Rabu, 23 Mei 2012

A Separation, The Movie of Injustice



Winner of the Golden Bear in Berlin earlier this year, A Separation, indicates that incident is in a family taboo. Divorce that should not happen is in a family, instead it becomes a problem for children - less affection. Eventually children live in agony.
This movie tells the story in Iranian family. The wife Simin (Leila Hatami) wants to leave the country with the couple's 11-year-old daughter. The husband Nader (Peyman Moadi) will not grant her the divorce or permission she needs, nor will the judge, who considers their case to be petty. 
Privately, they later agree to separate, their daughter Termeh remaining with the husband in their pleasant apartment in what we assume is an enlightened, middle-class quarter of Tehran. Because the husband's father has Alzheimer's, the family hire a carer called Razieh (Sareh Bayat), a woman they scarcely know, from a poorer part of the city, and who, we later discover, is pregnant.
When an argument over the level of care seems to cause Razieh to miscarry, all parties become suffocated in a legal case. The film develops into a complex moral dilemma that pitches religion against economics, one that brilliantly, and with creeping tension, encapsulates the tussles and fissures in Iranian society.
In this movie, injustice is apparent, where the right is wrong, and wrong is right. However, the question which the sppectators ask is the fate of Termeh, it is unclear until the end of movie. 
In Iran, although this movie invites the pros and cons - rejection movement, A separation remains a good movie serving as a social mirror. In this movie, the value that we could learn is no legal justice for all levels of society.
continue reading A Separation, The Movie of Injustice

Senin, 23 April 2012

The Pickled Cucumber Noodle


In the different  places, tasting food sometimes gives us an exciting sensation. Every regions have typical dish and unique flavour from its culture.

It was a day when I spent my time by eating chiken noodle in Pare. It wasn't same as the  noodle from Jakarta. The texture of noodle was bigger and sweeter than other noodle that I ever ate. The most contrasting from the others was the pickled cucumbers in a bowl - the things that I never seen before.

a portion of chicken noodle in pare is big. It is suitable for the starving people. if you aren't enough by one portion, you will order two portions.

Price of noodle in pare is cheaper than other noodle in Jakarta. You can bought a portion for Rp4000. It is affordable price for student in Pare. And we can make saving from our pocket money. The noodle vendors usually sell in Brawijaya Street. It is near from Pare Hometown.
continue reading The Pickled Cucumber Noodle

Rabu, 11 April 2012

Morning Dew in Pare

It was dissimilar morning in a small village, Pare - the part of Kediri. In the sunny sunday, the kids ran around cheerfully, the mothers went to the traditional market with their handbag, and the vehicles - pedicabs, bicycles, and public transportation - passed back and forth on the Brawijata street. They loaded the street which was not dry yet from its dew that wetted the asphalt last night.

While the sun rises, I went too far in the rush. The sensations was different then Jakarta, my hometown. Although both of them were crowded in the weekend, in Pare, I felt extremely lush. It gave me a big impession and tranquility situation.

This was the only one of my holidays that I had whole the weeks when I studied in Pare. The day when I spent and wasted the times by refreshing - taking excersise, walking around village, and tasting traditional food. Those activities was taken with my friends. The day was meanigful for me who did not settle down in Pare.


One of the symbols in the downtown of Pare - it is Adipura award
when Pare was the one of the cleanest village

Statue of the heroes in the crossroad of Pare

It is me, when was taking a rest after finishing excersise

Traditional market in Tulungrejo, Pare

Real condition in the street traditional market in Tulungrejo, Pare

Tasting traditional food, pecel rice,
with my friends - Maftuhah, Rayyan, Adip, and Arif.


continue reading Morning Dew in Pare

Jumat, 16 Maret 2012

Dibalik Pikiran, Tersimpan Tulisan



 

HISTORY WAS BEGUN WHEN WRITING WAS FOUND. Dahulu sebelum manusia menemukan bentuk tulisan pada peradaban tertua di dunia seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain, ternyata ide lebih dulu lahir untuk mempertahankan hidup dan menciptakan sejarahnya. 


Mereka melakukan survivalitas dalam bentuk nyata−menuangkan ide dan gagasan dalam lingkup taktis, yaitu perilaku sehari-hari dalam bertahan dari masalah. Hal itu berubah menjadi dokumentasi lantaran mereka ingin membangun wacana dari generasi ke generasi.


