Rabu, 25 Mei 2011

Pendidikan: dari Globalisi ke Jalan Restorasi








Judul Buku : Restorasi Pendidikan Indonesia
Penulis : Tim KREATIS Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Edisi : Pertama, 2011
Tebal : 193 Halaman


 



Pendidikan Indonesia kekinian dihadapakan dengan suatu dilema globalisasi. Mengapa demikian ? karena tak ayal, bahwa globalisasi yang dianggap N.V Naipaul sebagai suatu peradaban baru universalitas. Globalisasi tidak terlepas dari fase kehidupan peralihan manusia, suatu Negara tidak bisa menutup diri dari kenyataan untuk secara tidak sadar masuk ke dalam gerbang globalisasi. Akan tetapi, dilema yang dimaksud terjadi ketika ketidakmampuan kita untuk survive di era globalisasi yang pada akhirnya menjadi ancaman balik yang menjangkiti lokalitas kultural sebagai karakter bangsa yang mempunyai daulat. 

Bentuk dari ketidakmampuan tersebut juga nampak dalam wajah pendidikan. Belakangan ternyata itu menjadi diskursus masalah karena globalisasi telah ikut-ikutan mengatur pola infrastruktur sistem pendidikan menjadi pasar. Dalam prakteknya pendidikan disamakan dengan perusahaan yang semata-mata menghasilkan profit. Logika berpikir yang dipakai adalah bahwa pendidikan merupakan peluang bisnis yang tidak akan pernah sirna. Apalagi kelesuan ketika resesi ekonomi datang, setiap orang akan tetap menyekolahkan anaknya sebagai investasi masa depan.
   
Alih-alih demikian pendidikan pada akhirnya akan dipadati motif ekonomi. Rusaknya semua diukur dengan uang. Lebih riskan karena pendidikan saat ini berubah menjadi komoditas, hal itu merupakan metamorphosis yang dinamakan komodifikasi. Dimana suatu nilai humanisasi-moral telah tergantikan dengan instruen kapitalistik. Tujuan dasar pendidikan sebagai fungsi memanusiakan manusia telah berubah menjadi “mengambil keuntungan dari manusia”. Ini sungguh telah keluar dari prinsip dasar pendidikan.

Dasar dari prosesi pemaknaan tentang arti pendidikan Indonesia seutuhnya terletak pada ajaran Ki Hajar adalah konsep Panca Darma Perguruan Tamansiswa yang disusun pada tahun 1947. Konsep ini juga dikenal dengan nama “Asas-Asas 1922”. Melalui ini Ki Hajar seolah-olah beliau ingin mengungkapkan bahwa usaha-usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki landasan yang kuat. Asas-asas Panca Darma ini merupakan intisari dari karakter pendidikan Indonesia yang disarikan dari pola hidup. (Hal 78)

Asas tersebut antara lain: kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kelima asas tersebutlah yang dijadikan ki Hajar dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Bukan tanpa alasan, bahwa perumusan asas tersebut bermuara pada filosofi pendidikan yang dimaknai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era global. Sebenarnya jika ingin menginduk, realisasi asas dari Ki Hajar tersebut bisa dijadikan dasar bekal untuk merancang strategi dalam menghadapi globalisasi. Konteks memanusiakan manusia dalam asas Panca Dharma sudah cukup relevan untuk generasi Indonesia.

Pendidikan Riwayatmu Kini

Pendidikan dari dulu sudah ada sebelum era kemerdekaan. Semenjak bangsa ini belum terbentuk dan masih terbelah-belah dalam monarki kerajaan. Kerajaan islam dulu menggunakan pendidikan pesantren, sedangankan kerajaan hindu-budha menggunakan pendidikan karsyan. (Hal 68). Secara sistem dan prakteknya hampir sama, hanya saja konten yang diajarkan berbeda, kemiripannya ada pada diuskursus religiusitas yang ada pada keduanya. Karena pada waktu itu yang paling nampak adalah semangat untuk penyebaran paham agama dan pendalaman bagi pemeluknya.

