Senin, 23 Mei 2011

Antara Ekonomi, Jurnalisme, & Hal-hal yang Belum Selesai


Setidaknya untuk ukuran mahasiswa dari bidang ekonomi, kegiatan yang tidak dapat saya lepaskan adalah melakukan analisis. Muaranya direpresentasikan dalam sebuat “tulisan”. Karena itu aktivitas saya selama ini tidak jauh-jauh dari kesibukan menulis, suatu kegiatan yang mengaitkan diri untuk selalu belajar banyak hal. Karena ekonomi tidak pernah berhenti di ruang vakum yang membahas dirinya an sich, ia selalu berhadapan vis a vis dengan dikotomi lain yang saling berhubungan. Sebuah realitas harus saya lihat secara skeptis, jika merenungkan melalui fenomenologis ekonomi di bangsa ini.

Ekonomi dan hal-hal lain adalah kesatuan yang padu. Karena mengaitkan ekonomi dengan bidang lain secara implisit telah masuk dalam ruang hukum teori-teori ekonomi sebagai sebuah acuan dasar. Konsep itu saya kenal dengan istilah “caretis paribus”. Sayangnya hal tersebut di bahas secara sekilas, mengenalnya sebatas nama dan istilah, dan tidak pernah dijadikan suatu sub-bagian khusus yang ditelaah secara mendalam. Dosen-dosen menganggap ini sebagai suatu faktor X yang misterius. Sebab wujudnya tidak pasti, sangat relatif. Tidak ada ukuran matematis yang bisa merabanya dari dalam.

Cateris paribus dalam kinerja teoritis adalah segala hal diasumsikan selalu tetap dalam kondisi apapun, meski dalam kenyataan hidup ,semua tidak akan berjalan begitu. Firmanzah, seorang guru besar ekonomi UI dalam suatu acara yang pernah saya temui pernah berkata “Dalam preakteknya, kondisi ekonomi tidak pernah mengalami kondisi cateris paribus !”. Lalu saya berpikir, 4 tahun saya duduk di kelas hanya untuk membayangkan pseudotheory.Itulah alasan saya bergelut dengan dunia kajian dan tulis-menulis untuk bisa memaknai istilah misterius itu dengan kaitan sebab-musabab fenomena ekonomi dan hal-hal lain yang tidak selesai.

Dalam tamsil saya di kehidupancateris paribus adalah tidak bersifat tetap. Ia adalah bentuk lain yang berubah dalam pengaruhnya ke perekonomian. Jadi, teori ekonomi dengan catatan pinggir cateris paribus harus dimaknai ulang pada kontekstualisasi kondisi yang relevan pada zaman, situasi, ruang, juga iklim. Bentuk dari cateris paribus adalah dikotomi ilmu ekonomi lain yang sepadan dan tidak dapat dipisahkan, juga tidak pernah selesai. Dalam benak saya hal itu serupa dengan bentuk-bentuk kebudayaan, politik, sosial, dan science. Dan semuanya punya pengarus yang dinamis dalam ekonomi.

Menulis membuat kita belajar dari banyak hal. Saya seringkali mengistilahkannya dengan “Merangkum isi kehidupan…”. Bagaimana tidak ? ketika menulis, kebanyakan hal yang dituangkan adalah fakta, nilai, serta makna yang kita jalani sehari-hari kemudian direfleksikan. Dalam buku Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan misalnya, berbicara tentang karut-marut kualitas jurnalisme Indonesia. Isinya tidak jauh-jauh dari ketiga hal (fakta, nilai, dan makna) yang dirangkum. Titik tolaknya adalah bagaimana kemudian kita menyikapi hidup dan kehidupan jurnalisme dewasa ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa saya menulis ? Tentulah agar tulisan dibaca khalayak ramai sehingga dapat dijadikan bahan referensi atau tambahan pengetahuan, minimal jadi pertimbangan dalam menentukan sikap sehari-hari supaya lebih arif dan bijak. Bukan soal dihargai. Menurut Andreas Harsono dalam bukunya Agama saya adalah Jurnalismme mengatakan “Menulis itu perlu tahu dan berani…”. artinya seorang penulis adalah orang yang lebih dulu tau sebelum pembaca, jangan “sok tahu”. Juga berani berargumentasi dengan perbedaan pandangan, dan tentunya bertanggung jawab atas apa yang ditulis.

