Senin, 23 Mei 2011

Ajari Saya Menulis Lagi

Banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis ternama. Dengan karya-karya apik. Tapi banyak juga dari mereka yang enggan belajar dan berlatih. Kalah dengan rasa malas, tidak mau ambil pusing, serta enggan susah-susahan.

 
Saya akan memulainya dengan sebuah cerita tentang tiga jenis mahasiswa, yang pertama adalah orang yang sering kelimpungan menulis. Bingung menukil kata. Buntu, sering kehabisan ide. Saat berniat menulis, merasa kesulitan ditinggalah tulisan itu dengan niatan kembali dengan ide segar. Lalu tidur. Akhirnya penundaan itu justru berakhir dengan matinya niatan untuk menulis kembali. Karena sudah tidak punya “feel” untuk merasakan isi tulisan. Kemudian ia mengeluh kepada kakak di organisasi kampus tempat ia kuliah. Menanyakan tentang cara menulis “kak, saya bingung mau nulis apa ?” kata mahasiswa itu.

Lantas dijawab dengan pernyataan singkat “kamu sudah membaca apa saja untuk bekal tulisan kamu ?”. Lalu mahasiswa tersebut menjawab dengan muka polos “belum baca apa-apa sih kak”, dengan nada sedikit merendah. Pantas saja progres tulisan mandek, karena di dalam otak belum ada isi. Seperti bejana kosong, cuma besar tanya dan omong. Kalau seperti itu, meski dipaksakan tidak akan bisa menyelesaikan satu tulisan sekalipun. Atau barangkali selesai dengan isi sumbing. Tidak tentu arah dan pesan. Tidak jelas.

Kemudian yang kedua ada seorang mahasiswa lain yang “kutu buku” juga pintar. Tapi sulit menulis. Belum percaya diri dengan gagasannya. Kemudian ia bertanya kepada kakak di organisasinya “Bagaimana cara menulis ?”. Dengan tegas dijawab “Mulailah dengan memikirkan, tatalah gagasan kamu, dan menulislah” kata kakaknya. Jenis mahasiswa seperti ini hanya butuh berlatih bagaimana cara “pemetaan pikiran” dan analisis masalah, yang harus dilakukan adalah melatihnya untuk terus memberikan solusi-solusi kreatif bagi setiap masalahnya. Tidak taken for granted untuk segala hal. Dilatih untuk selalu berpikir kritis dan skeptis sebagai pengamat kehidupan.

Untuk jenis mahasiswa ketiga, suka mebaca dan suka menulis. Beberapa kali tulisannya sudah ditempel pada beberapa mading, buletin, sampai media kampus. Tapi banyak kritik disana-sini. Kata yang baca “tulisanmu itu jelek”, ada yang bilang “tulisan-mu itu tidak argumentatif”, parahnya sampai-sampai tulisan itu “dirobek” karena ada yang tidak suka. Sering dicekal oleh birokrat kampus atau ditentangan organisasi intra atau ekstra kampus. Lalu mahasiswa tersebut bertanya pada kakak di organisasinya “kak, bagaimana membuat tulisan yang baik ? tidak dicekal orang dan disukai pembaca ?” sambil menggerutu.

Jawaban kakak di organisasi itu singkat sekali “berlatihlah dan terus menulis, jangan berhenti !!” sambil memberi isyarat dengan menepuk pundak mahasiswa tersebut seolah menguatkan. Kemudian ia melanjutkan “kamu menulis juga merupakan habit yang baik, hanya saja harus kamu paham bahwa tidak semua orang itu punya pendapat sama”. Kita harus sadar, Di dunia ini tidak ada yang sempurna, semua punya kekurangan termasuk tulisan yang kita buat. Jadi wajar kalau ada kritik. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Sebagai cambuk yang membangun atau batu yang menimpuk kita lantas tersungkur jatuh dan menyerah.

Seorang penulis adalah “kompas” penunjuk arah bagi kelaliman atas fenomena yang terjadi. Berangkat dari lingkungan, agar semua menjadi ideal bukan khayalan saja. Disadari atau tidak, ketika masuk kedalam ruang dialektika itulah faktanya, bahwa tidak semua pandangan orang itu seragam. Banyak yang mempengaruhi. Tapi selalu ada tolak ukur yang universal, yaitu pandangan moril. Nilailah dari hati nurani yang humanis. Itulah yang menjadi segi berpijak tempat penulis bertolak dari semua gagasan dan idenya. Kita hanya perlu belajar berargumentasi. Setiap pendapat harus punya pijakan, agar tidak jatuh.