Transformasi aksara dalam abjad diberbagai bentuk apapun diawali dari pertalian antara ide dan imajinasi, bagaimana manusia memadukan rasio, kronologis, dan mitos. Mereka berpikir merumuskan gagasan yang disesuaikan dengan konteksnya.


Hal itu dapat dilihat dari rekam jejak sejarah awal ditemukannya tulisan. Kebudayaan menulis bisa ditemukan di daerah Mesopotamia dengan menggunakan bentuk-bentuk segitiga yang terbuat dari tanah liat (milenium ke-4 sebelum masehi), Turkmenistan dengan ditemukannya potongan batu yang digunakan sebagai stempel (4.000 tahun lalu).


Cina dengan media tulang dan tempurung kura-kura (pada masa Dinasti Shang, 1500 tahun SM), Mesir dengan hieroglipnya yang terkenal (3200 tahun SM), dan Lembah Hindustan dengan adanya penemuan 10 skrip di dekat Gerbang Dholavira sebelah utara (5000 tahun SM). Begitu pula ditemukan kebudayaan menulis pada bangsa Phoenicia melalui skrip Proto-Caananite (abad ke-11 SM) dan skrip Tifinagh yang terkenal dengan bahasa Berber.


Sedangkan di daerah Mesoamerica, ditemukan potongan-potongan batu di Veracruz, Meksiko (3000 tahun lalu) dan skrip Zapotec (500 tahun SM). Skrip yang terkenal adalah dari kebudayaan Maya yang menggunakan simbol Syllabic yang mendekati tulisan Jepang (abad ke-3 SM).


Hampir semua fakta penemuan itu berbentuk gambar, bentuk, dan simbol. Kekuatan ide dan imajinasi mendominasi elemen makna yang merupakan tujuan akhir dari bentukan peradaban. Artinya bahwa ruh dari tulisan adalah ide dan gagasan, imajinasi adalah ruang tempat olah pengalaman, kemudian medianya adalah tulisan.


KARENA DASARNYA ADALAH IDE, perlu sekali kita ulur darimana ia berasal. Pada dasarnya ide adalah olah pikiran manusia. Dalam bentuk yang lebih applicable sebenarnya ide adalah solusi, gagasan, dan bisa saja kreativitas yang bermuara pada inovasi. 


Tulisan dan ide merupakan saudara kembar, dikandung bersamaan, lahir dalam satu momentum waktu. Oleh karenanya sulit sekali memisahkan kedua hal itu dalam proses menghasilkan karya yang baik.


Albert Camus dalam novelnya yang berjudul The Plague mengatakan “Man is an idea…” , bahwa manusia adalah ide itu sendiri. Identitas manusia dilekatkan pada ide, karena sejatinya tugas utama adalah berpikir.


Bahan bakar ide adalah informasi, pengalaman, dan pikiran kritis. Perlu diketahui bahwa penjelasan panjang tentang ide sebenarnya hanya berkutat pada lingkup cara manusia berikir –ilmu tentang otak manusia, cara belajar, dan ingatan− serta adaptasi dengan perubahan.  Tentu hal ini mengindikasikan bahwa ide adalah rekonsiliasi yang kontinu.


Orang dengan kemanpuan menghasilkan ide yang cemerlang adalah orang yang melakukan proses itu secara simultan, serta berjiwa kritis, dan senantiasa ingin tahu. Adaptasi tersebut akan membuat satu paduan yang mengarah pada hasil pikiran.


Napoleon Bonaparte mengaitkan ide dengan revolusi, ia mengataka  bahwa “A revolution is an idea which has found its bayonets” . Saya bisa mengatakan bahwa senjata revolusi−dalam bahasa saya adalah perubahan−tidak lain ialah ide.


Itulah kenapa kehidupan dapat bertahan sampai saat ini menurut John F. Kennedy, “A man may die, nations may rise and fall, but an idea lives on”.


Saya simpulkan dengan bahasan sebelumnya bahwa sejatinya tulisan adalah media bagi ide yang dipadupadankan  untuk bertahan terhadap perubahan. 


****


SAYA KAGET MELIHAT SEORANG PEDAGANG KETOPRAK yang sedang membaca buku disela waktu senggang berdagang. Waktu itu saya sedang menyisip disela waktu istirahat siang pada waktu kerja. Singkat cerita saya bertanya kepadanya.