Konsekuensi terbesar dari seorang penulis adalah dituntut untuk selalu memberi pengetahuan dan informasi baru yang belum diketahui pembaca. Dari situ kerja keras yang riil dari seorang penulis berbuntut pada keharusan menekuni sesuatu untuk membaca segala hal. Dan tidak henti-hentinya berpikir mencari celah untuk mengambil segi yang belum pernah dijamah seorang pun. Lalu dalam prakteknya banyak hal yang mesti dibayar oleh penulis seperti tidur larut malam, kehabisan uang karena harus beli buku, juga pusing memikirkan masalah yang belum terpecahkan.

Di luar semua itu, bagi saya menulis adalah wujud pengabdian dan upaya memberikan sumbangsih pemikiran sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Kepentingan peradaban. Sungguh saya tak akan membiarkan mekanisme gagasan mendekam bisu di otak.Ini adalah persoalan makna hidup, untuk apa ? untuk siapa ? lalu relakah kita menghabiskan hidup tanpa memberi sesuatu pun berupa karya tulisan. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang berkata "Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. menulis adalah bekerja untuk keabadian". Ingat dunia dan peradaban ini bisa maju karena buku, karena tulisan !

Dari Outline ke Tulisan

Dalam sub ini, saya akan langsung menukik pada pembahasan jurnalisme. Saya mengklasifikasikannya dalam kegiatan pokok jurnalisme yang terdiri dari beberapa babak, yaitu: perencanaan, reportase, penulisan, dan penyuntingan. Adapun prosesi layout dan percetakan biasanya dipisahkan dari proses jurnalisme ke bagian lain dalam divisi organisasi, seperti bagian layouting dan percetakan. Namun tetap satu kepaduan. Sedangkan jeda dari setiap tahapan selalu dimonitoring dengan verifikasi yang membuat tahapan tersebut berjalan sesuai rencana, bila tidak dicari penyelesaiannya secepat mungkin.

Pada awal kerja jurnalistime yang pertama, dari pengalaman saya di redaksi selalu melakukan perencanaan dengan rapat redaksi, dinamikanya tidak jauh dari kecepatan percepatan, juga perdebatan. Dalam rapat tersebut dibahas hal yang umum dengan menentukan tema pembahasan dan isi rubrik, serta melakukan strategi reportase sesuai kebutuhan tema yang diambil. Biasanya yang menjadi ukuran pada proses perencanaan adalah informasi awal. Karena tidak mungkin melakukan reportase lapangan tanpa pengatahuan awal. Sama saja bertindak tanpa rencana.buang-buang tenaga. Juga tidak efektif dan efisien.

Oleh karenanya, pada tahap perencanaan biasanya saya menekankan pada pola pengumpulan informasi awal sebanyak mungkin. Referensi narasumber, alamatnya, sepak terjangnya, terkait tema adalah pendalaman materi. Baru kemudian dibahas untuk memilah mana yang relevan dan tidak. Teknik menemukan informasi awal juga beragam, dari pencarian via internet, kalau dirasa belum cukup, sampai ke lobi-lobi rekan atau orang yang tahu tentang informasi berkaitan tema yang ingin diangkat. Kadang juga sampai datang ke lokasi tanya sini-sana. Setelah informasi awal terkumpul, kita jadikan itu sebagai modal untuk membuat outline, yaitu gambaran besar dengan menggunakan metode mind mapping.

Ketahapan berikutnya bersamaan dengan membuat outline, saya biasanya terlebih dulu menekankan proses pada fokus yang ingin dibahas. Caranya dengan menarik hipotesis. Atau asumsi sementara dengan satu atau beberapa pertanyaan. Hal ini memudahkan saya untuk monitoring dan penyuntingan naskah. Juga mencegah agar proses reportase tidak berjalan keluar dari ketentuan yang dibutuhkan. Semua menginduk pada outline. Seperti dikatakan oleh Goenawan Mohammad dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo bahwa hal yang membuat kita selamat adalah membuat outline.