Pada masa berikutnya menjelang terbentuknya bangsa melalui sumpah pemuda. Tan Malaka pada tahuan 1921 menanamkan konsep pendidikan yang peduli pada kaum kromo dengan mendirikan S.I School bagi anggota Syarikat Islam. Kemudian beliau merumuskan tiga tujuan utama pendidikan: pendidikan keterampilan/ilmu pengetahuan, pendidikan bergaul/berorganisasi, dan pendidikan yang selalu berorientasi pada rakyat kecil. Tujuan tersebut diambil karena Tan Malaka sadar benar bahwa mereka rakyat adalah yang harus mengenyam pendidikan. Karena yang membutuhkan akan kehidupan layak adalah rakyat pada akhirnya. (Hal 69)

Pasca-kemerdekaan, pendidikan dibentuk menjadi empat tingkatan, yakni Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi (PT). Semua berpedoman pada kurikulum yang setiap waktu terus berganti, hal itu dikarenakan kaburnya orientasi pendidikan nasional. Belum juga tuntas satu kurikullum dijalankan, sudah berganti. (Hal 72) Ketidaktuntasan implementasi kurikulum membawa kebingungan para pelaku pendidikan. Faktor yang paling tegas mewakili hal tersebut adalah urusan politik. Ganti menteri ganti juga kebijakannya. Pendidikan seperti ada dibawah baying-bayang ketiak penguasa.
   
Hikayat pendidikan Indonesia memang mengalami perubahan fundamental dalam aspek filosofis. Saya melihat hal tersebut dengan skeptis, semakin kesini pendidikan kita semakin jauh dari nilai identitas budaya bangsa. Atau setidaknya tidak berorientasi pada pembekalan pembangunan sosio-ekonomi. Bahkan, generasi Indonesia sendiri tidak ditanamkan untuk mengenal potensi daerahnya secara teoritis, spesifik, dan teknis. Bobot untuk bagaimana siswa dapat membangun Indonesia tidak ditekankan dalam-dalam. Sehingga lulusan sekolah bingung melakukan upaya pembangunan mikro pada potensi daerahnya an sich. Kebingungan tersebut tercermin pada lulusan yang kian banyak menjadi penganggur. Bahkan di desa anak muda tidak berkeinginan menggarap tanah, lebih suka pergi kota dan kerja pabrikan.

Bila kita melakukan peninjauan ulang hal tersebut akan terlihat dari bahan ajar, materi, dan kurikulum. Minim sekali muatan teknis sebagai prasarana pengetahuan anak untuk kenal secara spesifik muatan bangsanya sendiri. Ilmu yang diajarkan terlalu general, walaupun saya sendiri paham tentang arti jenjang dan tingkatan juga spesifikasi jenis sekolah, misal jika SMA diajar teoritis sedangkan SMK diajar teknis. Semua tetap pada kiblat dan karakter pendidikannya masing-masing. Hanya yang menjadi penekanan adalah bagaimana siswa bisa mengenal bangsa dan negaranya untuk menjadi bekal pengetahuan kedepan.

Pada taraf SMA anak bisa saja diajarkan teori tentang keindonesiaan. Bagaimana mereka mengenal teori budaya indonesianya, teori pembangunan pedesaan dari ekonomi, sosial, sampai politik. Sedangkan SMK bisa diajar teknis pengelolaan lahan pertanian Indonesia. Sehingga ketika lulus mereka sudah memiliki bekal ke arah penyikapan rekayasa pembangunan sebagai strategi keunggulan bersaing. Di perguruan tinggi, proses situ dilanjutkan menjadi konsep-konsep yang siap diimplementasikan dalam bentuk community development.

Restorasi Seperti Apa ?
   
Makna dekat dengan kata, sebab dari kata makna punya maksud. Lebih dalam, maksud adalah motif. Setiap motif selalu punya alasan tertentu. Restorasi pendidikan memiliki arti yang berbeda dari pemakaian biasanya. Jika dikaitkan dengan persamaan bahasa, restorasi berarti melakukan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Dalam kategori ini, maksud dari restorasi pendidikan bisa diarhkan untuk meluruskan praktek pendidikan yang sudah caut-marut ini pada pondasi yang benar dan sesuai dengan karakter filosofis pendidikan dahulu sebelum kemerdekaan. Kental budaya dan orientasi kemandirian bangsa.
   
Sedang dari aspek empiris, restorasi diartikan untuk dapat melakukan perubahan untuk meningkatkan kualitas daya saing suatu bangsa. Hal tersebut tercermin dari Restorasi Meiji, dimana anak-anak muda Jepang dengan globalisasi belajar modernisasi Barat untuk membangun bangsanya yang telah kental akan tradisi. Globalisasi tidak mungkin kita hindari, tapi yang harus kita lakukan adalah melakukan upaya untuk memperkuat diri membentuk karakter local wisdom dengan menggalang kesatuan. Sebagaimana diungkap oleh Milton Santos “apa yang global terbelah-belah; apa yang lokal-lah yang memungkinkan persatuan.”.
   
