda memulai menulis dengan berppikir sederhana, sehingga apa yang anda tulis, meskipun sulit tidak menjadi rumit bagi pembaca. 

Judul dan lead, harus menarik. Dalam istilah lain buatlaj dulu yang jenaka. Khusus untuk feature biasanya judul bersifat isitlah dalam konotasi tanda kutip. Atau punya istilah sendiri. seperti contohnya: Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan karangan Alfian Hamzah yang menceritakan perang gerilya di Aceh. Isitlah disekolahkan berarti dibunuh, agar orang GAM mengerti untuk tidak boleh melawan.

Contoh lain pada judul bersifat hal yang sepele namun mengundang tanya banyak orang. Seperti yang pernah dibuat oleh Budi Setyarso dengan judul Roger Roger Intel Sudang Terkepung. Judul tersebut berhasil meraih pengahrgaan karya jurnalisme terbaik.

Sedangkan lead, berfungsi untuk menarik pembaca dan membuka jalan bagi cerita dalam feature. Ada 9 teknik kategori lead. Lead ringkasa. Lead bercerita. Lead deskriptif.  Lead kutipan. Lead bertanya. Lead menuding. Lead menggoda. Lead nyetrik. Lead kombinasi. Dalam sekian banyak itu anda harus benar-benar jeli memilih lead sesuai dengan daya dukung tema feature anda.

Tapi ada hal lain yang perlu anda tahu, ada jenis feature yang tidak menggunakan lead. Itu untuk karakter feature yang sangat panjang. Digunakan untuk indepth reporting dan investigative. Tidak mengurangi nilai suatu feature. Karena pembaca tidak ditujukan untuk langsung mengerti. Tapi mendalami isi tulisan. Sampai habis.

Tubuh dan Ekor. Tubuh dalam berita sering diharuskan menggunakan piramid terbalik. Tapi tidak untuk feature. Karena semua bagian penting untuk dinikmmati sebagai sebuah cerita. Jadi cobalah untuk bertahan dalam narasi yang baik. Agar mudah melakukan dikotomi cerita menjadi alur yang rapih. Buatlah pembabakan. 

Pembabakan pada dasarnya adalah memudahkan kita berimajinasi dalam satu ruang yang fokus. Seperti anda mengikuti sebuah cerita dalam sinetron yang dibagi dalam beberapa episode. Pembabakan biasanya dibuat untuk tujuan agar anda mudah membuat alur cerita. Selain itu pembabakan menyelamatkan anda dari beban menulis feature dengan 20 ribu karakter. Itu akan lebih meringankan.

Ekor atau ending. Tidak muncul tiba-tiba. Sebab mulanya ia ada karena cerita sebelumnya. Kenapa perlu ending ? karena sebuah cerita butuh penyelesaian, atau klimaks. Ada emosi yang harus disentuh pada akhirnya. Sehingga feature terkesan lebih menarik. Beberapa jenis penutup:
 
Penutup ringkasan. Penutu ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepas-lepas dan menunjuk kembali ke lead.

Penyengat. Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah tergolak. Penulis hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga.
 
Klimaks. Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara krologis. Dalam hal ini ending adalah puncak dari cerita. Kalimat yang sering menjadi andalah disini adalah “Pada akhirnya….”

Kisah Pak Sukirman
 
Setelah anda memiliki alat-alat dasar untuk membuat feature, mari kita belajar menulis feature dari kejadian ini: Dalam perjalanan sepulang dari kuliah. Anda seringkali melewati sebuah taman di pinggir kota. Sebut saja Taman Kejora. Sesaat turun dari angkot. Kebetulan anda pulang larut malam. Sekitar pukul 21.00 setiap hari karena harus mampir di organisasi. Mengerjakan beberapa tugas atau mengikuti kegiatan.
   
Sambil berjalan menuyuri taman itu, anda membeli gorengan yang di jual penjaja kaki lima. Demi meredam suara perut yang keroncongan. Diselang obrolah ringan, anda menghabiskan gorengan yang dibeli barusan. Sejenak anda menoleh ke tengah taman dan melihat seorang lelaki tua menyapu dan membersihkan sampah yang terserak.
   
Rasa penasaran itu kemudian membuat anda bertanya kepada penjaja kaki lima tentang lelaki lelaki tua yang menyapu taman. 
Pak, apa kenal dengan lelaki tua itu ?
Itu sih pak Sukirman de, penjaga Taman Kejora
Ohh, begitu ya pak…
   
Kemudian tiba-tiba anda teringat dengan tugas yang anda kerjakan terkait kegiatan diorganisasi. Membuat liputan tentang Taman Kota. Sontak anda berpikir, ini adalah suatu kesempatan emas.
   
Tanpa pikir panjang, anda langsung mendatangi pak Sukirman, penjaga Taman Kejora. Kemudian mulai menyapanya pada pukul 09.30. anda memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa yang ditugaskan untuk meliput Taman Kota dalam rangka penelitian.
   
Singkat cerita, anda meminta informasi tentang banyak hal seputar Taman Kejora dari tema liputan yang sudah ditentukan.
Taman ini kotor, dan petugas balai kota tidak pernah membersihkannya. Maka saya berpikir harus ada orang yang membersihkannya. Dan saya mulai dari pribadi saya

Nah, anda telah bertemu orang yang tepat untuk memandu liputan anda. Karena anda pikir Pak Sukirman adalah orang inti yang bisa menjelaskan segala hal, dan dia adalah pelakunya sendiri. Kemudian anda mulai berbicara tentang kesediaanya menjadi tokoh dalam cerita feature anda.
   
Lalu Pak Sukirman menolak “Saya tidak ingin dimuat di majalah, karena saya takut orang lain jadi mengira saya pamrih, dan privasi kepribadian saya tidak terjaga. Saya malu” begitu argumennya.
“Saya maklum,” kata Anda. “Tapi saya harap bapak bisa berpikir kembali, karena masyarakat perlu mengembangkan semangat seperti itu, dan bapak menjadi teladan. Mungkin akan banyak nanti yang mulai bangga pada lingkungan mereka, dan mulai melakukan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat, turut membersihkan lingkuangan taman ini juga”

Kemudian pak Sukirman mempertimbangkan alasan anda, bimbang sebentar, galau terlihat, tapi akhirnya setuju.

Kalau engkau pikir ada manfaatnya, baiklah… ujar pak sukirman
Tentu !! anda jawab.

Lalu anda mulai bekerja dengan bertanya nama, umur, dan tempat tinggal. Bertanya tentang keluarga. Dan kisah kenapa pak sukirman bisa menjadi penunggu taman kejora. Apa alasannya belliau mau melakukan tugas membersihkan sampah. Serta bertanya tentang seluk beluk taman ini, apa saja aktivitas yang biasa dilakukan di taman ini, serta hal-hal penting yang pernah terjadi di taman ini.
   
Keterangan-keterangan beliau kemudian dirangkai kedalam bentuk outline agar menjadi alur cerita yang baik. Menentukan fokus dan hipotesis. Setelah itu anda berpikir untuk mulai melihat sisi-sisi yang kurang, baik data maupun fakta, itu yang kemudian jadi bekal penelusuran selanjutnya.
   
Anda memulai penelusuran dari tingkat bawah samapi level paling atas. Tingkat bawah dimulai dari orang-orang yang ada di taman. Penunggu, pengunjung, pedagang, dan petugas. Yang anda tanyakan pastilah seputar taman. Agar tidak kemana-mana. Arahkan pada dua hal, masalah dan keunikan. Itu saja.
   
Tingkat menengah anda harus meminta penilaian seorang pakar yang terkait dengan informasi yang anda dapat dari orang-orang disekitar taman itu. Sifat pertanyaan lebih general. Ideal atau tidak ideal. Dan tingkat level paling atas adalah birokrasi pemerintahan. Dimana anda harus mengkonvirmasi semua data dan fakta yang didapat dari lapangan. Ini terkait informasi yang tidak ideal. Bagaimana tanggapan pemerintah serta solusinya.
   