Tahapan kedua adalah reportase atau peliputan. Sering diistilahkan dengan “belanja” bagi para jurnalis. Sedangkan menulis adalah proses “memasak” hasil belanjaan. Korelasi pada tahapan ini selalu terkait dengan perencanaan, namun konteksnya tetap fleksibel. Dengan cara dan metode apapun, reportase selalu menyesuaikan pada keaadaan di medan yang diliput. Reporter biasanya harus memutar otak untuk membuat nara sumber memberikan keterangan yang akurat dan dapat menjawab pertanyaan secara memuaskan. Dari pengusaan ilmu kejiwaan sebagai asimilasi memahami lawan bicara, sampai pada pemahaman materi dengan istilah juga statement nara sumber.

Sebagai reporter, tentu kinerjanya selalu dipatok pada deadline. Untuk itu seorang repoter harus tahu persis kapan ia harus menulis dan selesai. Di tengah masa deadline itulah, sang reporter umumnya (baru) melakukan kerja reportese, transkrip hasil wawancara dan kemudian membuat susunan menjadi sebuah tulisan. Itu yang biasa dilakukan. Dan seringkali terjadi deadlock, atau situasi yang buntu. Bekerja dalam tekanan sering tidak baik hasilnya. Belum perkara teknis yang seringkali mengganggu, seperti komputer tiba-tiba ngadat, lupa menyimpan catatan, dsb.

Namun, cobalah sejenak berpikir dan bertindak “melampaui struktur”. Sebagaimana dikatakan teman saya Niam, Pemimpin Redaksi Jurnal Balairung UGM yang mengutip Bill Ryan, wartawan The Hartford (Conn.) Courant. Ia sudah mulai menyusun tulisan sesaat dalam perjalanan selepas wawancara. Papan ketik dan monitor dibawanya dalam pikiran. Juga dilakukan Don Fry, ahli dari Poynter Institute for Media Studies, salah satunya. Sesuai penuturan Luwi Ishwara, “Ia menyusun ceritanya ketika meliput. Ia bertanya pada dirinya bagian-bagian apa dan urutan yang ingin ditulis. Ia juga memikirkan berbagai pertanyaan yang perlu jawaban bagi pembaca dan bagaimana urutannya.”

Untuk itu, kita perlu alat bantu berupa outline wawancara. Bentuknya poin-poin pertanyaan yang dieksplorasi secara in-depth (mendalam). Apa itu wawancara yang in-depth? Wawancara ini, tak banyak yang memahaminya, sederhananya sekadar menjawab subpertanyaan dari pertanyaan besar yang sebelumnya sudah kita tentukan. Tidak banyak, cukup empat sampai enam pertanyaan, tapi dari yang sedikit itu kita akan bongkar habis dari data lapangan dan ucapan-ucapan narasumber. Intinya, peliput harus jeli melihal hal yang disembunyikan nara sumber, serta tahu rahasia sebelumnya dari keterangan informan lain.

Singkat kata, yang tercatat dalam kertas pegangan wawancara kita adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan dari ucapan si narasumber. Bukan inti perkataan yang disampaikan si narasumber. Karena kalau tidak demikian, bisa-bisa kita keluar dari plot yang sudah tersusun rapi dalam catatan, maupun plot yang sudah terpatri menurut logika pikiran kita. Nah, dari situlah bagian-bagian yang urut dalam tulisan dapat dipetakan. Bukankah menulis itu sekadar merunut kalimat dalam paragraf demi paragraph ? Bukankah dalam setiap paragraf itu terdapat masing-masing satu poin penting yang mestinya tak berkali-kali diulang dalam paragraf-paragraf selanjutnya?