Hanya dengan cara itu kita tidak termakan arus globalisasi, intinya setiap bangsa di era globalisasi harus memiliki posisi yang jelas, kuat dan sinergis. Hal itu dibangun dengan berbagai elemen yang bermuara pendidikan. Oleh karenanya, untuk memperbaiki bangsa yang sedang sakit turning point-nya harus dimulai dari pendidikan. Maka lahirlah gagasan “Restorasi pendidikan Indonesia”. Yang dikemas dengan sekelumit dikotomi tegas dari masalah-ke-gagasan. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan.
   
Pertama, membentuk karakter khas pendidikan Indonesia. Gagasan ini bertolak pada logika potential power. Maksudnya, pendidikan diarahkan untuk memanfaatkan potensi yang dimilliki oleh bangsa. Potensi itu adalah dimensi multikultural dan kekayaan sumberdaya alam. Sedangkan sumber daya manusia kita belum cukup mempunyai kemampuan untuk mengelola semuanya. Ketergantungan teknologi yang membuat kita selalu membuka pihak asing untuk mengelola itu yang akhirnya menimbulkan masalah. Eksploitasi besar-besaran telah menyedot kekayaan alam kita, hingga kerusakan lingkungan timbul menjadi bencana.

Oleh karenanya, pendidikan harus mengisi ruang dimana generasi Indonesia mampu untuk memanfaatkan potensi besar ini, secara merata dan menyeluruh. Karena bangsa kita merupakan kesatuan maritim yang tingkat pemerataan akan sulit sekali terwujud jika infrastruktur tidak dibangun. Atas dasar itu, pembangunan pendidikan juga harus dimulai dari bottom up, dari education for all menjadi seimbang dengan education from all. Jadi penerapan pendidikan bisa berangkat dari masyarakat sipil yang mempunyai perhatian dari pendidikan, atau citizen education. Hal itu akan lebih baik sambil dibarengi dengan proses pembangunan infrastruktur yang memakan waktu.

Kedua, menjadikan pendidikan sebagai suaka kultural bangsa. Gagasan ini berbentuk konservasi peralihan fungsi pendidikan yang tidak hanya melakukan prakter belajar mengajar, akan tetapi juga melakukan pelestarian terhadap cultural heritage. Sehingga gagasan ini berinduk pada idiom idiom “bangsa yang besar adalah bangsa yang berbudaya”. Budaya merupakan perwujudan karakter dari masyarakat suatu bangsa. Bukan karakter yang mudah untuk mengikuti, melainkan menjaga untuk kelestarian yang berkelanjutan tanpa menolak perubahan

Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai literate society. Menginduk ke masalah awal sebenarnya disinilai persinggungan gagasan dari globalisasi ke nilai upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan pendidikan semakin berdaya-guna. Masyarakat literasi (literate society) secara sederhana diartikan sebagai masyarakat yang gemar membaca dan menulis. Namun dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. (Hal 163)

Dalam prakteknya, literate society tidak mesti menjadi beban. Karena budaya membaca dan menulis bukan suatu yang sulit. Masalahnya hanya kita belum terbiasa menerapkan budaya demikian. Ini juga termasuk hal yang universal, karena meskipun peminatan budaya itu luas dan beragam. Budaya membaca dan menulis akan memberikan sumbangsih jaringan untuk diketahui oleh semua, respon perkembangannya dapat berupa demo budaya ataupun hasil penelitian entang budaya tersebut. Ditahapan berikutnya jika budaya literate society secara agregat diterapkan, maka peningkatan taraf kesadaran nilai manusia akan membentuk sumberdaya masunusia yang berkualitas, dengan sendirinya akan memberikan dampak pada kemajuan sosio-ekonomi.

Ketiga gagasan tersebut merupakan sedikit perenungan dari buku yang telah ditulis. Intinya proses menulis yang dilakukan pembelajar di LKM atas buku “Restorasi Pendidikan Indonesia” bukan ditujukan untuk menjadi ide tersebut mutlak adanya, akan tetapi dapat mengisi ruang kritis mahasiswa untuk mendalami isu pendidikan. Juga semangat menulis yang sudah mulai pudah di kalangan mahasiswa pada umumnya. Satu hal yang dapat mengikat gagasan di buku itu adalah bahwa perubahan merupakan suatu kepastian, namun seberapa besar strategi kita untuk siap menghadapi perubahan tersebut dengan pikiran yang terbuka.

2 komentar: