Senin, 22 Agustus 2011

Cerita Dibalik Tulisan “Demokrasi dan Kekecewaan”: Eksotika Analitik terhadap Perjalanan Sejarah Politik Indonesia


Dalam tulisan tersebut saya seolah diberikan penyadaran batin, bahwa politik adalah sesuatu yang tidak akan ada habisnya mengecewakan banyak orang. Apapun bentuknya, politik tetap saja mengorbankan rakyat yang nelangsa. Karena ulah pemeran antagonis. Sampai pura-pura bersolek dengan janji muluk tanpa realisasi.

Sekedar bercerita, setiap kali saya membaca tulisan Gunawan Muhammad (GM) selalu saja memberi suatu inspirasi baru di benak pikiran. Kadang seketika itu juga kedua jari saya berdetik dalam keypad handphone yang tak sabar menunggu loading karena ingin segera up date status via “snaptu” perihal internalisasi ide beliau. Ada makna yang menerjemahkan peristiwa, kadang mengajak kita berdialog lewat setiap gagasan yang ia cetuskan. Maklum mungkin karena “sepak terjang” bacaan dan referensi GM sudah matang, beragam, dan membumi dengan dirinya barangkali. Terlebih karena dia wartawan senior yang sudah tidak asing dengan dialektika pemikiran manapun. Dari pemikiran kir ke kanan, atau ilahiah sampai ke pergolagakan filosofi keagamaan. Nikmat didalami.

Selain itu, diksi yang saya resapi sangat sastrawi. Tidak terlalu kaku dengan beban ide yang ia suguhkan. Walau kadang saya sendiri bingung memaknainya. Terlampau tinggi untuk kadar konfigurasi bahasa. Bagi saya, saripati tulisan merupakan bunga dari sebuah lamunan filsafat setelah adanya proses membaca, berpikir, dan menyesuaikan. Membaca sebagai aktivitas input, berpikir sebagai proses pencarian makna, dan menyesuaikan sebagai upaya pembuktian. Agar lebih rasional dan dekat dengan kenyataan sebenarnya. Itulah kaitan yang tak pernah habis dalam proses belajar. Terutama kita sebagai mahasiswa yang bergelut dengan banyak problem, dari berita ke berita. Sampai pada gagasan.

Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama GM adalah pemikiran monodimensional. Ia seorang yang mengisi setiap letupan dialektika dengan beragam pemikiran. Sampai-sampai di “twitterland” ia sering berbagi sumber bacaan atau referensi yang sedang ia baca. Bisa dibilang ia adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka terhadap berbagai hal. Tapi kalau dikerucutkan ia sangat toleran sekali dengan isu humanistik sebagai sifat dan humaniora sebagai dunianya.

Dalam tulisan “Demokrasi dan kekecewaan” yang beliau sampaikan di Pidato untuk Nurcholish Madjid Memorial Lecture II pada tahun 2009. Substansinya mengerucut pada dalih bahwa demokrasi yang berguling sepanjang masa pada akhirnya banyak berujung nestapa. Terutama dalam pergulakan politik di Indonesia “dari masa ke masa” atau “dari transisi ke transisi”. Entah demokrasi parlementer, terpimpin, sampai reformasi. Sama saja. Belum bisa membuat bangsa ini keluar dari penderitaan rakyatnya. Tetap berputar dalam ruang gerak “lingkar setan kemiskinan”. Kemudian dari situ ia mempertanyakan demokrasi sebagai suatu konsep, apakah masih bisa dipertahankan ? kalau iya dalam dimensi dan bentuk yang seperti apa ?

Saya bersama tulisan ini ingin menjawab. Tentu dengan kapasitas saya sebagai seorang mahasiswa yang “minim ilmu”. Jadi maaf saja kalau belum begitu komprehensif. Sebenarnya pemikiran demokrasi yang berkembang pada awalnya mulai diperkenalkan 2.500 tahun lalu di Athena, Yunani. Dalam sejarahnya demokrasi demokrasi amat disakralkan, karena ia konon lahir dari sebuah revolusi berdarah-darah umat manusia melawan kedzaliman, praktik otoritarian. Yaitu upaya reaksioner kaum filsuf, cendekiawan dan rakyat nasrani yang ditindas para kaisar di Eropa yang disahkan pihak gereja. Sejarah yang kemudian didramatisir ini lalu dianggap sebagai sebuah pencerahan (renaissance) umat manusia dari kegelapan (aufklarung/dark ages).