Sudah menulis, sekalipun masih banyak kekurangan itu baik. Ketimbang tidak menulis tapi mengejek tulisan orang. Hanya bisa bilang “gagasannya kok biasa saja ya...“ tanpa pernah menyumbangkan gagasan tulisan untuk mewarnai dialektika kampus.



 
Pada Awalnya adalah “Esai”

Di sub kedua ini saya akan mengajak anda belajar bersama menyimak suatu kisah, posisikan diri anda sebagai lakon. Kita mulai. Seandainya anda seorang mahasiswa. Dalam perjalanan menuju pulang ke rumah anda sering melawati pemukiman kumuh tempat banyak orang miskin tinggal. Sudah ratusan kali pemandangan itu tampil, tidak ada yang istimewa bagi anda, datar saja. Tapi, tiba-tiba suatu peristiwa atau pemandangan di pemukiman kumuh yang anda lewati, berbeda dari biasanya. Kemudian anda kaget dan merasa ada sesuatu disana. Menyebabkan anda mengambil notes. Kemudia mencatat. Hal penting yang anda catat adalah apa yang menurut anda sering dilupakan.

Seorang ibu dengan anaknya. Berada di bibir jalan. Menepi sambil menangis. Anaknya terbujur lemas, pucat, dan bibirnya putih. Badannya kurus kering. Keningnya berkeringat dingin, memakai baju dengan sobekan “compang-camping” di hampir seluruh bagian. Kemudian sang ibu berteriak lirih “tolong anak saya dik, sudah tiga hari tidak makan…”. Hati anda tidak kuat melihat kejadian tersebut. Kemudian turut hanyut merasakan sedih. Anda bertanya kepada ibu tersebut tentang keadaan anak dan keluarganya. Memberikan roti yang masih ada di tas, dibeli dari kampus siang tadi. Anda hanyut, dan ketika itu juga anda berniat menulis esai sebuah tulisan tentang ibu tadi. Dalam pendangan anda melihat subyek.

Satu jam kemudian sesampainya di rumah anda melamun memikirkan nasib ibu tadi dengan anaknya. Kemudian anda melihat kembali notes yang anda catat di tempat kejadian. Kebetulan anda sempat menanyakan beberapa hal pada ibu tadi. Perihal nama, asal, kemudian tempat tinggalnya. Disisi lain anda juga menanyakan soal keluarga. Suami dan kerabatnya. Pendapatannya serta masalah sosial ditengah masyarakat sekitar. Setelah melihat notes, terbersit di benak anda untuk menulis esai dengan tema besar “kemiskinan”. Dari tema itu anda mendapat feel menulis karena merasakan sendiri apa yang dilihat.

Keesokan harinya anda pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tulisan dari buku-buku tentang kemiskinan. Dalam salah satu buku yang berjudul "Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan" yang dikarang oleh Dawam Rahardjo terdapat banyak teori yang menerangkan konsep, klasifikasi, dan diskursus perihal kemiskinan. Kemudian anda pelajari dalam-dalam. Tidak cukup sampai disitu anda mempertajam analisis lewat fakta dan data. Misalnya berapa jumlah orang miskin terbaru, berapa penghasilan orang miskin perhari. Serta apa saja program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Perbandingan fenomena kemiskinan di negara lain. Dll.

Setelah terkumpul semua, anda mulai menyusun plot lewat mind mapping atau pemetaan pikiran. Semua teori, klasifikasi, diskursus, fakta, dan data dikumpul dalam sebuah visualisasi peta hubungan sebab-akibat dan pengaruh, kemudian pemecahannya. Mengurai masalah satu per satu, menjabarkannya kemudian menganalisis. Sesekali anda merasa masih ada yang kurang dalam penggalian ide itu. Kemudian anda lengkapi. Seterusnya, prosesnya seperti itu. Menggali-menata-menggali-menulis. Jangan sampai putus, sebab ini adalah ruh bagi tulisan anda. Agar menjadi bergizi diperlukan bahan yang kaya informasi sebanyak mungkin.