Kesemuanya itu anda kemas lagi dalam tulisan. Tapi sebelum menulis anda terlebih dahulu pada outline yang pernah dibuat pada awal perumusan. Catat informasi yang kurang disana. Luruskan menjadi alur cerita. Tarik pokok ceritanya. Buat menjadi pembabakan. Ada empat sejata yang terus harus dipegang, yaitu: FOKUS, NARASI, ANEKDOT, dan KUTIPAN. Saya jelaskan beberapa. Ankedot maksudnya anda harus bisa membuat lelucon. Dan kutipan maksudnya adalah kata-kata atau statemen dari nara sumber. Ini harus diolah seimbang dengan narasi. Dan fokus menjadi benang merahnya.
   
Selamat menulis…..!!!
   
continue reading Menulis Feature: Dari Dekat Sekali

Rabu, 25 Mei 2011

Pendidikan: dari Globalisi ke Jalan Restorasi








Judul Buku : Restorasi Pendidikan Indonesia
Penulis : Tim KREATIS Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Edisi : Pertama, 2011
Tebal : 193 Halaman


 



Pendidikan Indonesia kekinian dihadapakan dengan suatu dilema globalisasi. Mengapa demikian ? karena tak ayal, bahwa globalisasi yang dianggap N.V Naipaul sebagai suatu peradaban baru universalitas. Globalisasi tidak terlepas dari fase kehidupan peralihan manusia, suatu Negara tidak bisa menutup diri dari kenyataan untuk secara tidak sadar masuk ke dalam gerbang globalisasi. Akan tetapi, dilema yang dimaksud terjadi ketika ketidakmampuan kita untuk survive di era globalisasi yang pada akhirnya menjadi ancaman balik yang menjangkiti lokalitas kultural sebagai karakter bangsa yang mempunyai daulat. 

Bentuk dari ketidakmampuan tersebut juga nampak dalam wajah pendidikan. Belakangan ternyata itu menjadi diskursus masalah karena globalisasi telah ikut-ikutan mengatur pola infrastruktur sistem pendidikan menjadi pasar. Dalam prakteknya pendidikan disamakan dengan perusahaan yang semata-mata menghasilkan profit. Logika berpikir yang dipakai adalah bahwa pendidikan merupakan peluang bisnis yang tidak akan pernah sirna. Apalagi kelesuan ketika resesi ekonomi datang, setiap orang akan tetap menyekolahkan anaknya sebagai investasi masa depan.
   
Alih-alih demikian pendidikan pada akhirnya akan dipadati motif ekonomi. Rusaknya semua diukur dengan uang. Lebih riskan karena pendidikan saat ini berubah menjadi komoditas, hal itu merupakan metamorphosis yang dinamakan komodifikasi. Dimana suatu nilai humanisasi-moral telah tergantikan dengan instruen kapitalistik. Tujuan dasar pendidikan sebagai fungsi memanusiakan manusia telah berubah menjadi “mengambil keuntungan dari manusia”. Ini sungguh telah keluar dari prinsip dasar pendidikan.

Dasar dari prosesi pemaknaan tentang arti pendidikan Indonesia seutuhnya terletak pada ajaran Ki Hajar adalah konsep Panca Darma Perguruan Tamansiswa yang disusun pada tahun 1947. Konsep ini juga dikenal dengan nama “Asas-Asas 1922”. Melalui ini Ki Hajar seolah-olah beliau ingin mengungkapkan bahwa usaha-usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki landasan yang kuat. Asas-asas Panca Darma ini merupakan intisari dari karakter pendidikan Indonesia yang disarikan dari pola hidup. (Hal 78)

Asas tersebut antara lain: kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kelima asas tersebutlah yang dijadikan ki Hajar dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Bukan tanpa alasan, bahwa perumusan asas tersebut bermuara pada filosofi pendidikan yang dimaknai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era global. Sebenarnya jika ingin menginduk, realisasi asas dari Ki Hajar tersebut bisa dijadikan dasar bekal untuk merancang strategi dalam menghadapi globalisasi. Konteks memanusiakan manusia dalam asas Panca Dharma sudah cukup relevan untuk generasi Indonesia.

Pendidikan Riwayatmu Kini

Pendidikan dari dulu sudah ada sebelum era kemerdekaan. Semenjak bangsa ini belum terbentuk dan masih terbelah-belah dalam monarki kerajaan. Kerajaan islam dulu menggunakan pendidikan pesantren, sedangankan kerajaan hindu-budha menggunakan pendidikan karsyan. (Hal 68). Secara sistem dan prakteknya hampir sama, hanya saja konten yang diajarkan berbeda, kemiripannya ada pada diuskursus religiusitas yang ada pada keduanya. Karena pada waktu itu yang paling nampak adalah semangat untuk penyebaran paham agama dan pendalaman bagi pemeluknya.

Pada masa berikutnya menjelang terbentuknya bangsa melalui sumpah pemuda. Tan Malaka pada tahuan 1921 menanamkan konsep pendidikan yang peduli pada kaum kromo dengan mendirikan S.I School bagi anggota Syarikat Islam. Kemudian beliau merumuskan tiga tujuan utama pendidikan: pendidikan keterampilan/ilmu pengetahuan, pendidikan bergaul/berorganisasi, dan pendidikan yang selalu berorientasi pada rakyat kecil. Tujuan tersebut diambil karena Tan Malaka sadar benar bahwa mereka rakyat adalah yang harus mengenyam pendidikan. Karena yang membutuhkan akan kehidupan layak adalah rakyat pada akhirnya. (Hal 69)

Pasca-kemerdekaan, pendidikan dibentuk menjadi empat tingkatan, yakni Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi (PT). Semua berpedoman pada kurikulum yang setiap waktu terus berganti, hal itu dikarenakan kaburnya orientasi pendidikan nasional. Belum juga tuntas satu kurikullum dijalankan, sudah berganti. (Hal 72) Ketidaktuntasan implementasi kurikulum membawa kebingungan para pelaku pendidikan. Faktor yang paling tegas mewakili hal tersebut adalah urusan politik. Ganti menteri ganti juga kebijakannya. Pendidikan seperti ada dibawah baying-bayang ketiak penguasa.
   
Hikayat pendidikan Indonesia memang mengalami perubahan fundamental dalam aspek filosofis. Saya melihat hal tersebut dengan skeptis, semakin kesini pendidikan kita semakin jauh dari nilai identitas budaya bangsa. Atau setidaknya tidak berorientasi pada pembekalan pembangunan sosio-ekonomi. Bahkan, generasi Indonesia sendiri tidak ditanamkan untuk mengenal potensi daerahnya secara teoritis, spesifik, dan teknis. Bobot untuk bagaimana siswa dapat membangun Indonesia tidak ditekankan dalam-dalam. Sehingga lulusan sekolah bingung melakukan upaya pembangunan mikro pada potensi daerahnya an sich. Kebingungan tersebut tercermin pada lulusan yang kian banyak menjadi penganggur. Bahkan di desa anak muda tidak berkeinginan menggarap tanah, lebih suka pergi kota dan kerja pabrikan.

Bila kita melakukan peninjauan ulang hal tersebut akan terlihat dari bahan ajar, materi, dan kurikulum. Minim sekali muatan teknis sebagai prasarana pengetahuan anak untuk kenal secara spesifik muatan bangsanya sendiri. Ilmu yang diajarkan terlalu general, walaupun saya sendiri paham tentang arti jenjang dan tingkatan juga spesifikasi jenis sekolah, misal jika SMA diajar teoritis sedangkan SMK diajar teknis. Semua tetap pada kiblat dan karakter pendidikannya masing-masing. Hanya yang menjadi penekanan adalah bagaimana siswa bisa mengenal bangsa dan negaranya untuk menjadi bekal pengetahuan kedepan.