“Pak baca apa kayaknya serius banget?” Tanya saya.
“Baca buku de, buku wirausaha”  Jawabnya.
“Bapak suka baca buku? Untuk apa?” Saya kembali bertanya.
“Iya dek, siapa tau saya bisa ngembangin usaha” ketusnya.


Perbincangan itu berlangsung singkat,  namun sarat makna. Saya sampai berpikir berulang kali, sepertinya teman-teman saya di bangku kuliah dulu kalah dengan tukang ketoprak itu. Ia sangat mengerti bahwa hanya wawasan dan informasi yang dapat membuatnya maju.


Pelajaran lain yang saya simpulkan adalah keinginan belajarnya yang kuat, tidak melihat profesi, dan waktu yang padat. Kegiatan itu ia lakukan terus-menerus ketika saya melihatnya di hari-hari selanjutnya. Sebuah pelajaran yang sangat berharga.


Sampai saat ini saya malu kalau tidak membaca jikalau mengingat si pedagang ketoprak itu. Sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi motivasi saya.


UNTUK DAPAT MENULIS DENGAN BAIK KITA HARUS BANYAK BERLATIH. Dulu ketika saya bergabung di LKM. Menulis merupakan makanan pokok sehari-hari. Saban malam saya memikirkan, apa yang bisa say tulis besok? Meski begitu tidak setiap hari saya menyelesaikan satu tulisan−prosesnya bisa sampai 2 hari, 4 hari, atau bahkan bermingu-minggu.


Masa-masa di LKM adalah kenangan saya belajar arti kehidupan. Meski terbilang sulit, saya menghargai benar bahwa pembelajar kadang kala lebih sulit dari dunia pada nyatanya. Keadaan sulit itu membentuk kepribadian saya dan teman-teman yang waktu juga belajar di LKM.


Tapi saya yakin dengan pesan seorang Guru dari Barat “Bad weather left behind good timber”, yang maknanya cuaca yang buruk menyisakan pohon-pohon dengan kulitas terbaik. Generasi yang baik selalu terlahir dari kesulitan dan cobaan yang keras.


Itu sebabnya Jenderal Mc. Arthur berdoa untuk anaknya “Tuhan, berikanlahanak-anak saya godaan dan guncangan karena itu satu-satunya cara agar ia tumbuh menjadi jiwa yang kuat. Hadiahi anak-anak dengan cacian dan umpatan, karena itu bisa mereka rendah hati”.


Maka tak ayal pembelajaran di LKM akan selalu menyulitkan-namun berati, bahkan lebih berat dari kuliah di Fakultas masing-masing.


SAYA DAPAT MENULIS KARENA SAYA SUKA sekali berdiskusi. Saya gemar membaca. Meski saya bukan orang jenius. Hal itu saya lakukan atas dasar kecintaan. Maka jadilah suatu rutinitas atau habit.


Sesering itu saya menulis, sampai pada satu titik, sampailah saya pada suatu pola yang saya rumuskan sendiri dalam membuat tulisan. Saya jadi mengerti pola kalimat, gaya tulisan, serta sajian bahasa. Semua saya dapatkan secara natural. Karena sering berlatih, maka saya merasa menulis itu hal yang menyenangkan.


Saya mengistilahkan semua itu bahwa seorang penulis harus terus berlatih sampai ia menemukan sense−satu kondisi dimana ia bisa menciptakan dunia menulisnya sendiri, dengan kata lain ia haruslah mempunyai karakter.


Sense dalam bentuk lain adalah kepekan dan insting yang melekat erat sekali−seperti nadi, seperti nafas, seperti dara− yang keterkaitannya sangat erat sekali dengan karya-karyanya kelak. 


Tapi diakhir saya ingin menekan proses penting yang tidak bisa lepas kalau kita ingin menulis adalah MEMBACA DAN BERLATIH.



continue reading Dibalik Pikiran, Tersimpan Tulisan

Senin, 19 September 2011

Ramadhan, Puasa, dan Lebaran


SAYA TIDAK TAU PERSIS MANA YANG LEBIH BAIK antara ketiga hal itu. Ramadhan sebagai bulan bernuansa spiritual yang syahdu, puasa yang membentuk pribadi insan berwatak sabar, ikhlas, dan berbagi. Atau lebaran sebagai kultus hari raya yang melambangkan kesucian dan kemenangan. Semua adalah sebuah keutamaan yang memberikan kesan tersendiri. Terlebih sebagai muslim.

