Rabu, 24 Agustus 2011

Sate Afrika, Bukan Sate Biasa


Suatu minggu saya berkesempatan mencicip hidangan ala Afrika yang kesohor itu. Letaknya di tepi Jalan KS Tubun. Tepat disamping Mesuem Tekstil Jakarta. Mencari alamat resto ini agak sulit, karena letaknya tidak persis di samping jalan. Masuk kedalam kompleks pertokoan.

Awalnya saya hanya terbawa rasa penasaran. Kemudian coba mengajukan pertanyaan. Apa beda Sate Afirika dengan Sate Madura ? Dari situ kemudian saya berniat sesekali waktu pergi untuk merasakan seberapa nikmat hidangan khas Afika itu.

Sate Afrika boleh jadi merupakan satu-satunya tempat makan khas Afrika di Ibukota Jakarta. Perintis usahanya adalah Haji Ismail, pria asal Mali, sebuah negara bekas koloni Perancis di sub-Sahara, Afrika Barat. Ia Merintis usaha tersebut semenjak tahun 1999.

Ia masuk Indonesia tahun 1997. Siapa sangka pria yang sukses dengan Sate Afrika ini adalah seorang yang awalnya berdagang sandal jepit selama satu tahun. Kemudian ia berpikir untuk berbisnis kuliner karena belum ada orang Afrika yang dagang makanan.


Semula, pengujungnya kebanyakan orang Afrika, sekarang orang Indonesia lebih banyak. karena banyak yang merasakan cocok dengan rasa Sate Afrika. 

Warung itu sesungguhnya tanpa nama. Sate Afrika merupakan nama yang tersebar di antara pelanggan, kemudian terlanjur terkenal. Meski disebut sate, jangan bayangkan masakan Ismail itu seperti sate dalam arti yang umum.

Sate atau satai dalam leksikon kuliner Indonesia adalah irisan daging kecil-kecil yang ditusuk dan dipanggang, diberi bumbu kacang atau kecap. Sate Ismail Coulubally tidak ditusuk, tidak diberi bumbu kacang atau kecap.



Domba yang dipakai adalah domba betina, berusia satu sampai dua tahun dengan berat badan maksimal 20 kilogram. Domba-domba itu dipesan dari Cipanas, Jawa Barat. Ismail memesan dua sampai tiga ekor domba setiap hari.

Bumbu Sederhana

Dalam mengolah masakannya, Ismail tidak menggunakan banyak bumbu. Meski begitu satenya terasa empuk, garing, dan gurih. Rasa dagingnya menonjol. Menurut salah seorang karyawan tempat itu, bumbunya hanya penyedap rasa dan garam.

Ismail juga menyediakan sambel lampung yang dicampur dengan mustard. Orang bisa mencocol potongan daging dalam sambal yang dicampur mustard tersebut. Namun tanpa dicocol sambal pun rasa satenya sudah makyus.

Proses pengolahannya tergolong sederhana "Pertama, daging dipotong-potong dalam ukuran besar, lalu dibakar di atas bara sampai hampir matang," kata Ismail.

Selanjutnya, daging diungkep dalam panci. "Tidak pakai air atau minyak. Nanti minyak dagingnya keluar sendiri. Itu sekitar 20 menit. Minyak itu dibuang. Jadi kolesterolnya mati (tidak ada). Makanya, makan makanan saya tidak akan kolesterol atau darah tinggi karena minyaknya sudah dibuang. Ketika memotong daging, lemak-lemaknya juga kami buang," katanya.

Setelah diungkep, daging dipotong-potong kecil kemudian dibakar sampai matang. Selama proses itu, lemaknya terus keluar. Potongan daging lalu dimasukkan ke dalam panci kecil, ditaburi garam halus, penyedap rasa serta irisan bawang bombay mentah. Panci digoyang-goyang agar garam dan penyedap rasa tersebar merata. Kemudian daging dibungkus pakai aluminium foil dan ditaruh di atas tungku pembakaran yang masih panas. Kalau ada pelanggan, bungkusan tinggal dibuka, daging disuguhkan.

Pilihan menu ada dua macam, sate daging atau jeroan. Sate daging seporsi harganya Rp 35.000 sementara jeroan Rp 30.000.


 

0 komentar:

Posting Komentar