Setelas beres menata bekal penggalian “bahan baku” tulisan maka tugas berikutnya adalah membuat perencanaan penyusunan dari proyeksi mind mapping tadi. Intinya begini bagaimana memindahkan pemetaan pikiran yang ruwet tadi ke dalam sebuah paragraf demi paragraf. Anda bisa melakukan teknik “kluster” yakni pengelompokan dari pemetaan pikiran. Susunlah dari hal yang terpenting, menarik, dan informatif. Sebagai kepala tulisan. Dilanjutkan dengan analisis teoritis dan historis. Lalu berakhir pada gagasan sebagai ending. Ingat, gagasan harus bersifat solusi, lebih bagus kalau anda membuat itu dengan konsep, atau model, juga blue print yang disusun komprehensif disertai teori pendukung.

Seminggu kemudian tulisan tersebut akhirnya selesai. Judul yang anda ambil adalah “Reengginering Human Capital: Rekonstruksi Pembangunan Menuju Kesejahteraan” dijabarkan dalam isi tulisan tersebut pada awalnya tentang fenomena kemiskinan. Fakta dan peristiwa. Dianalisis sebagai suatu masalah. Berikut paragrafnya. Misalkan.

“Berbicara kemiskinan, tampaknya masih menjadi topik hangat yang diperbincangkan banyak orang di negeri ini. Rubrikasi humaniora diberbagai media kita masih dipenuhi oleh fenomena kemiskinan di berbagai pelosok negeri dengan berbagai gejala yang ditimbulkan seperti kelaparan, gizi buruk, dan menyebarnya wabah penyakit. Layar kaca televisi kita ramai menyajikan beragam reality show yang mengexpose kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat mengetuk hati nurani pemirsa. Mulai dari uang kaget, toloong!!, 3x lipat, pulang kampung, bedah rumah, lunas, dan seterusnya.”

Paragraf pembuka, seperti diatas haruslah menukik pada persoalan inti. Jangan bertele-tele, banyak basa-basi yang tidak berguna. Pembaca tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk bacaan yang kurang informatif. Jadi pembuka adalah penentu. Setelah itu, anda berikan pendapat pada lanjutannya. Misalkan bagaimana menganalisis program televisi tentang kemiskinan. Baik dan buruknya. Data tentang kemiskinan untuk memperkuat argumen. Kemudian beri kesimpulan. Padat dan jelas.

Dalam mempermudah penulisan dari mind mapping anda. Buatlah sub judul sebagai bagian yang memisahkan analisis masalah, fundamen teoritis, sistesis ide, dan solusi yang digagas. Begitu anda sampai di ujung dari sub judul satu ke sub judul lainnya, segera beri kail agar secara runtut dari sub judul ke sub judul berikutnya bersampung. Seperti rangkaian yang tidak terpisah satu sama lainnya. Demikian kerangkanya, yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahasan. Jangan sekali-kali keluar dari area tema yang diangkat.

Apakah Esai Sesungguhnya ?


Harus diakui, definisi bukanlah sesuatu yang bisa menjelaskan esai secara utuh dan memuaskan. Lebih mudah mengatakan, ”ini esai...” dan itu ”bukan esai...”, ketimbang saya menjelaskan panjang lebar sekali bahwa ”esai adalah...”. tapi paling tidak ada batasan klasik yang bisa dijadikan acuan dasar tentang definisi esai. Menurut Kasdi Haryanta esai adalah sebuah tulisan yang menggambarkan opini si penulis tentang subyek tertentu yang coba dinilainya. Dalam bahasa saya ”opini” dimaknai dengan representasi bagaimana menilai masalah dan memberikan solusinya.

Esai berbeda dengan tulisan lainnya. Seperti feature, tajuk, editorial, ataupun berita, apalagi karya ilmiah. Karakteristik tulisan esai lebih kepada ragam pandangan penulis sendiri. Untuk itulah sangat penting memperkaya wawasan dan wacana. Hal lainnya yang dibilang perlu membedakan esai dengan tulisan lain adalah gaya bahasa. Sebaiknya esai ditulis dengan bahasa yang ringan, menggigit, dan agak ilmiah. Susupi sekali-kali dengan kata-kata yang jarang digunakan agar esai terlihat bagus. Seperti eksotopi, yang berarti perenungan mengakui integritas ide. Agar mengundang penasaran pembaca. Tentunya dengan tidak mengurangi makna, apalagi membuat kabur isinya.