Demokrasi juga dianggap sebagai ideologi suci anti tiran dan kediktatoran. Ia dianggap sebagai suara rakyat. Slogannya; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Atau demokrasi itu adalah perwujudan dari spirit liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan). Melawan demokrasi berarti melawan suara rakyat, dan suara rakyat itu adalah kebenaran. Dengan gegabah para pendukung demokrasi sesumbar suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei).

Padahal antithesis dari eloknya demokrasi juga banyak “korengnya” Tragedi Tiananmen di Cina yang menelan banyak korban mahasiswa pro-demokrasi, atau lebih terkesan dengan Aung San Su Kyi di Birma. Juga peristiwa reformasi 1998 di Indonesia yang banyak menelan ribuan korban sipil juga mahasiswa. Lalu kemudian saya berpikir, apa yang salah ? demokrasi atau perangkatnya ? karena perenungan saya mengatakan bahwa demokrasi bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia dijalankan oleh perangkat yang menjadi “rider” bergulirnya suatu tatanan yang mengatur. Sejarah mengatakan bahwa sistem demokrasi bergulir fluktuatif, “dari baik ke buruk” dan “dari buruk ke baik”. Tapi banyak yang prosesnya seperti ini “dari buruk ke baik kemudian buruk lagi”. Tidak lain manusialah yang berperan dalam turu-naik tersebut.

Menjawab pertanyaan diatas, yang salah dari “borok” demokrasi adalah perangkat dari sitem yang menjalankan. Karena itu tujuan demokrasi sebagai konsep mengembalikan kehendak rakyat tidak tercapai. Akhirnya seperti dalam bahasan GM ditulisan itu mengatakan “otokrasi politik” yang mengangkangi akses bagi rakyat untuk mendapatkan haknya meraih kesejahteraan. Kekuasaan tidak lebih dari olok-olokan sampah yang kalau saya tidak salah baca di dalam sejarah pemikiran sosialis dianalogikan sebagai pihak yang “tidak mampu mengolah karya rakyatnya”. Bahan baku, pajak, dan kerja keras menjadi sia-sia kalau pemerintah tiran. Tidak mampu dengan baik mengolah dengan etos baik. Malah alih-alih membudaki rakyat dengan kebijakan pro-asing.

Jadi, untuk kesimpulan yang pertama sesi tulisan ini saya hanya mau menyimpulkan hal yang sederhana saja. Menjawad pertanyaan GM. Demokrasi sebagai suatu konsep, apakah masih bisa dipertahankan ? kalau iya dalam dimensi yang seperti apa ?Begini, GM dalam tulisan itu menjabarkan dalam “jalan buntu” atau istilahnya “kurva lonceng” yang artinya politik yang tidak kemana-mana, stagnan. Mendobrak sebuah solusi bahwa politik harus dikembalikan kearah “perjuangan” seperti apa yang diupayakan pada masa kebangkitan nasional, kita satu dalam pergerakan memerangi penjajahan. Seperti adanya Jong Java, Jong Sumatra, Jong Selebes, Jong Islamicten Bond, Pemuda Betawi, Jong Ambon pada akhirnya menjadi “pemoeda indonesia”.

Konteks tersebut kalau diproyeksikan kemudian di zaman sekarang menjadi sulit. Pasalnya orientasi kebangsaan menjadi pudar dan terkotak-kotak dalam orientasi golongan, etnis, dan suku masing-masing. Titik temu tersebut baru ada ketika bangsa ini dirundung masalah besar, dan itu belum terlihat. Kerikil kecil malah dianggap sepele. Sulit untuk dipersatukan karena masing-masing punya kepentingan. Pemersatu kita saat ini hanya “bahasa” dan asas “bhineka tunggal ika”. Kalau itupun pudar karena globalisasi saya tidak tahu apa tumpuan berikutnya.