Meski demikian, ketiganya memiliki titik temu sebagai suatu garis biner. Hanya saja kita langka memaknai. Agama adalah hikmah, salah satu derajat bentukan tentang bagaimana cara kita memaknai ritus spiritual. Tanpa itu, hidup sebagai muslim ibarat padang kering tanpa air. Karenanya, agama menuntut pribadi sebagai religious man. Sebutan untuk pemeluk agama. Agar menjadi insan yang berkualitas dan terus belajar. Dalam Al Quran semua perintah selalu bertuju pada sebutan kualitas individu. Seperti Ya ayyuhalladzina amanu. 

Seruan pada ayat diatas ditujukan untuk orang-orang bersifat jamak, yakni termasuk individu beriman yang ada didalamnya. Banyak ayat di dalam Al Quran yang menuntut kita menjadi pribadi religius dalam artian selalu berupaya untuk berpikir dan taat melaksanakan perintah Allah SWT. Merasionalkan  agama dan merubahnya dari mitos kepada upaya mencerdasakan. Sebab banyak sekali ritus yang kurafat, mistis, dan irasional dalam agama yg sifatnya membodohi, seperti meminta pada kuburan, berdoa tanpa usaha, dan menerima takdir tanpa berikhtiar terlebih dahulu.

Agama adalah bagaimana seseorang menemukan dirinya sendiri. Taqlid dalam agama sangat dilarang, karena didalamnya tidak memiliki nilai pembelajaran. Juga terlepas dari pribadi muslim berkarakter.  Bahkan sebaliknya, Taqlid adalah simbol kebodohan. Berijtihad dengan ilmu akan mendapatkan pahala. Dengan demikian menjadi muslim berarti siap untuk mempelajari sebanyak mungkin ilmu. Agar kualitas diri semakin bertambah.

Penyair sufi asal Aceh, Hamzah Fansuri menyatakan dalam sajaknya bahwa dia mencari Allah di mana-mana, termasuk di Ka’bah. Tapi ternyata dia menemukan Allah di dalam dirinya sendiri. itulah kenapa sebabnya kualitas orang beragama selalu tergantung dari individu tersebut berusaha untuk mencari dan titik tolaknya adalah diri sendiri sebagai pribadi.

***

RAMADHAN MENGHANTAR KITA KEDALAM SUATU RUANG yang didalamnya terdapat bermacam figura bernuansa islami. Mulai dari tayangan televisi sampai kepada ragam ibadah dengan kelipatan pahala. Didalamnya seolah kita mendapatkan pengalaman spirit agama yang kental. Meski sering kali kita selalu lupa ketika Ramadhan berlalu. Iming-iming bulan pembinaan, hanya jadi momentum.

Biasanya kita lupa, bahwa sebenarnya Ramadhan itu hanya bulan persinggahan yang tidak selalu ada setiap waktu. Ia akan meninggalkan kita, atau kita yang meninggalkannya. Nuansa ramadhan juga tidak dapat djadikan tolak ukur, karena kebanyakan kita jarang sekali mengambil nilai-nilai dari esensi berpuasa setelah Ramadhan berakhir. Bahkan kita hanya mementingkan simbol artifisialnya saja. Seperti baju baru, hidangan berbuda sekaligus santap sahur, serta jalan-jalan ketika mudik.

Jika kita tinjau dari terapan syariat, Ramadhan sebenarnya tidak lebih istimewa dari bulan lain. Istilah bulan istimewa dalam islam adalah bulan haram. Institusi Arab pra-Islam yang melembagakan bulan tersebut untuk meredam pertumpahan darah yang kerap terjadi di jazirah tersebut. Bulan-bulan itu adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Pada bulan-bulan ini, setiap bentuk kekerasan dan peperangan dilarang.

Ramadhan menjadi penting karena momen Nuzulul Quran serta satu-satunya bulan yang disebut dalam Al Quran pada ayat yang sama. Namun, terlepas dari itu semua saya kira di zaman ini orang sudah mulai lupa bagaimana cara memaknai momen sakral tersebut.  Ramadhan hanya diisi dengan Ramainya acara televisi yang sama sekali tidak islami secara makna, hanya islami sebagai simbol.