Hal yang membuat esai menjadi spesial adalah awet dibaca. Sekalipun disimpan hingga bertahun-tahun. Karena isinya adalah pandangan argumentatif seseorang terhadap subyek tertentu. Dan itu diperkuat dengan teori juga pendukungnya seperti hukum budaya atau norma masyarakat, maka isinya tak lusung oleh waktu. Bahkan sesekali dibuka lembaran esai dapat menjadi referensi kelimuan bagi pembaca. Atau memperkaya sisi perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal. Beda dengan berita, tajuk, atau feature semua itu disetir oleh informasi yang hangat, mana yang marak digunjing maka tulisan tersebut ada. Produk jurnalistik dalam dunia pers sangat dipengaruhi oleh kerentanan topik hangat.

Saya ingin berpendapat sebagai penulis esai. Ada beberapa hal yang setidaknya dapat mencirikan atau barangkali mempersolek tulisan. Pertama, gagasan. Hal ini dapat dinilai dari sejauh mana penulis menguasai topik tulisan. Biasanya orang yang paham dan mengerti di bidangnya lebih mengusai seluk-beluk ide. Tentang Apa yang harus dilakukan pemerintah. Serta bagaimana peran masyarakat dalam penyelesaian problem yang diangkat pada tulisan. Gagasan yang baik adalah yang diperkuat dengan telaah pustaka yang mendukung alias ada teorinya. Dan sama sekali berbeda dari sajian pada umumnya.

Misalnya, seseorang membuat tulisan dengan tema politik. Pokok topiknya adalah perselisihan antara SBY dan JK. Gara-gara backgound partai mereka turut mencampuri urusan pemerintahan. Akhirnya sentimen personal terbawa ke meja kerja. Penulis pada umumnya mungkin akan menjabarkan dari seputar perselisihan dan bagaimana menyelesaikannya. Tapi penulis yang baik bisa sekaligus sampai memberikan prediksi bagaimana kejadian yang akan datang. Misalkan dengan menulis judul ”Mutanologi Hubungan SBY-JK” dengan pesan bahwa kemungkinan pasangan ini akan mengalami perubahan, rekombinasi, redesain, atau reposisi pada struktur politik yang memisahkan keduanya dan membentuk pasangan baru. Sisi lain yang jarang diprediksi orang. Juga diperkuat teori pada buku transpolitika.

Kedua, argumentatif. Makna dari bagian ini adalah bahwasanya tulisan dapat menginformasikan sesuatu yang penting. Berdasar pada data yang akurat dan dapat dipercaya. Bersandar pada aras pijakan yang konkret. Bersumber pada kekayaan intelektual dan pengetahuan yang luas. Hal yang paling mudah dicirikan dari sini adalah keberadaan angka statistik dan nama pakar sebagai sumber. Ingat, alasan dengan penguatnya harus nyambung. Bersinergi. Anda bisa bayangkan bila pendapat anda tidak sesuai dengan faktanya. Misalkan, karena anda salah mencari referensi sumber. Seperti kesalahan hitung data, kesalahan prediksi, sampai pada kekeliruan nama.

Hal tersebut akan berpengaruh sekali terhadap isi tulisan dan kepercayaan publik. Bilas kesalahan terjadi maka taruhannya adalah integritas penulis. berdialektika dengan persoalan secara kritis adalah kuncinya, sejauh mana kita memahami masalah. Seperti pada esai ”Distruption Media” yang menerangkan bahwa telah terjadi guncangan besar yang dilakukan media terhadap tatanan sosial. Mengarah pada yang lebih buruk. Seperti tayangan kekerasan, gosip, dan pornografi. Kalau kekeliruan terjadi, dengan salah menganalisis konten media, atau menyebutkan tayangan apa yang buruk di televisi padahal nyata tidak. Maka salah juga argumentasi anda. Jadi hati-hati. Harus siap dengen respon pembaca.


Ketiga, kretivitas. Di ranah esai keativitas diasimilasikan dengan pengemasan ide dan ragam bahasanya. Ide yang kreaif harus merambah ke dalam konteks yang belum dijamah oleh penulis lain. Berbeda dan baru. Misalkan pada pokok permasalahan bagaimana merumuskan ide ekonomi kerakyatan yang syar’i. Artinya kedua dimensi misal sosial dan konteks religi digabung menjadi solusi segar, bagus, dan kreatif. Bisa saja anda mengambil judul ”Ekonomi Ukhuwah, Solusi Menuju Islamic Welfare State”. Dalam esai itu kemudian anda berpesan yang dimaksud dengan ”ekonomi ukhuwah adalah...”. kreatif karena belum pernah ada yang menamai itu, kemudian jarang terpikir orang.

