Senin, 13 Juni 2011

Agar Adik tetap Menulis


 “Aku pernah berpesan padanya, menulislah dimanapun dan kapanpun adik berada. Kemudian berpikirlah tentang apapun saat adik dalam keadaan sulit ataupun senang, jangan berhenti ! karena kita hidup, bukan sedang mati”

SABTU ITU MATAHARI MENYAPAKU AGAK PAGI, jam dinding menunjukkan angka 06:30 WIB.Tetapi terik sinar sudah menjamah bahu badanku, sampai retina mata kaget dibuatnya, silau. Sedikit beban pikiran agak mengganjal. Tidak seperti biasa.

Kali pertama rupanya saya ingat bahwa jadwal mengajar dimulai hari ini, Saya diamanahi untuk menjadi pengajar guru ektrakulikuler Jurnalistikdi SMAN 30. Dengan bismillah saya akan mencoba berbagi wawasan tentang bidang yang sudah kugeluti sejak ada di bangku SD. Meski tak serumit sekarang dengan segala konsekuensinya.

Saya kemudian berjalan dengan berjuta tanda tanya tentang gambaran siswa didik di eskul jurnalistik. Saat itu yang terbayang adalah apa yang mengisi benak saya tentang dunia itu di kampus. Jika digambarkan pers mahasiswa identik dengan ideologi kiri, berpenampilan minimalis, alias serba irit. Baju jarang ganti, ahkan celana yang sudah robek pun dikenakan.

Sesampai di sekolah. Saya hanya kenal Adi, ketua kelompok eskul jurnalistik. Dari dia kemudian saya berkenalan dengan seluruh anggota lain. Pada saat itu yang datang hanya 4 orang. Tya, Nisa, Sara, dan Adi. Mereka adik yang manis. Saya melihat ada ketulusan untuk belajar. Karena itu saya juga semangat. Dan kita sama-sama semangat.

Ketika awal, mungkin saya bicara terlalu berat, sampai mereka mengerutkan kening. Kemudian bertanya berulang kali tentang penjelasan materi saya. Disatu sisi saya bilang itu hanya soal adaptasi. Tapi disisi lain mereka jadi semakin bingung. Lalu saya harus bagaimana ?

Memang. Gaya pembawaan saya lebih kepada segmen mahasiswa ketimbang menyesuaikan dengan memberi materi dengan gaya siswa. Karena di kampus, saya sering memberikan materi pengantar diskusi ataupun penulisan. Bertuturpun jadi amat terkesan serius. Maklum baru belajar mengajar. Sebagai calon lulusan sarjana pendidikan saya dituntut untuk mengusai kelas dan berlatih berbicara.

Ini adalah ajang saya mengajar sekaligus juga belajar. Tak apalah mereka bicara tidak senang dengan pembawaan saya. Tetap menyikapinya dengan hati yang berharap kita semua bisa saling memahami. Sampai kapanpun kita, pernah bertemu dan saling berbagi tentang gagasan.

HARI BERGANTI MINGGU, KEMUDIAN MENJADI BULAN. Pertemuan kita sudah beberapa kali tidak berjalan. Entah apa yang terjadi. Tapi sebelum itu, Tya pernah berkata “eskul kita mau dibekukan kak” wajah cemas. Mungkin karena kejadian itu, kita jadi pupus. Saya pernah bilang tentang solusinya. “tolong dibicarakan dengan terbuka bersama Bu Rossa”. Setelah itu saya pun tidak tahu kabar jalannya tindak lanjut tersebut.

Kini eskul jurnalisme benar-benar tidak ada. Karena mereka kehilangan generasi penerus. Tidak ada yang berminat mendalaminya. Ditambah dukungan yang minim dari pihak sekolah. Lengkap sudah alasan untuk tutup buku. Tinggal kenangan yang bisa membuatnya ada kembali. Dalam angan, dalam ilusi.

Tapi setidaknya saya berharap, dari yang pernah mengikuti eskul jurnallisme bisa terus menulis tanpa henti. Menyalurkan pikiran mereka dengan menulis. Menjadi contoh bagi siswa lain. Membuat bangga guru di sekolah. Harapan itu tentunya berujung pada hidup kembali eskul jurnalisme sebagai pilar berjalannya kreativitas serta aspirasi siswa.

Saya pun sebenarnya dalam posisi serba salah, karena status mengajar belum jelas. Tidak pernah mendapat surat tugas. Apalagi berbincang tentang progress eskul jurnalisme dengan pihak sekolah. Oleh karenanya saya tidak ingin banyak bersuara soal masalah ini. Semoga menjadi keputusan yang tidak berat dihadapan dua pilah.

Sehingga bila suatu waktu eskul ini tidak berjalan lagi. Tidak ada pihak yang dititikberatkan sebagai objek. Harapannya begitu. Kemudian yang terpenting adalah semua bisa mencari titik terang yang objektif untuk mencari jalan keluar dari semuanya. Untuk kesinambungan.

TYA BEBERAPA KALI BERSUA DENGAN SAYALEWAT PESAN SINGKAT. Namun tidak untuk membicarakan eskul kami, jurnalistik. Komunikasi kami bersifat pribadi. Tentang pertemanan, persaudaraan, permasalahan, dan solusinya. Dari situlah kami menjadi akrab.

Dari situ kemudian saya mengajaknya untuk terus membaca dan menulis. Sedikit demi sedikit minatnya mulai tumbuh. Harapan saya semoga dua aktivitas itu bisa menjadi gaya hidupnya, dijalani dengan kesadaran penuh. Karena kebutuhannya akan ilmu dan informasi.

Meski kita jarang bertemu, tapi saya harap kita tidak putus komunikasi. Meski sekedar tegur sapa belaka. Esensinya adalah menyambung silaturahmi. Demi suatu persaudaraan. Lanjutannya adalah meneruskan etikad kita untuk tetap menulis selamanya.

Jika saya ingin bercurah hati, ingin rasanya berpesan:

Adik, tetaplah menulis. untuk dirimu.
Karena hanya dengan itu kita ada.
Kita diakui. Dan kemudian dikenal orang.

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Meski tintamu habis.
Biarkan tetes air matamu
menjadi penggantinya.

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Agar kita bisa bertemu di masa datang
Berbincang tentang gagasan
Yang kita buat lewat tulisan

Adik, tetaplah menulis. Untuk dirimu.
Niscaya dunia ini milikmu
Dan orang lain ada dipundakmu
Agar kamu merasa dibutuhkan
Dan selalu menulis untuk dunia


Semoga semua adalah takdir yang baik. Dibalik upaya kita merajut asa untuk hari depan. Bahwa tidak ada sesuatupun yang luput dari suratan upaya kita jika ada kemauan. Semoga tulisan ini berbuah kemauan untuk menulis kembali…

0 komentar:

Posting Komentar