Pada dasarnya menurut hemat saya, Ramadhan menjadi istimewa karena bentukan budaya kita. Secara majemuk kita merasa bahwa Ramadhan menjadi berbeda dari bulan lainnya karena disini orang bermai-ramai melakukan kebiasaan yang tidak rutin dilakukan di bulan lainnya. Sehingga kerasan sebagai momentum yang islami secara ritual. Padahal hanya sedikit sekali orang yg memanfaatkannya sebagai kesempatan taqarrab pada Allah.

Selebihnya masyarakat kita masygul menjalani Ramadhan dengan kebiasaan membakar petasan, meramaikan mall, serta sibuk menentukan waktu buka bersama. Tarawih kian hari mengalami pengurangan jamaah.

***

PUASA BUKAN IBADAH YANG BARU, dalam Al Quran disebutkan bahwa puasa telah juga dilakukan orang-orang sebelum islam. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu.

Agama lain juga melakukan puasa. Pemeluk agama Yahudi misalnya, berpuasa selama 25 jam, pada hari kesepuluh Tishrei atau yang dikenal dengan hari Yom Kippur, setiap tahunnya. Demikian juga pemeluk agama Kristen Timur, yang berpuasa selama 40 hari sebelum perayaan paskah.

Meski demikian tujuan puasa bagi setiap agama berbeda-beda. Dalam islam, jejak arkeologis aya-ayat Al Quran puasa terdapat pada enam serial ayat yang mengandung perintah untuk melakukan ibadah tersebut.

Lima diantaranya merupakan ayat-ayat penalti. Yakni ayat-ayat yang mengatur hukuman bagi seseorang yang telah melakukan kesalahan. Dua diantara ayat penalti ini berhubungan dengan ritual haji (Q. 2:196; 5:95), dua lainnya berkaitan dengan hubungan sosial: hubungan suami-istri (Q. 58:4) dan janji (Q. 5:89), serta satu berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan (Q. 4:92).

Menarik bahwa perintah berpuasa dalam kelima ayat tersebut selalu menjadi alternatif terakhir, dari satu atau dua opsi pertama yang jauh lebih sulit yang secara umum berkaitan dengan uang dan makanan. Yakni mengeluarkan sedekah dalam jumlah tertentu, membebaskan budak, atau memberi makan orang-orang miskin.

Dapat kita ambil hipotesis ayat-ayat tersebut, bahwa tindak berpuasa pada awalnya adalah suatu bentuk hukuman primordial, bagi seseorang yang tidak memiliki sarana apa-apa untuk menebus kesalahan yang ia perbuat. Ia adalah hukuman fisik orang pertama, yakni hukuman yang berasal dari kesadaran diri sendiri.

Agar membedakan dengan hukuman fisik orang kedua, seperti hukuman potong tangan, dan cambuk, yang memerlukan keberadaan orang kedua sebagai eksekutor pelaksanaan hukuman tersebut.

Atau hukuman non fisik, macam denda membebaskan budak, dan memberi makan orang miskin, yang semuanya bersandar pada uang dan harta yang dimiliki si terhukum. Singkat kata, dalam jenis hukuman primordial seperti puasa ini, hukuman diposisikan sebagai tindakan kesadaran diri sendiri untuk menebus kesalahan.

Lalu kenapa kita puasa di bulan Ramadhan ? dalam ayat-ayat Al Quran sebenarnya tidak ada kalimat tegas bahwa kita wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Hanya Pengenalan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa, baru hadir di ayat 2:185, yang merevisi term hari-hari tertentu, ayyam ma’dudat, kemudian diteruskan dalam Hadits Nabi Muhammad  SAW "Datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan berkah, Allah azzawajalla mewajibkan kalian berpuasa pada bulan itu."

Dalam puasa Ramadhan, puasa dianggap sebagai sebuah media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin karena posisi puasa yang istimewa itulah, ayat tentang doa (Q. 2:186) diselipkan ditengah-tengah ayat tentang pewajiban puasa di bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan “Puasa itu milikku (Tuhan) dan hanya Aku jua yang akan membalasnya”. Puasa adalah tindak beribadah yang sangat istimewa

Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa, yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan, banyak sekali menyimpan makna dalam konteks sosial. Hendaknya kita melakukan refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan yang berlangsung selama Ramadhan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Maksudnya, puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.