Pada taraf SMA anak bisa saja diajarkan teori tentang keindonesiaan. Bagaimana mereka mengenal teori budaya indonesianya, teori pembangunan pedesaan dari ekonomi, sosial, sampai politik. Sedangkan SMK bisa diajar teknis pengelolaan lahan pertanian Indonesia. Sehingga ketika lulus mereka sudah memiliki bekal ke arah penyikapan rekayasa pembangunan sebagai strategi keunggulan bersaing. Di perguruan tinggi, proses situ dilanjutkan menjadi konsep-konsep yang siap diimplementasikan dalam bentuk community development.

Restorasi Seperti Apa ?
   
Makna dekat dengan kata, sebab dari kata makna punya maksud. Lebih dalam, maksud adalah motif. Setiap motif selalu punya alasan tertentu. Restorasi pendidikan memiliki arti yang berbeda dari pemakaian biasanya. Jika dikaitkan dengan persamaan bahasa, restorasi berarti melakukan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Dalam kategori ini, maksud dari restorasi pendidikan bisa diarhkan untuk meluruskan praktek pendidikan yang sudah caut-marut ini pada pondasi yang benar dan sesuai dengan karakter filosofis pendidikan dahulu sebelum kemerdekaan. Kental budaya dan orientasi kemandirian bangsa.
   
Sedang dari aspek empiris, restorasi diartikan untuk dapat melakukan perubahan untuk meningkatkan kualitas daya saing suatu bangsa. Hal tersebut tercermin dari Restorasi Meiji, dimana anak-anak muda Jepang dengan globalisasi belajar modernisasi Barat untuk membangun bangsanya yang telah kental akan tradisi. Globalisasi tidak mungkin kita hindari, tapi yang harus kita lakukan adalah melakukan upaya untuk memperkuat diri membentuk karakter local wisdom dengan menggalang kesatuan. Sebagaimana diungkap oleh Milton Santos “apa yang global terbelah-belah; apa yang lokal-lah yang memungkinkan persatuan.”.
   
Hanya dengan cara itu kita tidak termakan arus globalisasi, intinya setiap bangsa di era globalisasi harus memiliki posisi yang jelas, kuat dan sinergis. Hal itu dibangun dengan berbagai elemen yang bermuara pendidikan. Oleh karenanya, untuk memperbaiki bangsa yang sedang sakit turning point-nya harus dimulai dari pendidikan. Maka lahirlah gagasan “Restorasi pendidikan Indonesia”. Yang dikemas dengan sekelumit dikotomi tegas dari masalah-ke-gagasan. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan.
   
Pertama, membentuk karakter khas pendidikan Indonesia. Gagasan ini bertolak pada logika potential power. Maksudnya, pendidikan diarahkan untuk memanfaatkan potensi yang dimilliki oleh bangsa. Potensi itu adalah dimensi multikultural dan kekayaan sumberdaya alam. Sedangkan sumber daya manusia kita belum cukup mempunyai kemampuan untuk mengelola semuanya. Ketergantungan teknologi yang membuat kita selalu membuka pihak asing untuk mengelola itu yang akhirnya menimbulkan masalah. Eksploitasi besar-besaran telah menyedot kekayaan alam kita, hingga kerusakan lingkungan timbul menjadi bencana.

Oleh karenanya, pendidikan harus mengisi ruang dimana generasi Indonesia mampu untuk memanfaatkan potensi besar ini, secara merata dan menyeluruh. Karena bangsa kita merupakan kesatuan maritim yang tingkat pemerataan akan sulit sekali terwujud jika infrastruktur tidak dibangun. Atas dasar itu, pembangunan pendidikan juga harus dimulai dari bottom up, dari education for all menjadi seimbang dengan education from all. Jadi penerapan pendidikan bisa berangkat dari masyarakat sipil yang mempunyai perhatian dari pendidikan, atau citizen education. Hal itu akan lebih baik sambil dibarengi dengan proses pembangunan infrastruktur yang memakan waktu.

Kedua, menjadikan pendidikan sebagai suaka kultural bangsa. Gagasan ini berbentuk konservasi peralihan fungsi pendidikan yang tidak hanya melakukan prakter belajar mengajar, akan tetapi juga melakukan pelestarian terhadap cultural heritage. Sehingga gagasan ini berinduk pada idiom idiom “bangsa yang besar adalah bangsa yang berbudaya”. Budaya merupakan perwujudan karakter dari masyarakat suatu bangsa. Bukan karakter yang mudah untuk mengikuti, melainkan menjaga untuk kelestarian yang berkelanjutan tanpa menolak perubahan

Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai literate society. Menginduk ke masalah awal sebenarnya disinilai persinggungan gagasan dari globalisasi ke nilai upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan pendidikan semakin berdaya-guna. Masyarakat literasi (literate society) secara sederhana diartikan sebagai masyarakat yang gemar membaca dan menulis. Namun dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. (Hal 163)

Dalam prakteknya, literate society tidak mesti menjadi beban. Karena budaya membaca dan menulis bukan suatu yang sulit. Masalahnya hanya kita belum terbiasa menerapkan budaya demikian. Ini juga termasuk hal yang universal, karena meskipun peminatan budaya itu luas dan beragam. Budaya membaca dan menulis akan memberikan sumbangsih jaringan untuk diketahui oleh semua, respon perkembangannya dapat berupa demo budaya ataupun hasil penelitian entang budaya tersebut. Ditahapan berikutnya jika budaya literate society secara agregat diterapkan, maka peningkatan taraf kesadaran nilai manusia akan membentuk sumberdaya masunusia yang berkualitas, dengan sendirinya akan memberikan dampak pada kemajuan sosio-ekonomi.

Ketiga gagasan tersebut merupakan sedikit perenungan dari buku yang telah ditulis. Intinya proses menulis yang dilakukan pembelajar di LKM atas buku “Restorasi Pendidikan Indonesia” bukan ditujukan untuk menjadi ide tersebut mutlak adanya, akan tetapi dapat mengisi ruang kritis mahasiswa untuk mendalami isu pendidikan. Juga semangat menulis yang sudah mulai pudah di kalangan mahasiswa pada umumnya. Satu hal yang dapat mengikat gagasan di buku itu adalah bahwa perubahan merupakan suatu kepastian, namun seberapa besar strategi kita untuk siap menghadapi perubahan tersebut dengan pikiran yang terbuka.

continue reading Pendidikan: dari Globalisi ke Jalan Restorasi

Senin, 23 Mei 2011

Antara Ekonomi, Jurnalisme, & Hal-hal yang Belum Selesai


Setidaknya untuk ukuran mahasiswa dari bidang ekonomi, kegiatan yang tidak dapat saya lepaskan adalah melakukan analisis. Muaranya direpresentasikan dalam sebuat “tulisan”. Karena itu aktivitas saya selama ini tidak jauh-jauh dari kesibukan menulis, suatu kegiatan yang mengaitkan diri untuk selalu belajar banyak hal. Karena ekonomi tidak pernah berhenti di ruang vakum yang membahas dirinya an sich, ia selalu berhadapan vis a vis dengan dikotomi lain yang saling berhubungan. Sebuah realitas harus saya lihat secara skeptis, jika merenungkan melalui fenomenologis ekonomi di bangsa ini.

Ekonomi dan hal-hal lain adalah kesatuan yang padu. Karena mengaitkan ekonomi dengan bidang lain secara implisit telah masuk dalam ruang hukum teori-teori ekonomi sebagai sebuah acuan dasar. Konsep itu saya kenal dengan istilah “caretis paribus”. Sayangnya hal tersebut di bahas secara sekilas, mengenalnya sebatas nama dan istilah, dan tidak pernah dijadikan suatu sub-bagian khusus yang ditelaah secara mendalam. Dosen-dosen menganggap ini sebagai suatu faktor X yang misterius. Sebab wujudnya tidak pasti, sangat relatif. Tidak ada ukuran matematis yang bisa merabanya dari dalam.

Cateris paribus dalam kinerja teoritis adalah segala hal diasumsikan selalu tetap dalam kondisi apapun, meski dalam kenyataan hidup ,semua tidak akan berjalan begitu. Firmanzah, seorang guru besar ekonomi UI dalam suatu acara yang pernah saya temui pernah berkata “Dalam preakteknya, kondisi ekonomi tidak pernah mengalami kondisi cateris paribus !”. Lalu saya berpikir, 4 tahun saya duduk di kelas hanya untuk membayangkan pseudotheory.Itulah alasan saya bergelut dengan dunia kajian dan tulis-menulis untuk bisa memaknai istilah misterius itu dengan kaitan sebab-musabab fenomena ekonomi dan hal-hal lain yang tidak selesai.

Dalam tamsil saya di kehidupancateris paribus adalah tidak bersifat tetap. Ia adalah bentuk lain yang berubah dalam pengaruhnya ke perekonomian. Jadi, teori ekonomi dengan catatan pinggir cateris paribus harus dimaknai ulang pada kontekstualisasi kondisi yang relevan pada zaman, situasi, ruang, juga iklim. Bentuk dari cateris paribus adalah dikotomi ilmu ekonomi lain yang sepadan dan tidak dapat dipisahkan, juga tidak pernah selesai. Dalam benak saya hal itu serupa dengan bentuk-bentuk kebudayaan, politik, sosial, dan science. Dan semuanya punya pengarus yang dinamis dalam ekonomi.

Menulis membuat kita belajar dari banyak hal. Saya seringkali mengistilahkannya dengan “Merangkum isi kehidupan…”. Bagaimana tidak ? ketika menulis, kebanyakan hal yang dituangkan adalah fakta, nilai, serta makna yang kita jalani sehari-hari kemudian direfleksikan. Dalam buku Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan misalnya, berbicara tentang karut-marut kualitas jurnalisme Indonesia. Isinya tidak jauh-jauh dari ketiga hal (fakta, nilai, dan makna) yang dirangkum. Titik tolaknya adalah bagaimana kemudian kita menyikapi hidup dan kehidupan jurnalisme dewasa ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa saya menulis ? Tentulah agar tulisan dibaca khalayak ramai sehingga dapat dijadikan bahan referensi atau tambahan pengetahuan, minimal jadi pertimbangan dalam menentukan sikap sehari-hari supaya lebih arif dan bijak. Bukan soal dihargai. Menurut Andreas Harsono dalam bukunya Agama saya adalah Jurnalismme mengatakan “Menulis itu perlu tahu dan berani…”. artinya seorang penulis adalah orang yang lebih dulu tau sebelum pembaca, jangan “sok tahu”. Juga berani berargumentasi dengan perbedaan pandangan, dan tentunya bertanggung jawab atas apa yang ditulis.

Konsekuensi terbesar dari seorang penulis adalah dituntut untuk selalu memberi pengetahuan dan informasi baru yang belum diketahui pembaca. Dari situ kerja keras yang riil dari seorang penulis berbuntut pada keharusan menekuni sesuatu untuk membaca segala hal. Dan tidak henti-hentinya berpikir mencari celah untuk mengambil segi yang belum pernah dijamah seorang pun. Lalu dalam prakteknya banyak hal yang mesti dibayar oleh penulis seperti tidur larut malam, kehabisan uang karena harus beli buku, juga pusing memikirkan masalah yang belum terpecahkan.

Di luar semua itu, bagi saya menulis adalah wujud pengabdian dan upaya memberikan sumbangsih pemikiran sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Kepentingan peradaban. Sungguh saya tak akan membiarkan mekanisme gagasan mendekam bisu di otak.Ini adalah persoalan makna hidup, untuk apa ? untuk siapa ? lalu relakah kita menghabiskan hidup tanpa memberi sesuatu pun berupa karya tulisan. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang berkata "Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian". Ingat dunia dan peradaban ini bisa maju karena buku, karena tulisan !

Dari Outline ke Tulisan

Dalam sub ini, saya akan langsung menukik pada pembahasan jurnalisme. Saya mengklasifikasikannya dalam kegiatan pokok jurnalisme yang terdiri dari beberapa babak, yaitu: perencanaan, reportase, penulisan, dan penyuntingan. Adapun prosesi layout dan percetakan biasanya dipisahkan dari proses jurnalisme ke bagian lain dalam divisi organisasi, seperti bagian layouting dan percetakan. Namun tetap satu kepaduan. Sedangkan jeda dari setiap tahapan selalu dimonitoring dengan verifikasi yang membuat tahapan tersebut berjalan sesuai rencana, bila tidak dicari penyelesaiannya secepat mungkin.

Pada awal kerja jurnalistime yang pertama, dari pengalaman saya di redaksi selalu melakukan perencanaan dengan rapat redaksi, dinamikanya tidak jauh dari kecepatan percepatan, juga perdebatan. Dalam rapat tersebut dibahas hal yang umum dengan menentukan tema pembahasan dan isi rubrik, serta melakukan strategi reportase sesuai kebutuhan tema yang diambil. Biasanya yang menjadi ukuran pada proses perencanaan adalah informasi awal. Karena tidak mungkin melakukan reportase lapangan tanpa pengatahuan awal. Sama saja bertindak tanpa rencana.buang-buang tenaga. Juga tidak efektif dan efisien.

Oleh karenanya, pada tahap perencanaan biasanya saya menekankan pada pola pengumpulan informasi awal sebanyak mungkin. Referensi narasumber, alamatnya, sepak terjangnya, terkait tema adalah pendalaman materi. Baru kemudian dibahas untuk memilah mana yang relevan dan tidak. Teknik menemukan informasi awal juga beragam, dari pencarian via internet, kalau dirasa belum cukup, sampai ke lobi-lobi rekan atau orang yang tahu tentang informasi berkaitan tema yang ingin diangkat. Kadang juga sampai datang ke lokasi tanya sini-sana. Setelah informasi awal terkumpul, kita jadikan itu sebagai modal untuk membuat outline, yaitu gambaran besar dengan menggunakan metode mind mapping.

Ketahapan berikutnya bersamaan dengan membuat outline, saya biasanya terlebih dulu menekankan proses pada fokus yang ingin dibahas. Caranya dengan menarik hipotesis. Atau asumsi sementara dengan satu atau beberapa pertanyaan. Hal ini memudahkan saya untuk monitoring dan penyuntingan naskah. Juga mencegah agar proses reportase tidak berjalan keluar dari ketentuan yang dibutuhkan. Semua menginduk pada outline. Seperti dikatakan oleh Goenawan Mohammad dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo bahwa hal yang membuat kita selamat adalah membuat outline.

Tahapan kedua adalah reportase atau peliputan. Sering diistilahkan dengan “belanja” bagi para jurnalis. Sedangkan menulis adalah proses “memasak” hasil belanjaan. Korelasi pada tahapan ini selalu terkait dengan perencanaan, namun konteksnya tetap fleksibel. Dengan cara dan metode apapun, reportase selalu menyesuaikan pada keaadaan di medan yang diliput. Reporter biasanya harus memutar otak untuk membuat nara sumber memberikan keterangan yang akurat dan dapat menjawab pertanyaan secara memuaskan. Dari pengusaan ilmu kejiwaan sebagai asimilasi memahami lawan bicara, sampai pada pemahaman materi dengan istilah juga statement nara sumber.

Sebagai reporter, tentu kinerjanya selalu dipatok pada deadline. Untuk itu seorang repoter harus tahu persis kapan ia harus menulis dan selesai. Di tengah masa deadline itulah, sang reporter umumnya (baru) melakukan kerja reportese, transkrip hasil wawancara dan kemudian membuat susunan menjadi sebuah tulisan. Itu yang biasa dilakukan. Dan seringkali terjadi deadlock, atau situasi yang buntu. Bekerja dalam tekanan sering tidak baik hasilnya. Belum perkara teknis yang seringkali mengganggu, seperti komputer tiba-tiba ngadat, lupa menyimpan catatan, dsb.