Di sini diperlukan outline lagi, yakni outline tulisan. Ini pengembangan dari outline wawancara. Bedanya kalau outlinewawancara ditujukan untuk keperluan liputan, jika outline tulisan untuk menata gagasan pokok yang akan ditulis. Penulis yang mahir memang tak perlu menuliskan outline tulisan di atas secarik kertas. Tapi ia sebenarnya selalu punya outline yang tertata rapi dalam pikirannya. Tinggal kita mau menulis dalam bentuk straight news, hard news, ataukah feature. Terkait dengan tiga jenis berita tersebut, bisa sangat ditentukan oleh kecenderungan media, karakteristik rubrik, dan “referensi” estetika sang penulis.

Jenis straight news atau berita lugas yang ditulis tak sampai pada terpenuhinya unsur 5W+1H. Umumnya cukup menuliskan unsur 5W (who, what, when, where, when). Tak lebih. Itu yang membedakannya dengan tulisan hard news, yang lazim dipakai oleh koran harian dalam laporan utamanya. Kedua jenis berita ini dapat digolongkan dalam berita lugas, tapi hard news lebih panjang dan detil, hingga dirasa wajib menyibak unsur how. Bahkan sampai ditambahkan unsur so what (lantas apa?), yang berarti efek dari sisi perkembangan peristiwa yang diberitakan sekaligus terhadap para pembaca.

Sementara itu, jenis feature (atau fitur) merupakan jenis berita yang bertutur. Ia menarasikan kisah. Rasa-rasanya ketika menulis feature, reporter seketika juga seorang penulis novel. Tapi tetap, feature bukan fiksi, ia faktual. Pada hampir seluruh tulisan, yang dikedepankan adalah sisi human interest, sedikit lepas dari nilai-nilai berita yang lainnya. Karena itu, boleh dikatakan bahwa dalam feature, yang ada hanyalah nilai cerita, bukan nilai berita. Jenis tulisan macam ini bisa dibaca dalam antologi buku Jurnalisme Sastrawi. Juga biasanya featuredipakai untuk jenis in-depth reporting dan investigative reporting. Liputannya memakan proses panjang.

Meski terdapat beragam gaya penulisan, setiap laporan jurnalistik mesti memenuhi dua hal. Pertama, secara substansi, ia sudah semestinya menampung nilai-nilai berita yang sudah ditentukan. Dalam buku-buku panduan jurnalistik, disebutkan banyak nilai berita. Tetapi, setidaknya terdapat empat nilai berita yang saya kira cukup buat dijadikan indikator kelayakan tulisan. Ada urgency (penting dan mendesak), consequency (pengaruh), timeliness (keaktualan/saat yang tepat), dan proximity (kedekatan, baik fisik maupun psikologis). Jika diindonesiakan dan disingkat, empat nilai berita itu akan berbunyi SUKA (signifikansi, urgensi, kedekatan, aktualitas).

Kedua, menaati rancang bangun tulisan yang lazim. Terdiri dari judul, lead, dan tubuh tulisan. Lead itu kail. Ia ditulis dengan tujuan menarik pembaca untuk melanjutkan pembacaan dan membuat jalan supaya alur tulisan menjadi lancar. Untuk pemahaman lebih lanjut, bisa dicermati buku Seandainya Saya Wartawan Tempo, “kitab suci” para wartawan Tempo. Selanjutnya, tubuh tulisan terbagi dalam bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembuka berfungsi untuk memenuhi unsur 5W, isi menceritakan kronologisnya, sementara penutup bisa diisi dengan pernyataan sikap suatu lembaga atas isi tulisan. Sangat tergantung dari ideology dan nilai yang dipegang. Tapi yang pasti harus independen.

Saya simpulkan, bahwa proses pembabakan jurnalisme (perencanaan, reportase, dan penulisan) tidak terlepas dari outline, karena dengan itu kita dan pembaca bisa dengan cepat dan tepat mendapatkan apa yang kita inginkan.

Penyuntingan: Menangkap Kesalahan


Prosesi paling ujung dari penulisan adalah penyuntingan. Sama dengan editing dalam bahasa lumrahnya. Singkatnya dalam penyuntingan yang harus dilakukan adalah menjerat kesalahan agar tidak lolos dari pengamatan kita. Jika hal itu terjadi, maka fatal akibatnya. Maka dari itu, jika perlu pelototilah setiap kata demi kata seolah-olah “musuh” anda yang menyabot tulisan anda. Kalau ada kemungkinan salah, sekecil apapun, ceklah kata itu sampai anda yakin bahwa itu sudah benar, atau harus menggantinya. Lakukanlah berulang kali.

