Penulis : Lembaga Kajian Mahasiswa
Penerbit : Pustaka Kaji
Catakan : I, Maret 2014
Tebal : xxii + 220 Halaman
ISBN : 978-602-99700-4-3
Mungkin
banyak orang yang bertanya apa itu landmark? Sebenarnya istilah ini seringkali
muncul pada disiplin ilmu arsitektur. Dalam buku karangan Kevin Lynch berjudul
The Image of The City—sebuah buku yang mengulas habis bidang arsitetur dan
planologi—landmark berarti sebuah tempat, monumen, taman, ataupun patung yang
merefleksikan sejarah dari kota di mana ia dibangun.
Sejarah
suatu kota tidak bisa dilepaskan dari citra yang ditampilkan oleh kota itu
sendiri. Prosesnya berjalan sampai pada persepsi masyarakat atas citra kota. Maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa kota pada dasarnya adalah relasi antara citra
yang ditampakkan melalui landmark dan relasi sosial dari masyarakat di
dalamnya. Sehingga menjadi sinergi timbal balik.
Lalu apa
fungsi landmark? Sehingga ia menjadi penting? Sebenarnya yang penting bagi
landmark bagi sebuah kota adalah makna yang ditangkap oleh penghuninya. Bila kota
sudah tidak lagi memiliki makna bagi penghuninya, maka semua apa yang terjadi di
atas sebuah kota tidak lagi manusiawi. Seperti kota yang penuh sampah,
kemacetan dimana-mana, banjir yang tidak juga surut, serta kaum marjinal yang
terlantar.
Kehidupan
kota pada abad modern merubah sisi humanis menjadi mekanis. Semua geraknya
dibangun atas prinsip ekonomi. Kesibukan yang padat membuat orang tidak memiliki
waktu untuk bersosialisasi, walaupun sebatas menyapa tetangga. Manusia diperlakukan
seperti mesin yang siang dan malamnya diisi dengan kerja.
Kebanyakan kaum urban kota
kehilangan makna tentang hidup. Tidak mengerti tentang arti sebuah tujuan
hidup. Apalagi memikirkan kota sebagai tempa tinggal. Maka sisi humanis antara
manusia dan kota semakin terkikis. Masalah yang muncul adalah masyarakat membutuhkan
sebuah media dalam rangka menjalani kodratnya untuk bersosialisasi dan
memikirkan kehidupan. Dengan cara itu, kreativitas akan muncul, dan secara
alamiah kehidupan menjadi bermakna.
Landmark
di banyak kota dijadikan tempat berkumpul untuk melakukan sebuah aktivitas. Di dalamnya
orang melakukan relasi sosial. Jadi dalam konteks biner manusia dan kota,
landmark berdiri sebagai ruang publik yang menyediakan banyak fasilitas untuk mengembalikan
manusia pada kodratnya. Kehidupan menjadi indah.
Makna membuat
orang menghayati sesuatu dengan tulus. Makna juga bisa membuat orang merasa
memiliki. Maka masyarakat Jakarta yang dapat menghayati denyut kehidupan di
dalamnya akan bisa menjaga kota ini tetap humanis. Yakni menjadikan hidup di
kota seperti Jakarta berada dalam suasana yang terbuka dan partisipatif.
Buku karya
mahasiswa LKM UNJ ini merupakan hasi studi lapangan—yang dituliskan dengan gaya
feature—tentang bagaimana relasi masyarakat dalam landmark. Bagaimana masyarakat
memaknai kotanya sendiri. Di dalamnya adalah sebuah kisah tentang keberadaan Jakarta
dan sejarahnya. Sementara landmark adalah sebuah medium sejarah yang diabadikan
dalam sebuah ingatan masyarakat.
Prosesnya
tentu tidak mudah, berbagai cara mereka lakukan dengan tujuan untuk mendapakan
potret relasi masyarakat yang ada di setiap landmark. Terkadang harus pulang
larut malam dan datang teramat pagi untuk mengetahui detil kondisi kehidupan di
landmark Jakarta. Hal itu penting untuk dapat membuat feature yang baik.
Meski tidak
dapat mencakup keseluruhan landmark yang ada di Jakarta, buku ini cukup bisa
mewakili keberadaan landmark terpenting tentang sejarah kota Jakarta. Landmark yang
dibahas antara lain Monas, Taman
Suropati, Senayan, Bunderan HI, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki,
Tugu Tani, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Sunda Kelapa, Patung Sudirman, Tugu Pancoran,
Taman Proklamasi, Rumah Pitung, Stasiun Kota, Museum Sumpah Pemuda, Halim Perdana
Kusuma.
Perlu diapresiasi ikhtiar para mahasiswa LKM UNJ dalam
mengupas landmark di Jakarta serta relasi sosialnya di ruang publik. Terlepas dari
kekurangan yang terjadi, buku ini adalah sebuah gambaran tentang sekelompok
mahasiswa yang bekerja keras untuk memaknai proses belajar sebagai suatu upaya
mencari pengalaman di luar kelas—yang biasanya jadi tempat mereka duduk dengan
manis dan menanti nilai IPK turun tiap semester.
Semoga muncul karya-karya selanjutnya dan tidak
akan bernah bisa dihentikan oleh berbagai rintangan apapun. Karena sejatinya
manusia akademik akan terus melahirkan pemikiran yang tidak mesti besar, tetapi
berkesinambungan dan mencerahkan.
0 komentar:
Posting Komentar