Namun, cobalah sejenak berpikir dan bertindak “melampaui struktur”. Sebagaimana dikatakan teman saya Niam, Pemimpin Redaksi Jurnal Balairung UGM yang mengutip Bill Ryan, wartawan The Hartford (Conn.) Courant. Ia sudah mulai menyusun tulisan sesaat dalam perjalanan selepas wawancara. Papan ketik dan monitor dibawanya dalam pikiran. Juga dilakukan Don Fry, ahli dari Poynter Institute for Media Studies, salah satunya. Sesuai penuturan Luwi Ishwara, “Ia menyusun ceritanya ketika meliput. Ia bertanya pada dirinya bagian-bagian apa dan urutan yang ingin ditulis. Ia juga memikirkan berbagai pertanyaan yang perlu jawaban bagi pembaca dan bagaimana urutannya.”

Untuk itu, kita perlu alat bantu berupa outline wawancara. Bentuknya poin-poin pertanyaan yang dieksplorasi secara in-depth (mendalam). Apa itu wawancara yang in-depth? Wawancara ini, tak banyak yang memahaminya, sederhananya sekadar menjawab subpertanyaan dari pertanyaan besar yang sebelumnya sudah kita tentukan. Tidak banyak, cukup empat sampai enam pertanyaan, tapi dari yang sedikit itu kita akan bongkar habis dari data lapangan dan ucapan-ucapan narasumber. Intinya, peliput harus jeli melihal hal yang disembunyikan nara sumber, serta tahu rahasia sebelumnya dari keterangan informan lain.

Singkat kata, yang tercatat dalam kertas pegangan wawancara kita adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan dari ucapan si narasumber. Bukan inti perkataan yang disampaikan si narasumber. Karena kalau tidak demikian, bisa-bisa kita keluar dari plot yang sudah tersusun rapi dalam catatan, maupun plot yang sudah terpatri menurut logika pikiran kita. Nah, dari situlah bagian-bagian yang urut dalam tulisan dapat dipetakan. Bukankah menulis itu sekadar merunut kalimat dalam paragraf demi paragraph ? Bukankah dalam setiap paragraf itu terdapat masing-masing satu poin penting yang mestinya tak berkali-kali diulang dalam paragraf-paragraf selanjutnya?

Di sini diperlukan outline lagi, yakni outline tulisan. Ini pengembangan dari outline wawancara. Bedanya kalau outlinewawancara ditujukan untuk keperluan liputan, jika outline tulisan untuk menata gagasan pokok yang akan ditulis. Penulis yang mahir memang tak perlu menuliskan outline tulisan di atas secarik kertas. Tapi ia sebenarnya selalu punya outline yang tertata rapi dalam pikirannya. Tinggal kita mau menulis dalam bentuk straight news, hard news, ataukah feature. Terkait dengan tiga jenis berita tersebut, bisa sangat ditentukan oleh kecenderungan media, karakteristik rubrik, dan “referensi” estetika sang penulis.

Jenis straight news atau berita lugas yang ditulis tak sampai pada terpenuhinya unsur 5W+1H. Umumnya cukup menuliskan unsur 5W (who, what, when, where, when). Tak lebih. Itu yang membedakannya dengan tulisan hard news, yang lazim dipakai oleh koran harian dalam laporan utamanya. Kedua jenis berita ini dapat digolongkan dalam berita lugas, tapi hard news lebih panjang dan detil, hingga dirasa wajib menyibak unsur how. Bahkan sampai ditambahkan unsur so what (lantas apa?), yang berarti efek dari sisi perkembangan peristiwa yang diberitakan sekaligus terhadap para pembaca.

Sementara itu, jenis feature (atau fitur) merupakan jenis berita yang bertutur. Ia menarasikan kisah. Rasa-rasanya ketika menulis feature, reporter seketika juga seorang penulis novel. Tapi tetap, feature bukan fiksi, ia faktual. Pada hampir seluruh tulisan, yang dikedepankan adalah sisi human interest, sedikit lepas dari nilai-nilai berita yang lainnya. Karena itu, boleh dikatakan bahwa dalam feature, yang ada hanyalah nilai cerita, bukan nilai berita. Jenis tulisan macam ini bisa dibaca dalam antologi buku Jurnalisme Sastrawi. Juga biasanya featuredipakai untuk jenis in-depth reporting dan investigative reporting. Liputannya memakan proses panjang.

Meski terdapat beragam gaya penulisan, setiap laporan jurnalistik mesti memenuhi dua hal. Pertama, secara substansi, ia sudah semestinya menampung nilai-nilai berita yang sudah ditentukan. Dalam buku-buku panduan jurnalistik, disebutkan banyak nilai berita. Tetapi, setidaknya terdapat empat nilai berita yang saya kira cukup buat dijadikan indikator kelayakan tulisan. Ada urgency (penting dan mendesak), consequency (pengaruh), timeliness (keaktualan/saat yang tepat), dan proximity (kedekatan, baik fisik maupun psikologis). Jika diindonesiakan dan disingkat, empat nilai berita itu akan berbunyi SUKA (signifikansi, urgensi, kedekatan, aktualitas).

Kedua, menaati rancang bangun tulisan yang lazim. Terdiri dari judul, lead, dan tubuh tulisan. Lead itu kail. Ia ditulis dengan tujuan menarik pembaca untuk melanjutkan pembacaan dan membuat jalan supaya alur tulisan menjadi lancar. Untuk pemahaman lebih lanjut, bisa dicermati buku Seandainya Saya Wartawan Tempo, “kitab suci” para wartawan Tempo. Selanjutnya, tubuh tulisan terbagi dalam bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembuka berfungsi untuk memenuhi unsur 5W, isi menceritakan kronologisnya, sementara penutup bisa diisi dengan pernyataan sikap suatu lembaga atas isi tulisan. Sangat tergantung dari ideology dan nilai yang dipegang. Tapi yang pasti harus independen.

Saya simpulkan, bahwa proses pembabakan jurnalisme (perencanaan, reportase, dan penulisan) tidak terlepas dari outline, karena dengan itu kita dan pembaca bisa dengan cepat dan tepat mendapatkan apa yang kita inginkan.

Penyuntingan: Menangkap Kesalahan


Prosesi paling ujung dari penulisan adalah penyuntingan. Sama dengan editing dalam bahasa lumrahnya. Singkatnya dalam penyuntingan yang harus dilakukan adalah menjerat kesalahan agar tidak lolos dari pengamatan kita. Jika hal itu terjadi, maka fatal akibatnya. Maka dari itu, jika perlu pelototilah setiap kata demi kata seolah-olah “musuh” anda yang menyabot tulisan anda. Kalau ada kemungkinan salah, sekecil apapun, ceklah kata itu sampai anda yakin bahwa itu sudah benar, atau harus menggantinya. Lakukanlah berulang kali.

Garis besar editing terdiri dari dua hal. Pertama, edit isi. Pada tahap ini, hal-hal yang layak dicurigai dari tulisan terkait dengan akurasi data, akurasi narasumber, logika, alur, dan segala yang menyinggung isi tulisan. Kedua, edit bahasa. Kita menyunting pilihan kata atau diksi, akurasi ejaan dan penamaan, gaya bahasa, sintaksis, dan segala ihwal kebahasaan. Melihat dua pembagian ini, seorang editor selayaknya memang jadi orang yang “lebih tahu”, baik secara wacana maupun kebahasaan. Setiap penulis, dan tentu saja editor, mesti mengikuti perkembangan mutakhir kebahasaan. Ia bukanlah milik mahasiswa Sastra.Semua bisa.

Dalam media, menyunting juga berarti menyesuaikan jumlah karakter tulisan dengan space yang tersedia. Penulis berkewajiban untuk menambah jumlah karakter tulisan jika kurang memenuhi, atau memotongnya jika meluber. Editor juga berhak memotong tulisan jika dibutuhkan. Mengapa otoritas editor tampak lebih besar dibandingkan penulis? Ya, karena editor memang dipilih dari orang yang lebih dahulu (atau lebih lama) berkecimpung dalam lembaga (media) yang bersangkutan, sehingga dianggap sebagai orang yang lebih tahu kebutuhan media sekaligus kualitas media. Asal, segala yang dilakukan editor harus sesuai dengan kehendak penulis. Ada kesepakatan di situ.

