Kamis, 20 September 2007

Ramadhan dan Fenomena Kamuflase Agama

Bulan Ramadhan,  penuh berkah yang menjadi ajang kontemplasi spiritual muslim untuk mencapai tingkat puasa sesungguhnya, dengan tujuan akhir menggapai “Title” Taqwa tanpa pelantikan nyata, namun bersenyawa lewat aksi kesadaran religius melalui ibadah secara berkelanjutan (Istiqamah). 


Berbagai nuansa tayangan televisi mulai menggejala di tengah keberkahan bulan penuh hikmat keridhoan. Dengan berbagai tayangan yang seolah menjadi representasi ritual keagamaan. Mulai dari sahur, berbuka, bahkan sampai sahur kembali, acara televisi diformat sedemikian rupa dengan aneka ceramah keagamaan dan sinetron agama. Bahkan, iklan pun dibungkus nilai-nilai ketuhanan. Tidak hanya itu, acara lawak pun disusupi muatan religi, meski sesekali agama dijadikan bahan tertawan.  

Semua tayangan televisi dalam titik ini seakan di "sembah" pemirsa, Bahkan mengalahkan berbagai pengajian yang diadakan di pesantren, masjid, dan mushala. Televisi menjadi "kiblat" manusia untuk menentukan benar-tidaknya ajaran agama yang diyakini. Dengan demikian, agama tidak lagi populer untuk dikaji di berbagai pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga lain. Agama dikaji dan dijalankan berdasarkan apa yang dikatakan televisi. Kebenaran agama tidak lagi melalui dialog dan perenungan spiritual yang dalam, namun kebenaran "mandek" dan terparadigma dengan sendirinya oleh rutinitas acara televisi.

Berbicara agama (Islam), maka yang harus kita pahami adalah mempustakakan segala hal pada Al Quran dan Sunnah. Namun, bila fenomena ini terus berlanjut akan berakibat pada terbentuknya atmosfer kamuflase ritual agama dalam konteks peracunan muatan-muatan murni religius Ilahiah. Karena, mereka yang memposisikan diri menjadi orang shaleh pada sinetron agama bukan melandaskan segala amal pada iman, tapi lebih kepada tuntutan skenario, bahkan keuntungan materil.

Kamuflase keagamaan di televisi mampu mengalahkan ritualitas-praktis yang selama ini dijalankan, sebagian acara menarik (sinetron agama) ditayangkan bersamaan dengan waktu salat wajib dan tarawih, tadarus pun dilalaikan. Gosip masih menjadi tontonan asyik para pegiat selebritis. Setidaknya pada bulan suci ini kita kurangi hal-hal yang berbau Ghibah apalagi bila menjerumus kepada fitnah. Mustahil keberkahan Ramadhan dapat kita raih dengan menonton acara televisi, bila acara yang kita tonton jauh dari nilai-nilai hakikat keagamaan.

Mengakar (Sebab) Kamuflase

Untuk menjelajahi fenomena tersebut lebih dalam, mencari sebab timbulnya budaya agama yang dikamuflasekan kedalam berbagai interpretasi, maka yang dibutuhkan adalah sejauh mana kita berintrosfeksi. Terkadang untuk hal yang begitu dekat dengan diri saja masih sering lalai untuk dibenahi, apalagi mentransformasikan apa yang telah kita peroleh untuk kesalehan umat.  

Dalam perspektif penulis, setidaknya ada beberapa hal yang membuat kita begitu konsisten dalam kamuflase ritual ini. Pertama, dangkalnya pemahaman atas ajaran agama. Ibadah puasa yang dijalankan masyarakat selama ini ternyata terjebak dalam pragmatisme berupa fiqih oriented. Asal berpuasa dengan tidak makan dan minum, maka puasanya sah. Orang yang terjebak fiqih oriented akan memahami puasa secara dangkal. Sehingga, pemanfaatan bulan ramadhan sebagai bulan pelipatgandaan amal sebagai motivasi dalam beribadah mulai luntur. Pencapaian target ilahiyah melalui predikat taqwa pun tidak tercapai. Tidak ada yang patut kita tuduh, tetapi hati yang teduh menjadi bening ditengah keruhnya situasi.  

Kedua, kemenangan budaya pasar. Dalam hal ini yang dimaksud budaya pasar merujuk pada budaya masyarakat yang penuh tipu daya (kamuflase) dan selalu mementingkan materi. Akhirnya berdampak pada perihal sehari-hari lewat tontonan televisi, dan tindakan semu esnsi keagamaan, begitu tertipu oleh simbol maya keduniaan. Lain halnya dengan budaya agamis yang identik dengan kejujuran dan jauh dari aspek hedonisme, identik dengan sufisme. Dalam konteks sekarang, budaya pasar telah mengalahkan budaya masjid. Berbagai tayangan televisi yang merupakan elemen budaya pasar kini telah mengalahkan "tayangan" yang didesain pengurus masjid.

Merujuk Hakikat Iman


Berujung pada perbaikan dengan landasan iman, layaknya kesunyian begitu tenang bila dipandang sebagai perihal nyata ditengah semu simbolik religius. Kebanyakan orang hanya melihat sesuatu dari fisik, padahal begitu luas penilaian dengan berbagai sudut pandang kebenaran. Kita mengatakan orang shaleh, karena ia memakai baju koko. Tapi sadarkah kita dengan keterbatasan panca indera kita yang jauh dari kebenaran hakiki, hanya Allah yang bisa menilai.

Terbentuknya fenomena ketaatan yang menjerumus pada kamuflase agama tidak lebih diakibatkan oleh in-hirarki terhadap dimensi hakekat keimanan. Dalam buku Al Iman (Muhammad Nu’aim Yasin), hakikat keimanan memberi kita ruh dalam amal, sehingga memurnikan niat dalam ranah ibadah. Pertama, mengikrarkan dengan lisan (Al Iqrarru Bil Lisan) dalam dimensi ini amalan lisan memasuki substansi persaksian sesama makhluk. Menjadi pengingat dikala lupa.

Kedua, membenarkan dengan hati (At Tasduqu Bil Qalbi). Dalam dimensi ini betapa indah kesaksian membaur lewat kuatnya keyakinan. Dalam jasad, hati memegang kendali perasaan, menjadi penerang di kala gelap suram godaan setan. Ketiga, melaksanakan dengan anggota tubuh (Al ’Amalu Bil Jawarih). Sentuhan akhir (Finishing touch) dari hirarki keimanan adalah aksi representasi berupa amalan baik, lepas dari taklid apalagi motif keduniaan.

Dalam renuangan panjang, hidup ini singkat dan terbatas. Akan ada keabadian yang akan kita jalani dalam ruang yang berbeda. Esensi agama adalah ketaatan pada Sang Pencipta, Allah SWT. Cobalah untuk menjadi orang yang amat seimbang dalam arti kata wazan amalan baik antara dunia dan akhirat, sehingga kita menjadi orang bijak. Kita sadari begitu banyak kepentingan merasuki jiwa yang seharusnya tulus terhadap perilaku apapun.

0 komentar:

Posting Komentar