Kembali lagi. Mari memulai jawaban dari pertanyaan GM. Dalam benak saya, demokrasi bukan saja sekedar “perjuangan”. Ia adalah integrasi dari perpaduan ide, pergerakan dan perangkat kepemimpinan atau yang kita sebut sebagai pemerintah. Perjuangan adalah upaya dalam konteks ikhtiar kenegaraan mewujudkan dimensi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Saya mengindikasikan begini. Pertama, Ide adalah gagasannya, dari sini muncul kemudian seperti apa bentuk pemerintahan nanti seperti visi dan misi serta sistem ketatanegaraan. Kedua, Pergerakan sebagai kerangka tahapannya yang coba mengatur proses demokrasi itu berjalan. Ketiga, Sedangkan untuk perangkat pemerintah adalah motor atau pelaku yang menjalankan, ada elemen masyarakat sebagai sipil yang diatur untuk turut mewujudkan demokrasi ideal.

Jadi kesimpulannya dalam posisi yang seperti apa demokrasi bisa dipertahankan adalah jawabannya terdiri dari konteks keterkaiatan tiga hal tersebut. Pada dasarnya saya hanya mencuruhkan apa yang saya pikirkan saja. Demokrasi sebenarnya sengaja dipertahankan sebagai sistem pemerintahan karena sudah terlanjur dijalankan, pilihannya hanya itu. Meski kita tahu bahwa demokrasi belum bisa membawa bangsa ini sedikit baik dengan kualitas hidup rakyat yang sejahtera. Lalu kemudian nantinya bagaimana, demokrasi hanya berubah sesuai kodratnya, ada transisi dan peralihan. Pada saat itulah kemudian demokrasi bias menjadi baik atau bahkan semakin buruk. Tergantung dari pemimpinnya. Dan sekarang bangsa ini belum punya pemimpin sekaliber Umar bin Khattab yang bias mengerti kondisi rakyat untuk kemudian menyelesaikannya secepat mungkin. Seperti kisah seorang ibu kelaparan yang merebus batu untuk anaknya, kemudia diketahui Umar untuk kemudian diberikan makanan saat itu juga.

****

Disini, bagian tulisan kedua, saya pisahkan antara jawaban dialektis saya dengan tanggapan atau letupan ide GM. Kita mulai dari “kekecewaan terhadap parlementer” saya sebut sebagai kesadaran kritis terhadap kondisi saat itu. Dari demokrasi parlementer, kemudian diruntuhkan ke demokrasi termpimpin, lalu beralih transisi ke demokrasi orde baru. Barulah reformasi memulai perjalannya. Menarik sekali seperti serial “ludruk” Jowo. Cerita yang mengilhami banyak pemikir untuk menganalisis penyebab kejadian demi kejadian. Tapi yang tetap ada pada setiap transisi lagi-lagi adalah “kekecewaan”.

Letupan lain dari pemikiran di tulisan itu adalah analogi “sang antah” yang diambil dari teori Lacan disebut sebagai le Reel (dalam versi Inggris, the Real). Dengan itu sebenarnya ditunjukkan satu kekhilafan utama dalam pemikiran politik demokrasi yang mengasumsikan kemampuan “representasi”. Pengertian “representasi” dimulai dari ilusi bahasa, bahwa satu hal dapat ditirukan persis dalam bentuk lain, misalnya dalam kata atau perwakilan. Ilusi mimetik ini menganggap, semua hal, termasuk yang ada dalam dunia kehidupan, akan dapat direpresentasikan. Seakan-akan tak ada Sang Antah.

Disambut dengan teori “demokrasi radikal” yang diperkenalkan Laclau dan Mouffe, dengan menggunakan pandangan Gramsci, maupun oleh pemikiran politik dengan militansi ala Mao dalam pemikian Alain Badiou, kita ditunjukkan bahwa sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit. Senantiasa ada yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, yang dicoba diingkari. Maksudnya bila dikatakan bahwa demokrasi adalah “mewakili rakyat” faktanya tidak begitu. Saat ini, demokrasi hanya milik partai politik yang tidak sama sekali representatif. Mereka bukan kepentingan rakyat, orientasinya kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar