Senin, 22 Agustus 2011

Redefinisi Kuliah

Belajar di perguruan tinggi (PT) merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang meyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut. Namun, realitas yang dihadapi oleh stakeholder pendidikan tinggi dalam banyak hal jauh dari harapan. Perilaku mahasiswa dan dosen dalam belajar-mengajar belum menunjukkan atribut yang seharusnya melekat pada individual yang mendapat sebutan sebagai akademisi. Salah satu faktor yang menciptakan kondisi seperti ini adalah kesenjangan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan, dosen, dan mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan tinggi. Akhirnya, mengakibatkan proses pembelajaran tersebut kurang menyentuh esensi keilmuan sebagai suatu hal yang harus diarahkan pada karya mahasiwa-dosen yang bermanfaat bagi masyarakat.

Di sisi lain, belajar merupakan hak dan kewajiban setiap insan. Akan tetapi, kegiatan belajar di PT dapat dikatakan privilege, karena mereka punya tanggung jawab sosial lebih di tengah masyarakat. Privilege yang melekat tidak hanya terletak pada sarana fisik, status kemahasiswaan, dan sumber daya manusia yang disediakan. Dengan pengakuan tersebut, harapannya bahwa seseorang akademisi yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan perilaku akademis yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan, mengarahkan mereka pada kebijaksanaan bersikap dan berfikir. Selain itu, perguruan tinggi sebagai pusat keilmuan dapat berperan maksimal dalam pembangunan bangsa.

Idealnya, karena seseorang mendapat privilege belajar di PT, seseorang dituntut untuk berbuat lebih dari sekedar kuliah. Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir/nalar serta sikap mental, kepribadian, dan kearifan tertentu, sehingga menurut Mochtar Buchori, mahasiswa memiliki pengetahuan luas, kecerdikan, tilikan, dan kemampuan mencerna pengalaman hidup. Selain itu, kemampuan penalaran (reasoning) juga merupakan bagian penting dari bekal tersebut guna mendukung terciptanya pribadi yang mempunyai integritas, dan merespon setiap permasalahan lingkungan masyarakat dengan kepedulian.

Dari privilege tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka yang berstatus mahasiswa sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang belajar tidak melalui lembaga pendidikan formal, kecuali pada status pemegang kartu tanda mahasiswa. Kemudian, berbicara pada proses dan hasil pembelajaran di PT yang belum secara signifikan mencerminkan kualitas penalaran, penelitian, dan pemahaman mahasiswa tercermin dari perkuliahan di ruang kelas, forum diskusi, dan kompetisi mahasiswa. Jika demikian, bisa jadi pada saat mahasiswa lulus dari PT hanya bertambah atribut, tanpa nilai tambah sosial di tengah kemasyarakatan.

Tujuan Belajar

Terdapat dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi. Pertama, tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar. Kedua, tujuan individual dari mahasiswa tersebut. Proses belajar mengajar mestinya harus mampu meyelaraskan tujuan indivisual dan tujuan lembaga pendidikan, disamping itu keduanya harus diselaraskan dalam mengemban misi pendidikan nasional. Jangan sampai kesenjangan antra kedua tujuan tersebut membentuk stigma yang tidak seimbang, akhirnya mahasiswa-dosen berfikir amat pragmatis, bahwa belajar utnuk sebuah legalitas saja.

Kemudian, gejala yang sering dirasakan bahwa belajar di PT cenderung mengarah pada kebutuhan sosial yang pragmatis, dalam arti kata merasa berbeda status ditengah strata sosial masyarakat, dari pada berfikir kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar. Kebutuhan sosial ini biasanya datang dari keluarga yang menjadikan tujuan pendidikan PT tidak lebih dari meraih gelar sarjana, tanpa dilandasi dengan kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar, akhirnya belajar di PT dianggap mahasiswa sebagai beban, siksaan, percobaan atau penderitaan (ordeal). Bukan dianggap sebagai kebutuhan untuk pengembangan dan pematangan sikap.

Kesalahan persepsi ini akan menghasilkan suatu sikap dan semangat belajar yang pragmatis, hanya berorientasi pada nilai dan atribut legalitas. Senang bila dosen tidak ada, tapi tidak berfikir untuk mencari alternatif lain dengan membaca buku di perpustakaan. Bangga dapat nilai tinggi, walaupun hasil nyotek. Menjiplak tugas teman atau buku tanpa tahu isi dan dibaca terlebih dahulu. Hal-hal seperti ini adalah gejala yang kurang sehat dalam iklim akademis akibat dari dangkalnya orinentasi belajar. Untuk itu perlu adanya pembenahan tujuan belajar dengan meluruskan kembali orientasi tersebut menjadi kesadaran berfikir, bahwa tujuan belajar bukan hanya mengedepankan aspek individu.

Redefinisi Kuliah

Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan nonformal. Namun, hal yang perlu dicatat adalah bahwa kuliah bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan satu-satunya kegiatan belajar. Arti kuliah umumnya diperoleh mahasiswa bukan karena kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya, tetapi karena pengalamannya dalam mengikuti kuliah, ironisnya pengalaman tersebut terlanjur membentuk paradigma yang salah tentang kuliah itu sendiri. Kesan yang keliru akan mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan antara lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang efektif menjadi terhambat.

Perlu dipahami pula bahwa pola belajar di PT dapat dikatakan lebih mandiri, dengan kata lain mahasiswa dituntut untuk mengetahui lebih banyak dari apa yang disampaikan oleh dosen. Oleh karena itu, pencitraan dosen sebagai satu-satunya media transfer ilmu pengetahuan dalam perkuliahan mesti diubah. Kemudian didefinisiskan kembali, bahwa kuliah merupakan ajang konfirmasi pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai hal yang harus ditelaah lebih dalam dan dikorelasikan kembali dengan aplikasi nyata kehidupan sebenarnya. Dengan begitu penulis yakin fenomena “we learn anything about nothing” pada mahasiswa yang datang kuliah kemudian duduk, dengan, catat, lalu pulang dengan pikiran kosong akan berakhir.

Hal lain yang harus dikritisi adalah paradigma nilai perkuliahan yang seolah mencerminkan cerahnya masa depan, karena katanya akan mudah mencari kerja. Dengan begitu mahasiswa pun rela melakukan apa saja demi nilai bagus, meskipun harus nyontek. Padahal, yang harus menjadi orientasi dalam proses perkuliahan adalah kompetensi. Di sisi lain, paradigma nilai yang disalahartikan juga telah menyalahi fungsi seharusnya yaitu mengukur keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari bidang ilmu tersebut dan sekaligus sebagai alat evaluasi. Seharusnya, nilai bukanlah suatu tujuan tetapi lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari apa yang dilakukannya selama mengikuti proses belajar.

Dengan kondisi budaya belajar yang menyimpang dari tujuan, tugas PT adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut. Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan citra baru melalui pembelajaran alternatif dengan kesadaran berproses untuk belajar. Tidak sepantasnya PT mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. PT mesti mengahasilkan generasi penerus yang dapat mengubah masyarakat yang keliru untuk lebih baik. Menurut Hall dan Cannon (1975), fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja, tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian yang integral.

0 komentar:

Posting Komentar