Dosa terbesar kita adalah membuat feature yang dangkal, hingga tidak mencukupi rasa penasaran pembaca.
SAAT SENGGANG, DISELA JEDA MENULIS SKRIPSI. Saya selalu menyempatkan diri untuk melakukan verifikasi tulisan kawan-kawan KREATIS. Semua saya baca detil, mulai dari gaya bahasa, karakter penyajian, plot, ritme, emosi, pembabakan, hingga titik dan koma. Tetapi, ketika saya membaca tulisan yang panjang itu, saya mulang rabun. Kemana arah yang ingin difokuskan, seperti sulit melihat benang merahnya. Hampir saja saya lengah untuk melakukan pertanyaan menusuk pada setiap feature. Apa inti yang ingin dibahas dari isi feature ini ?
Padahal sesuatu yang lebih penting dari penyajian adalah aspek substansi yang jarang sekali dipertanyakan selama ini. Dari seluruh proses KREATIS, semua yang mengeluh perihal kesulitan adalah “Bagaimana menulis dengan karakter alur yang panjang ?”. kemudian “Bagaimana membuat kalimat sastrawi ?”. Bukan terlebih dahulu melakukan cek & ricek terhadap seluruh data yang terkumpul dari reportase di lapangan. Apakah sudah menjawab hipotesis awal ? atau tentang kenyataan di lapangan yang berubah sehingga harus menggeser taksiran awalnya. Menjadi seperti apa ? dan bagaimana menyiasati semua ?
Feature yang saya minta memang harus memiliki alur yang panjang. Mencapai 20.000 karakter. Tapi bukan berarti feature yang panjang membuka peluang semakin lebar untuk kabur dari fokus inti tulisan. Atau barangkali menyajikan hal yang tidak penting. Apalagi penyajiannya bertele-tele dan membosankan. Sungguh saya bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuat feature menjadi sedemikian rupa ? atau hanya sekedar kejar tayang ? asal kumpul, sementara kualitas jadi urutan terkahir.
Seharusnya feature dibahas mendalam. Kental dengan narasi (bukan fiksi). Imajinasi harus didasari dari fakta, tidak mengada-ada, juga bukan karangan. Setiap kalimatnya harus mengandung emosi yang menyentuh. Serta hidup dalam bayangan pembaca. Tolak ukurnya adalah membuka seluas mungkin bagi fakta yang berkaitan dengan satu ide yang menjadi target di setiap paragraf. Fakta itu kemudian dijadikan bahan siap saji untuk melakukan narasi secara detil. Asalkan ada bahan, saya yakin semua dari kita bisa bernarasi dengan mudah.
Hal yang menjadi masalah kemudian adalah ketika kalian kekurangan bahan. Kemungkinan penyebabnya hanya dua. Pertama, kita kurang teliti ketika sedang reportase. Kemungkinan ini biasanya karena kelengahan penulis. Ceroboh. Tidak peka terhadap lingkungan. Kurang jeli melihat bahan untuk ditulis. Kedua, tidak mempersiapkan apa yang mau dicari. Ini adalah penyebab fatal. Karena hakikatnya ketika penulis mengalami ini. Ia tidak sedang benar-benar sadar. Kita harus segera mencubit pipi kanan dan kirinya agar kembali sadar. Biasanya jenis orang begini lebih suka reportase karena inging jalan-jalan ketimbang menggali bahan-bahan.
SAAT SAYA BELAJAR JURNALISME PADA WARTAWAN TEMPO. Pada acara Journalist Day 2011 di Universitas Indonesia, mungkin saya adalah orang paling cerewet bertanya perihal banyak masalah yang dihadapi pada proses reportase. Hal itu saya lakukan untuk memperjelas hal yang selama ini jadi kendala dari pengalaman di KREATIS. Intinya, dari semua pertanyaan dan jawaban mereka saya simpulkan bahwa reportase itu tidak butuh banyak teori. Hanya memerlukan seorang penulis yang sigap menyiasati masalah jadi kesempatan, merubah desakan jadi peluang. Membuat alasan dengan argumen kuat. Sehingga gerak seorang penulis sulit ditepis oleh rintangan apapun.
Perlu orang yang kreatif, dan tidak mudah patah dengan sedikit kesulitan. Disamping itu, proses reportase juga butuh ketekukan dalam mengumpulkan fakta dan data. Jika hal itu tidak dilakukan, pupus. Semisal dari kasus beberapa orang terdahulu yang angkat tangan menjalani proses KREATIS. Pada akhirnya, tidak mendapatkan apa-apa. Selain lelah. Padahal jika setiap prosesnya kita jalani dengan keinginan untuk belajar. Maka kita akan membentuk karakter diri kita sendiri sebagai pribadi tahan banting. Ini penting, karena saripati hidup adalah bagaimana kita menyiasati masalah sebagai jalan keluar dari satu fase ke fase berikutnya. Sebagai wujud dari self reflection bahwa kita masih mempunyai ketahanan.
Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa reportase menjadi penting ? jika kita membaca feature, lantas isinya kurang padat (istilah isinya kurang padat itu bermakna tidak mendalam). Atau kurang fakta dan data. Apa yang salah ? proses menulis atau proses reportasenya ? jika diulur dari proses awal hingga sekarang, maka dapat kita jawab, ada yang kurang dari proses reportasenya. Dengan alasan itu pembenahan harus kita mulai juga dari proses reportase. Agar tidak salah untuk yang kedua kali, harus ada perumusan strategi yang matang. Reportase menjadi koreksi paling utama.
Dalam reportase, seseorang dituntut untuk menggunakan seluruh kemampuan. Kognitif untuk berpikir substansi materi, isi pembicaraan nara sumber, menyiapkan bahan awal, dan harus banyak membaca. Emosi sebagai pembawaan jiwa, saat reportase biasanya orang harus lebih mempertimbangkan aspek ini. Bagaimana ia membawa setiap delik perbincangan menjadi cair. Seorang juga harus mendalami ilmu kejiwaan. Terkesan enteng, tapi jika dipraktekkan akan sedikit sulit. Dan sekali lagi jangan memulai pembicaraan jika lawan bicara kita belum nyaman dan percaya pada diri kita. Ada baiknya anda memperkenalkan diri dan maksud. Itu akan membuat lawan bicara kita nyaman.
Jenis liputan kita adalah in- deep reporting yaitu liputan yang mendalam, jadi prosesnya harus dapat menjadi luaran yang menjelaskan segala aspek tentang fokus dan angle. Jenis pertanyaan yang dipakai untuk analisis biasanya adalah pertanyaan terbuka “bagaimana” dan “mengapa”, sehingga ketika tulisan itu dibaca dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca. Sebagai tolak ukur, seberapa jauh kita membahas suatu topik ? adalah dengan melakukan pembedahan atau verifikasi pada data dan fakta. Jika dinilai tidak cukup berarti harus dicari kelemahannya. Kembali mengulur proses.
SAYA BERBICARA DENGAN ANDREAS HARSONO PERIHAL JURNALISME RISET, dia kemudian menjelaskan sebenarnya itu sudah satu paket dengan rangkaian proses jika jurnalisme saat ini jika seorang wartawan membahas suatu topik secara mendalam. Sayangnya praktek jurnalisme itu sendiri saat ini masih terkesan dangkal dalam menjabarkan suatu topik. Lebih bersifat mengejar rasa penasaran, namun tidak menjawab rasa penasaran itu sendiri. untuk mempersiapkan suatu naskah siap disajikan menjadi tulisan feature harus memiliki standar tertentu. Maka kata kunci itu yang kemudian harus kita bahas kali ini. Pendalaman liputan.
Sementara untuk penulisan feature, saya bisa memperhatikan 3 hal fundamental yaitu: focus, angle, dan outline. Fokus adalah titik perhatian dari naskah itu. Ia berupa sebuah pertanyaan, lagi-lagi tidak meleset dari unsur-unsur 5 W 1H. Jika dimasukkan dalam kasus contohnya “apa yang terjadi di sungai pasanggrahan di tahun 2009 ?”. dalam pertanyaan itu yang menjadi fokus adalah sungai pasanggrahan. Dalam liputan kalian, yang menjadi fokus adalah landmark kota Jakarta. Fokus juga bisa dikatakan spesifikasi, karena dalam sifatnya sudah terdapat pengarahan ke satu sisi menuju angle.
Angle adalah titik masuk. Anda harus mencari sesuatu yang segar, yang belum dikerjakan orang lain, untuk masuk dalam feature penting memperhatikan angle karena pembeda akan menjadi ciri khas. Budaya di redaksi TEMPO selalu membuat istilah “ekslusif” dalam mengambil angle, yang menjadi perhatian adalah menjadi yang pertama sebelum media lain membahas. Kalau perlu menjadi pelopor untuk menggerakkan perhatian masyarakat serta petinggi negeri untuk melakukan perubahan fundamental.
Outline adalah kerangka karangan. Dibuat setahap demi setahap ketika kita melakukan lilputan, ataupun setelah data dan fakta terkumpul. Dalam dunia jurnalisme, ada adagium “jika ingin selamat buatlah outline”. Artinya, sebelum menulis, aspek yang tidak boleh tertinggal adalah outline. Adapun nanti terjadi perubahan, segera menginduk pada dasar outline. Lihat kembali, periksa dengan seksama, koreksi dengan teliti. Dengan begitu, semua proses akan anda jalani dengan sehat. Hasilnya pun maksimal.
Alinea awal suatu feature juga tidak sepadat penulisan esai dan berita. Piramida terbalik. Alinea pembuka feature selalu diawali dengan hal yang sangat sederhana. Bisa suatu peristiwa, bisa tanggal dan hari, bisa juga tempat, bisa saat acara, bisa kelakuan seseorang, atau bisa juga menyengat seperti konflik. Feature kuat di narasi, jika anda tidak terbiasa menulis narasi kemudian menulis feature, anda akan mengalami kesulitan. Maka banyaklah membaca sastra cerpen dan novel, ini akan sangat membantu.
Resep yang saya dapat dari Andreas Harsono dalam membuat narasi dengan naskah panjang adalah menggunakan 5W 1H, pengembangan akan menjadi pedoman sebagai berikut “who” berubah jadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” berubah menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motif, dan “how” menjadi narasi. Dengan rumusan itu, cobalah memperbaiki liputan anda kembali. Jika tidak mengandung unsur itu, sadarlah bahwa anda telah kesasar.