Untuk dimensi kebahasaan kreativitas dicerminkan dengan sejauh mana anda mengemas pesan dengan intuisi. Contoh paragraf ini semoga bisa merepresentasikan sisi itu, menggambarkan sisi kemiskinan dengan uraian kalimat internalisasi perasaan.
”Menelusuri lebih jauh potret kemiskinan, tempat tinggal rakyat miskin terlalu sempit bila diisi dengan kesedihan, dan terlalu becek bila dihujani air tangisan, tetapi mereka hanya bisa legowo dan nrimo keadaan, tanpa bisa menghindari terjal dan dalamnya jurang kemiskinan. Gurita kemiskinan yang mengakar kuat pada kehidupan rakyat menjadi hal yang harus kita tanggulangi bersama dalam menciptakan kesejahteran”

Keempat, solusi. Tulisan yang baik selalu menyelesaikan persoalan demi persoalan. Bukan sebaliknya malah menimbulkan persoalan baru yang menambah runyam keadaan. Rumasannya sederhana, sejauh mana tulisan itu bisa mempengaruhi orang untuk turut memberi sumbangsih konkret, dari kesadaran ke tindakan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kebodohan menjadi kepandaian. Demikian sebuah tulisan seharusnya.

Saya ambil contoh. Ada tulisan esai berjudul ”Rekoordinasi kebijakan publik, efektifitas dan manfaanya” didalamnya ada solusi tentang ketidakefektifan kebijakan yang selama ini dijalani. Setelah dimuat di salah satu harian terkemuka. Banyak kalangan yang membaca termasuk aparat pemerintah. Dari situ kemudian mereka mengambil pembenahan pada kebijakan yang suda-sudah agar lebih efektif kedepan. Konteks dan solusinya diambil dari apa yang ditulis pada harian tersebut. Kemudian masyarakat yang membaca juga menjadi tahu atau permasalahan yang ada.

Beri Saya Pena

Menulis adalah ilmu yang didapat dari berlatih. Kualitasnya dipengaruhi dari sejauh mana anda tekun belajar dan membaca. Sabar dalam berproses. Dan kritis bersikap. Sejauh itu anda melakukan upaya, maka tulisan anda juga semakin terlihat progresnya. Jadi, kalau anda ingin bisa menulis. Jangan hanya mengeluh tentang kesulitannya, yang harus dilakukan adalah memecahkan kesulitan itu. Jangan berhenti memecahkan persoalan, tapi berusaha mencari jawabannya. Seterusnya anda hanya perlu konsistensi. Karena semangat itu fluktuatif. Kadang malas kadang rajin.

Bawalah selalu pena di baris depan kegiatan anda, dan mulailah mencatat hal terpenting yang memungkinkan anda untuk menuliskan itu. Tangkap semua peristiwa, jadikalah inspirasi dalam lembaran tulisan anda. Bila anda merasa kurang. Berarti mata anda belum terlalu jeli melihat sesuatu. Begitu banyak hal yang bisa dituliskan. Meski hanya peristiwa daun yang jatuh dari pohonnya.Pakailah pandangan multidialektis sebagai penulis yang bisa memediasi pesan dan makna, jangan tutup letupan makna yang terbersit sedikitpun, kalau itu ada singkirkan. Karena anda telah mengubur inspirasi anda secara tidak sengaja. Jadilah orang yang bebas dan berpikir terus menerus.

Kemudian, bila ada waktu luang merenunglah sesekali dari notes yang biasa anda bawa ketika anda pergi kemana-mana. Pikirkan butir demi butir point yang anda catat. Kira-kira mau menulis apa. Baiknya bagaimana. Pikirkan dan sentuh dengan pengalaman yang sudah-sudah sebagai bahan referensi. Kiranya anda akan menjadi penulis yang produktif. Dan dikenal dengan karya-karyanya. Itulah yang banyak dilakukan oleh banyak penulis ternama. Sebut saja Raditya Dika, Gunawan Muhammad, Rosihan Anwar. Sampai kepada novelis. asma nadia, dewi lestari, gola-gong, djenar mahesa ayu, dll

Jadi berhentilah berpikir tentang kesulitan menulis. Lakukanlah. Tidak ada rumus yang paling manjur untuk mahir menulis selain menulis sekarang juga. Menulis sesering mungkin. Dan menulis dengan konsisten. Selamat berkarya....!!




0 komentar:

Posting Komentar