Kemahiran menyunting sangat ditentukan dari seberapa sering kita menulis, untuk kemudian membaca kembali keselurahan tulisan buat diedit. Ini untuk dipraktikkan, bukan diceramahkan. Sampai kapan kita selesai mengedit? Tanda-tandanya yakni sampai kita hafal betul tulisan kita, kata per kata, lantaran saking berkali-kalinya kita mengulang membaca tulisan karena was-was, jangan-jangan ada yang luput tak tersunting. Sudah. Kita benar-benar berhenti menulis seketika itu. Sampai-sampai tatkala media hangat tercetak, bagi penulis, tulisannya tidaklah lagi bernuansa hangat.

Hal-hal yang Belum Selesai

Tulisan adalah jalan menuju jawabannya. Tetapi jawaban tidak harus satu, atau otentik kebenarannya menurut pemahaman subjektif satu orang atau golongan tertentu. Ia bisa saja “relatif”.  Karena di dunia ini, segala sesuatu tidak memiliki jawaban yang pasti. Semua memiliki ruangnya masing-masing. Kebenaan ada pada sudut pandang yang berbeda-beda padakadar besar-kecilnya, serta ukuran yang tidak pasti. Menurut siapa ? atas dasar apa ? adakah kesesuaian untuk setiap kondisi? Namun yang paling penting adalah kebenaran harus sesuai dengan fungsinya.

Hal-hal yang belum selesai adalah sesuatu yang seringkali tidak dipirkan. Disepelekan. Bahkan diacuhkan. Padahal jika kita kaitkan, hal tersebut akan mengacu kepada apa-apa yang belum diistilahkan dalam makna simbol hidup itu sendiri. Penandaan maksudnya. Bahkan ketika Newton menemukan teori gravitasi pada saat apel jatuh dari pohonnya, itu adalah jalan dari sesuatu yang tadinya hal-hal yang belum selesai.

Albert Camus mengatakan, pada dasarnya menulis adalah suatu upaya menjelaskan aburditas kehidupan. Alih-alih demikian menulis telah menjadi daya-upaya manusia membauat sejarahnya sendiri. menjadi raja atas dunianya. Berkuasa atas pemikirannya. Karena menulis telah menjadi suatu mediasi dimana pikiran dan dialektika implementatif itu berlangsung. Mari menulis. Mari berkarya !!
continue reading Antara Ekonomi, Jurnalisme, & Hal-hal yang Belum Selesai

Ajari Saya Menulis Lagi

Banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis ternama. Dengan karya-karya apik. Tapi banyak juga dari mereka yang enggan belajar dan berlatih. Kalah dengan rasa malas, tidak mau ambil pusing, serta enggan susah-susahan.

 
Saya akan memulainya dengan sebuah cerita tentang tiga jenis mahasiswa, yang pertama adalah orang yang sering kelimpungan menulis. Bingung menukil kata. Buntu, sering kehabisan ide. Saat berniat menulis, merasa kesulitan ditinggalah tulisan itu dengan niatan kembali dengan ide segar. Lalu tidur. Akhirnya penundaan itu justru berakhir dengan matinya niatan untuk menulis kembali. Karena sudah tidak punya “feel” untuk merasakan isi tulisan. Kemudian ia mengeluh kepada kakak di organisasi kampus tempat ia kuliah. Menanyakan tentang cara menulis “kak, saya bingung mau nulis apa ?” kata mahasiswa itu.

Lantas dijawab dengan pernyataan singkat “kamu sudah membaca apa saja untuk bekal tulisan kamu ?”. Lalu mahasiswa tersebut menjawab dengan muka polos “belum baca apa-apa sih kak”, dengan nada sedikit merendah. Pantas saja progres tulisan mandek, karena di dalam otak belum ada isi. Seperti bejana kosong, cuma besar tanya dan omong. Kalau seperti itu, meski dipaksakan tidak akan bisa menyelesaikan satu tulisan sekalipun. Atau barangkali selesai dengan isi sumbing. Tidak tentu arah dan pesan. Tidak jelas.

Kemudian yang kedua ada seorang mahasiswa lain yang “kutu buku” juga pintar. Tapi sulit menulis. Belum percaya diri dengan gagasannya. Kemudian ia bertanya kepada kakak di organisasinya “Bagaimana cara menulis ?”. Dengan tegas dijawab “Mulailah dengan memikirkan, tatalah gagasan kamu, dan menulislah” kata kakaknya. Jenis mahasiswa seperti ini hanya butuh berlatih bagaimana cara “pemetaan pikiran” dan analisis masalah, yang harus dilakukan adalah melatihnya untuk terus memberikan solusi-solusi kreatif bagi setiap masalahnya. Tidak taken for granted untuk segala hal. Dilatih untuk selalu berpikir kritis dan skeptis sebagai pengamat kehidupan.

Untuk jenis mahasiswa ketiga, suka mebaca dan suka menulis. Beberapa kali tulisannya sudah ditempel pada beberapa mading, buletin, sampai media kampus. Tapi banyak kritik disana-sini. Kata yang baca “tulisanmu itu jelek”, ada yang bilang “tulisan-mu itu tidak argumentatif”, parahnya sampai-sampai tulisan itu “dirobek” karena ada yang tidak suka. Sering dicekal oleh birokrat kampus atau ditentangan organisasi intra atau ekstra kampus. Lalu mahasiswa tersebut bertanya pada kakak di organisasinya “kak, bagaimana membuat tulisan yang baik ? tidak dicekal orang dan disukai pembaca ?” sambil menggerutu.

Jawaban kakak di organisasi itu singkat sekali “berlatihlah dan terus menulis, jangan berhenti !!” sambil memberi isyarat dengan menepuk pundak mahasiswa tersebut seolah menguatkan. Kemudian ia melanjutkan “kamu menulis juga merupakan habit yang baik, hanya saja harus kamu paham bahwa tidak semua orang itu punya pendapat sama”. Kita harus sadar, Di dunia ini tidak ada yang sempurna, semua punya kekurangan termasuk tulisan yang kita buat. Jadi wajar kalau ada kritik. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Sebagai cambuk yang membangun atau batu yang menimpuk kita lantas tersungkur jatuh dan menyerah.

Seorang penulis adalah “kompas” penunjuk arah bagi kelaliman atas fenomena yang terjadi. Berangkat dari lingkungan, agar semua menjadi ideal bukan khayalan saja. Disadari atau tidak, ketika masuk kedalam ruang dialektika itulah faktanya, bahwa tidak semua pandangan orang itu seragam. Banyak yang mempengaruhi. Tapi selalu ada tolak ukur yang universal, yaitu pandangan moril. Nilailah dari hati nurani yang humanis. Itulah yang menjadi segi berpijak tempat penulis bertolak dari semua gagasan dan idenya. Kita hanya perlu belajar berargumentasi. Setiap pendapat harus punya pijakan, agar tidak jatuh.

Sudah menulis, sekalipun masih banyak kekurangan itu baik. Ketimbang tidak menulis tapi mengejek tulisan orang. Hanya bisa bilang “gagasannya kok biasa saja ya...“ tanpa pernah menyumbangkan gagasan tulisan untuk mewarnai dialektika kampus.



 
Pada Awalnya adalah “Esai”

Di sub kedua ini saya akan mengajak anda belajar bersama menyimak suatu kisah, posisikan diri anda sebagai lakon. Kita mulai. Seandainya anda seorang mahasiswa. Dalam perjalanan menuju pulang ke rumah anda sering melawati pemukiman kumuh tempat banyak orang miskin tinggal. Sudah ratusan kali pemandangan itu tampil, tidak ada yang istimewa bagi anda, datar saja. Tapi, tiba-tiba suatu peristiwa atau pemandangan di pemukiman kumuh yang anda lewati, berbeda dari biasanya. Kemudian anda kaget dan merasa ada sesuatu disana. Menyebabkan anda mengambil notes. Kemudia mencatat. Hal penting yang anda catat adalah apa yang menurut anda sering dilupakan.

Seorang ibu dengan anaknya. Berada di bibir jalan. Menepi sambil menangis. Anaknya terbujur lemas, pucat, dan bibirnya putih. Badannya kurus kering. Keningnya berkeringat dingin, memakai baju dengan sobekan “compang-camping” di hampir seluruh bagian. Kemudian sang ibu berteriak lirih “tolong anak saya dik, sudah tiga hari tidak makan…”. Hati anda tidak kuat melihat kejadian tersebut. Kemudian turut hanyut merasakan sedih. Anda bertanya kepada ibu tersebut tentang keadaan anak dan keluarganya. Memberikan roti yang masih ada di tas, dibeli dari kampus siang tadi. Anda hanyut, dan ketika itu juga anda berniat menulis esai sebuah tulisan tentang ibu tadi. Dalam pendangan anda melihat subyek.

Satu jam kemudian sesampainya di rumah anda melamun memikirkan nasib ibu tadi dengan anaknya. Kemudian anda melihat kembali notes yang anda catat di tempat kejadian. Kebetulan anda sempat menanyakan beberapa hal pada ibu tadi. Perihal nama, asal, kemudian tempat tinggalnya. Disisi lain anda juga menanyakan soal keluarga. Suami dan kerabatnya. Pendapatannya serta masalah sosial ditengah masyarakat sekitar. Setelah melihat notes, terbersit di benak anda untuk menulis esai dengan tema besar “kemiskinan”. Dari tema itu anda mendapat feel menulis karena merasakan sendiri apa yang dilihat.

Keesokan harinya anda pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tulisan dari buku-buku tentang kemiskinan. Dalam salah satu buku yang berjudul "Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan" yang dikarang oleh Dawam Rahardjo terdapat banyak teori yang menerangkan konsep, klasifikasi, dan diskursus perihal kemiskinan. Kemudian anda pelajari dalam-dalam. Tidak cukup sampai disitu anda mempertajam analisis lewat fakta dan data. Misalnya berapa jumlah orang miskin terbaru, berapa penghasilan orang miskin perhari. Serta apa saja program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Perbandingan fenomena kemiskinan di negara lain. Dll.

Setelah terkumpul semua, anda mulai menyusun plot lewat mind mapping atau pemetaan pikiran. Semua teori, klasifikasi, diskursus, fakta, dan data dikumpul dalam sebuah visualisasi peta hubungan sebab-akibat dan pengaruh, kemudian pemecahannya. Mengurai masalah satu per satu, menjabarkannya kemudian menganalisis. Sesekali anda merasa masih ada yang kurang dalam penggalian ide itu. Kemudian anda lengkapi. Seterusnya, prosesnya seperti itu. Menggali-menata-menggali-menulis. Jangan sampai putus, sebab ini adalah ruh bagi tulisan anda. Agar menjadi bergizi diperlukan bahan yang kaya informasi sebanyak mungkin.

Setelas beres menata bekal penggalian “bahan baku” tulisan maka tugas berikutnya adalah membuat perencanaan penyusunan dari proyeksi mind mapping tadi. Intinya begini bagaimana memindahkan pemetaan pikiran yang ruwet tadi ke dalam sebuah paragraf demi paragraf. Anda bisa melakukan teknik “kluster” yakni pengelompokan dari pemetaan pikiran. Susunlah dari hal yang terpenting, menarik, dan informatif. Sebagai kepala tulisan. Dilanjutkan dengan analisis teoritis dan historis. Lalu berakhir pada gagasan sebagai ending. Ingat, gagasan harus bersifat solusi, lebih bagus kalau anda membuat itu dengan konsep, atau model, juga blue print yang disusun komprehensif disertai teori pendukung.

Seminggu kemudian tulisan tersebut akhirnya selesai. Judul yang anda ambil adalah “Reengginering Human Capital: Rekonstruksi Pembangunan Menuju Kesejahteraan” dijabarkan dalam isi tulisan tersebut pada awalnya tentang fenomena kemiskinan. Fakta dan peristiwa. Dianalisis sebagai suatu masalah. Berikut paragrafnya. Misalkan.

“Berbicara kemiskinan, tampaknya masih menjadi topik hangat yang diperbincangkan banyak orang di negeri ini. Rubrikasi humaniora diberbagai media kita masih dipenuhi oleh fenomena kemiskinan di berbagai pelosok negeri dengan berbagai gejala yang ditimbulkan seperti kelaparan, gizi buruk, dan menyebarnya wabah penyakit. Layar kaca televisi kita ramai menyajikan beragam reality show yang mengexpose kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat mengetuk hati nurani pemirsa. Mulai dari uang kaget, toloong!!, 3x lipat, pulang kampung, bedah rumah, lunas, dan seterusnya.”

Paragraf pembuka, seperti diatas haruslah menukik pada persoalan inti. Jangan bertele-tele, banyak basa-basi yang tidak berguna. Pembaca tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk bacaan yang kurang informatif. Jadi pembuka adalah penentu. Setelah itu, anda berikan pendapat pada lanjutannya. Misalkan bagaimana menganalisis program televisi tentang kemiskinan. Baik dan buruknya. Data tentang kemiskinan untuk memperkuat argumen. Kemudian beri kesimpulan. Padat dan jelas.

Dalam mempermudah penulisan dari mind mapping anda. Buatlah sub judul sebagai bagian yang memisahkan analisis masalah, fundamen teoritis, sistesis ide, dan solusi yang digagas. Begitu anda sampai di ujung dari sub judul satu ke sub judul lainnya, segera beri kail agar secara runtut dari sub judul ke sub judul berikutnya bersampung. Seperti rangkaian yang tidak terpisah satu sama lainnya. Demikian kerangkanya, yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahasan. Jangan sekali-kali keluar dari area tema yang diangkat.

Apakah Esai Sesungguhnya ?


Harus diakui, definisi bukanlah sesuatu yang bisa menjelaskan esai secara utuh dan memuaskan. Lebih mudah mengatakan, ”ini esai...” dan itu ”bukan esai...”, ketimbang saya menjelaskan panjang lebar sekali bahwa ”esai adalah...”. tapi paling tidak ada batasan klasik yang bisa dijadikan acuan dasar tentang definisi esai. Menurut Kasdi Haryanta esai adalah sebuah tulisan yang menggambarkan opini si penulis tentang subyek tertentu yang coba dinilainya. Dalam bahasa saya ”opini” dimaknai dengan representasi bagaimana menilai masalah dan memberikan solusinya.

Esai berbeda dengan tulisan lainnya. Seperti feature, tajuk, editorial, ataupun berita, apalagi karya ilmiah. Karakteristik tulisan esai lebih kepada ragam pandangan penulis sendiri. Untuk itulah sangat penting memperkaya wawasan dan wacana. Hal lainnya yang dibilang perlu membedakan esai dengan tulisan lain adalah gaya bahasa. Sebaiknya esai ditulis dengan bahasa yang ringan, menggigit, dan agak ilmiah. Susupi sekali-kali dengan kata-kata yang jarang digunakan agar esai terlihat bagus. Seperti eksotopi, yang berarti perenungan mengakui integritas ide. Agar mengundang penasaran pembaca. Tentunya dengan tidak mengurangi makna, apalagi membuat kabur isinya.

Hal yang membuat esai menjadi spesial adalah awet dibaca. Sekalipun disimpan hingga bertahun-tahun. Karena isinya adalah pandangan argumentatif seseorang terhadap subyek tertentu. Dan itu diperkuat dengan teori juga pendukungnya seperti hukum budaya atau norma masyarakat, maka isinya tak lusung oleh waktu. Bahkan sesekali dibuka lembaran esai dapat menjadi referensi kelimuan bagi pembaca. Atau memperkaya sisi perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal. Beda dengan berita, tajuk, atau feature semua itu disetir oleh informasi yang hangat, mana yang marak digunjing maka tulisan tersebut ada. Produk jurnalistik dalam dunia pers sangat dipengaruhi oleh kerentanan topik hangat.

Saya ingin berpendapat sebagai penulis esai. Ada beberapa hal yang setidaknya dapat mencirikan atau barangkali mempersolek tulisan. Pertama, gagasan. Hal ini dapat dinilai dari sejauh mana penulis menguasai topik tulisan. Biasanya orang yang paham dan mengerti di bidangnya lebih mengusai seluk-beluk ide. Tentang Apa yang harus dilakukan pemerintah. Serta bagaimana peran masyarakat dalam penyelesaian problem yang diangkat pada tulisan. Gagasan yang baik adalah yang diperkuat dengan telaah pustaka yang mendukung alias ada teorinya. Dan sama sekali berbeda dari sajian pada umumnya.

Misalnya, seseorang membuat tulisan dengan tema politik. Pokok topiknya adalah perselisihan antara SBY dan JK. Gara-gara backgound partai mereka turut mencampuri urusan pemerintahan. Akhirnya sentimen personal terbawa ke meja kerja. Penulis pada umumnya mungkin akan menjabarkan dari seputar perselisihan dan bagaimana menyelesaikannya. Tapi penulis yang baik bisa sekaligus sampai memberikan prediksi bagaimana kejadian yang akan datang. Misalkan dengan menulis judul ”Mutanologi Hubungan SBY-JK” dengan pesan bahwa kemungkinan pasangan ini akan mengalami perubahan, rekombinasi, redesain, atau reposisi pada struktur politik yang memisahkan keduanya dan membentuk pasangan baru. Sisi lain yang jarang diprediksi orang. Juga diperkuat teori pada buku transpolitika.

Kedua, argumentatif. Makna dari bagian ini adalah bahwasanya tulisan dapat menginformasikan sesuatu yang penting. Berdasar pada data yang akurat dan dapat dipercaya. Bersandar pada aras pijakan yang konkret. Bersumber pada kekayaan intelektual dan pengetahuan yang luas. Hal yang paling mudah dicirikan dari sini adalah keberadaan angka statistik dan nama pakar sebagai sumber. Ingat, alasan dengan penguatnya harus nyambung. Bersinergi. Anda bisa bayangkan bila pendapat anda tidak sesuai dengan faktanya. Misalkan, karena anda salah mencari referensi sumber. Seperti kesalahan hitung data, kesalahan prediksi, sampai pada kekeliruan nama.

Hal tersebut akan berpengaruh sekali terhadap isi tulisan dan kepercayaan publik. Bilas kesalahan terjadi maka taruhannya adalah integritas penulis. berdialektika dengan persoalan secara kritis adalah kuncinya, sejauh mana kita memahami masalah. Seperti pada esai ”Distruption Media” yang menerangkan bahwa telah terjadi guncangan besar yang dilakukan media terhadap tatanan sosial. Mengarah pada yang lebih buruk. Seperti tayangan kekerasan, gosip, dan pornografi. Kalau kekeliruan terjadi, dengan salah menganalisis konten media, atau menyebutkan tayangan apa yang buruk di televisi padahal nyata tidak. Maka salah juga argumentasi anda. Jadi hati-hati. Harus siap dengen respon pembaca.


Ketiga, kretivitas. Di ranah esai keativitas diasimilasikan dengan pengemasan ide dan ragam bahasanya. Ide yang kreaif harus merambah ke dalam konteks yang belum dijamah oleh penulis lain. Berbeda dan baru. Misalkan pada pokok permasalahan bagaimana merumuskan ide ekonomi kerakyatan yang syar’i. Artinya kedua dimensi misal sosial dan konteks religi digabung menjadi solusi segar, bagus, dan kreatif. Bisa saja anda mengambil judul ”Ekonomi Ukhuwah, Solusi Menuju Islamic Welfare State”. Dalam esai itu kemudian anda berpesan yang dimaksud dengan ”ekonomi ukhuwah adalah...”. kreatif karena belum pernah ada yang menamai itu, kemudian jarang terpikir orang.

Untuk dimensi kebahasaan kreativitas dicerminkan dengan sejauh mana anda mengemas pesan dengan intuisi. Contoh paragraf ini semoga bisa merepresentasikan sisi itu, menggambarkan sisi kemiskinan dengan uraian kalimat internalisasi perasaan.
”Menelusuri lebih jauh potret kemiskinan, tempat tinggal rakyat miskin terlalu sempit bila diisi dengan kesedihan, dan terlalu becek bila dihujani air tangisan, tetapi mereka hanya bisa legowo dan nrimo keadaan, tanpa bisa menghindari terjal dan dalamnya jurang kemiskinan. Gurita kemiskinan yang mengakar kuat pada kehidupan rakyat menjadi hal yang harus kita tanggulangi bersama dalam menciptakan kesejahteran”

Keempat, solusi. Tulisan yang baik selalu menyelesaikan persoalan demi persoalan. Bukan sebaliknya malah menimbulkan persoalan baru yang menambah runyam keadaan. Rumasannya sederhana, sejauh mana tulisan itu bisa mempengaruhi orang untuk turut memberi sumbangsih konkret, dari kesadaran ke tindakan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kebodohan menjadi kepandaian. Demikian sebuah tulisan seharusnya.

Saya ambil contoh. Ada tulisan esai berjudul ”Rekoordinasi kebijakan publik, efektifitas dan manfaanya” didalamnya ada solusi tentang ketidakefektifan kebijakan yang selama ini dijalani. Setelah dimuat di salah satu harian terkemuka. Banyak kalangan yang membaca termasuk aparat pemerintah. Dari situ kemudian mereka mengambil pembenahan pada kebijakan yang suda-sudah agar lebih efektif kedepan. Konteks dan solusinya diambil dari apa yang ditulis pada harian tersebut. Kemudian masyarakat yang membaca juga menjadi tahu atau permasalahan yang ada.

Beri Saya Pena

Menulis adalah ilmu yang didapat dari berlatih. Kualitasnya dipengaruhi dari sejauh mana anda tekun belajar dan membaca. Sabar dalam berproses. Dan kritis bersikap. Sejauh itu anda melakukan upaya, maka tulisan anda juga semakin terlihat progresnya. Jadi, kalau anda ingin bisa menulis. Jangan hanya mengeluh tentang kesulitannya, yang harus dilakukan adalah memecahkan kesulitan itu. Jangan berhenti memecahkan persoalan, tapi berusaha mencari jawabannya. Seterusnya anda hanya perlu konsistensi. Karena semangat itu fluktuatif. Kadang malas kadang rajin.

Bawalah selalu pena di baris depan kegiatan anda, dan mulailah mencatat hal terpenting yang memungkinkan anda untuk menuliskan itu. Tangkap semua peristiwa, jadikalah inspirasi dalam lembaran tulisan anda. Bila anda merasa kurang. Berarti mata anda belum terlalu jeli melihat sesuatu. Begitu banyak hal yang bisa dituliskan. Meski hanya peristiwa daun yang jatuh dari pohonnya.Pakailah pandangan multidialektis sebagai penulis yang bisa memediasi pesan dan makna, jangan tutup letupan makna yang terbersit sedikitpun, kalau itu ada singkirkan. Karena anda telah mengubur inspirasi anda secara tidak sengaja. Jadilah orang yang bebas dan berpikir terus menerus.

Kemudian, bila ada waktu luang merenunglah sesekali dari notes yang biasa anda bawa ketika anda pergi kemana-mana. Pikirkan butir demi butir point yang anda catat. Kira-kira mau menulis apa. Baiknya bagaimana. Pikirkan dan sentuh dengan pengalaman yang sudah-sudah sebagai bahan referensi. Kiranya anda akan menjadi penulis yang produktif. Dan dikenal dengan karya-karyanya. Itulah yang banyak dilakukan oleh banyak penulis ternama. Sebut saja Raditya Dika, Gunawan Muhammad, Rosihan Anwar. Sampai kepada novelis. asma nadia, dewi lestari, gola-gong, djenar mahesa ayu, dll

Jadi berhentilah berpikir tentang kesulitan menulis. Lakukanlah. Tidak ada rumus yang paling manjur untuk mahir menulis selain menulis sekarang juga. Menulis sesering mungkin. Dan menulis dengan konsisten. Selamat berkarya....!!




continue reading Ajari Saya Menulis Lagi