Garis besar editing terdiri dari dua hal. Pertama, edit isi. Pada tahap ini, hal-hal yang layak dicurigai dari tulisan terkait dengan akurasi data, akurasi narasumber, logika, alur, dan segala yang menyinggung isi tulisan. Kedua, edit bahasa. Kita menyunting pilihan kata atau diksi, akurasi ejaan dan penamaan, gaya bahasa, sintaksis, dan segala ihwal kebahasaan. Melihat dua pembagian ini, seorang editor selayaknya memang jadi orang yang “lebih tahu”, baik secara wacana maupun kebahasaan. Setiap penulis, dan tentu saja editor, mesti mengikuti perkembangan mutakhir kebahasaan. Ia bukanlah milik mahasiswa Sastra.Semua bisa.

Dalam media, menyunting juga berarti menyesuaikan jumlah karakter tulisan dengan space yang tersedia. Penulis berkewajiban untuk menambah jumlah karakter tulisan jika kurang memenuhi, atau memotongnya jika meluber. Editor juga berhak memotong tulisan jika dibutuhkan. Mengapa otoritas editor tampak lebih besar dibandingkan penulis? Ya, karena editor memang dipilih dari orang yang lebih dahulu (atau lebih lama) berkecimpung dalam lembaga (media) yang bersangkutan, sehingga dianggap sebagai orang yang lebih tahu kebutuhan media sekaligus kualitas media. Asal, segala yang dilakukan editor harus sesuai dengan kehendak penulis. Ada kesepakatan di situ.

Kemahiran menyunting sangat ditentukan dari seberapa sering kita menulis, untuk kemudian membaca kembali keselurahan tulisan buat diedit. Ini untuk dipraktikkan, bukan diceramahkan. Sampai kapan kita selesai mengedit? Tanda-tandanya yakni sampai kita hafal betul tulisan kita, kata per kata, lantaran saking berkali-kalinya kita mengulang membaca tulisan karena was-was, jangan-jangan ada yang luput tak tersunting. Sudah. Kita benar-benar berhenti menulis seketika itu. Sampai-sampai tatkala media hangat tercetak, bagi penulis, tulisannya tidaklah lagi bernuansa hangat.

Hal-hal yang Belum Selesai

Tulisan adalah jalan menuju jawabannya. Tetapi jawaban tidak harus satu, atau otentik kebenarannya menurut pemahaman subjektif satu orang atau golongan tertentu. Ia bisa saja “relatif”.  Karena di dunia ini, segala sesuatu tidak memiliki jawaban yang pasti. Semua memiliki ruangnya masing-masing. Kebenaan ada pada sudut pandang yang berbeda-beda padakadar besar-kecilnya, serta ukuran yang tidak pasti. Menurut siapa ? atas dasar apa ? adakah kesesuaian untuk setiap kondisi? Namun yang paling penting adalah kebenaran harus sesuai dengan fungsinya.

Hal-hal yang belum selesai adalah sesuatu yang seringkali tidak dipirkan. Disepelekan. Bahkan diacuhkan. Padahal jika kita kaitkan, hal tersebut akan mengacu kepada apa-apa yang belum diistilahkan dalam makna simbol hidup itu sendiri. Penandaan maksudnya. Bahkan ketika Newton menemukan teori gravitasi pada saat apel jatuh dari pohonnya, itu adalah jalan dari sesuatu yang tadinya hal-hal yang belum selesai.

Albert Camus mengatakan, pada dasarnya menulis adalah suatu upaya menjelaskan aburditas kehidupan. Alih-alih demikian menulis telah menjadi daya-upaya manusia membauat sejarahnya sendiri. menjadi raja atas dunianya. Berkuasa atas pemikirannya. Karena menulis telah menjadi suatu mediasi dimana pikiran dan dialektika implementatif itu berlangsung. Mari menulis. Mari berkarya !!

0 komentar:

Posting Komentar