***

TAKBIR BERGEMA, JAMAAH MULAI BERSIAP MENUJU LAPANG. Sementara itu umat islam bersahut meneriakkan takbir Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Tanda bahwa Lebaran sudah tiba. Senyum lebar menyisip di wajah, orang-orang sibuk bersilaturahim, permohonan maaf melenggang pada setiap kalimat. Bagi kita ini adalah suatu momen untuk saling menebus kesalahan. Dengan doa Taqaabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.

Pada budaya Indonesia Idul Fitri kita kenal dengan Lebaran. Namun kalau kita mau tarik tak terlampau jelas asal-usul kata “lebaran” ini. Ada yang berkata bahwa ia berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata “lebar” yang berarti “selesai”. Kemudian kata “lebar” diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan diberi akhiran “an”, sehingga menjadi kosa kata umum untuk sebuah perayaan setelah selesai menjalankan puasa.

Ada juga yang berkata, lebaran berasal dari bahasa Betawi, “lebar” yang berarti “luas”, yaitu keluasan hati seseorang setelah melakukan puasa. Orang-orang Madura punya kata yang mirip, yaitu “lober” untuk menggambarkan selesainya sebuah acara, yaitu puasa Ramadan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lebaran akhirnya dimaknai sebagai hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan; Idul Fitri.

Terlepas dari itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, lebaran selalu diikuti dengan mudik atau pulang kampung. Ribuan manusia bergerak dari kota ke desa untuk berjumpa dengan orang-orang tercinta. Mereka tak peduli dengan harga tiket yang membubung tinggi, kesengsaraan di jalan karena berjubelnya manusia, hingga resiko kecelakaan yang kerap terjadi. Mudik lebaran menghipnotis banyak orang.

Pertanyaannya, mengapa orang begitu bersemangat untuk mudik ? Pertama, mudik dianggap punya makna spiritual juga kebudayaan. Setelah memohon ampun kepada Allah sepanjang bulan Ramadan, seseorang bermaksud meminta maaf terhadap orang tua, sanak saudara, dan tetangga di kampung. Dalam tradisi Jawa juga lebaran adalah salah satu ritus tahunan untuk sungkem pada orang tua. Juga mengunjungi kuburan para leluhur.

Kedua, menghadapi kompleksitas masalah di kota, seseorang kadang dihinggapi perasaan untuk kembali ke masa lalu saja. Ia seperti hendak melipat waktu, menuju ke masa kanak-kanak dan masa remaja. Ketiga, untuk membuktikan usaha bagi para perantau untuk berbakti rejeki bagi kerabat di kampung. Bayangkan selama mudik lebaran 2011 ini dana yang mengalir ke desa mencapai Rp 61 Triliun. Ini adalah bukti bahwa lebaran merupakan momentum berbagi rejeki sekaligus upaya distribusi pendapatan yang tersentralisir.

Kalau saja kita mau merenungi lebih jauh, sebenarnya lebaran dapat kita maknai secara multideimensi. Secara kultural lebaran dimaknai untuk halal bi halal yang tidak kita temukan di budaya manapun selain Indonesia. Secara teologis lebaran dimaknai sebentuk peristiwa iman, peristiwa yang dipercaya dan dinyatakan terkait dengan Sang Ilahi. Secara humanis lebaran dimaknai untuk bisa saling berbagi rejeki dan menjalin hubungan sosial yang rekat.

Saat ini, hampir sebulan selepas lebaran. Meninggalkan bulan Ramadhan. Serta tidak lagi berpuasa. Tapi sudahkan kita menerapkan nilai-nilai yang telah kita bangun selama sebulan penuh. Dekat dengan Allah. Rajin beribadah. Hati yang tenang. Serta momentum yang sakral. Hal yang terpenting bagi saya justru bukan pada Ramadhan dan lebaran. Tapi bagaimana kita setelah itu ? 
continue reading Ramadhan, Puasa, dan Lebaran

Jumat, 16 September 2011

Sore, Jakarta, dan Harapan

Meski sore menghentikan siang
dan memaksa matahari tenggelam

Rona pada Jakarta tidak terhenti
Ia tetap gagah dengan cakar yang melangit
Menjulang awan, menusuk ruang
Menyangga kota, di rongga jalanan

Kehidupan akan tetap ada, kawan
Melanjutkan sisa-sisa harapan
yang belum sempat kita gapai bersama

Hamzah Ichwal
Jakarta 16 September 2011


continue reading Sore, Jakarta, dan Harapan