Jumat, 20 Februari 2009

Insting Penulis


Aktivitas menulis dapat dilakukan siapapun, untuk menambah ketajaman analisis dan mendalami isu, penting memiliki naluri.

Kegiatan menulis bukanlah sebuah kegiatan yang berdiri sendiri. Untuk memulai tulisan paling tidak ada berbagai modal yang harus dimiliki oleh penulis. Membaca, diskusi, dan melatih diri untuk menulis adalah modal yang sekaligus roda perputaran yang berpengaruh terhadap kualitas pemikiran. Singkatnya, orang tidak akan dapat menulis kalau tidak membaca, lemah daya analisa karena kurang mengkaji.

Integritas dari kegiatan ini seringkali timpang tidak seimbang. Akhirnya, secara tidak sadar kita telah membodohi diri kita dengan alasan. Malas untuk menulis, tidak ada waktu mengkaji, atau pusing baca buku. Itulah yang sering kita lakukan. Lalu, bagaimana peradaban diri ini bisa berkembang lebih maju, bersiaplah ditindas perkembangan zaman, jika terus dihalang oleh “setan malas”. Dalam tulisan ini pembahasan kita akan mentikberatkan pada pembentukan habit, mengasah insting atau naluri penulisan.

Dasar dari insting penulis adalah “semua bisa jadi inspirasi”. Apapun yang dialami, dilihat, dibaca, didengar, dan dirasakan bermuara pada dasar tulisannya kelak. Bila hal tersebut sudah menjadi nafas, maka proses pembentukan insting pun berjalan. Hal penting lainnya adalah proses internalisasi, yaitu teknik mencerna informasi lebih hidup. Melakukan analisis inter-ekstra disipliner, merubah paradigma lama menjadi baru.

Insting Penulis

Dalam studi humanisme dan humaniora, yaitu bidang ilmu khusus yang mempelajari hakikat kemanusian, terdapat insting dasar yang dimiliki manusia untuk hidup. Hal inilah yang ingin saya asimilasikan dengan prikehidupan seorang penulis. Adapun insting tersebut: pertama, insting eros (survival), yaitu hal yang mendorong penulis untuk terus hidup dengan karya.  Mirip dengan kebutuhan primer, yaitu membaca, rekayasa inovasi, survival, pengalaman, inspirasi, kreativitas, dan sarana prasarana penunjang.

Kedua, Insting dominandi. Yaitu dorongan yang dapat memicu dan memacu kehendak seseorang untuk membuat suatu karya yang bermanfaat dan bernilaiguna. Bukan hanya sekedar mendapat prestige, atau ajang lomba belaka. Tetapi setiap karya yang dibuat harus relevan dengan dinamika kehidupan dan lingkungan, artinya ada kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dengan solusi yang diberikan. Dalam ilmu discourse analysis dikatakan bahwa tulisan adalah gambaran keadaan/lingkungan dalam periode tertentu pada eranya.

Ketiga, Insting possendi. Yaitu dorongan yang dapat memicu dan memacu seseorang untuk berprestasi dan berhasil dalam berkarya, memberikan timbal balik terutama bagi lingkungan terdekatnya. Seperti sahabat, keluarga, dan pasangan hidupnya. Implementasinya dalam proses pembentukan insting adalah dalam perolehan inspirasi secara alamiah melalui interaksi sosial. Dapat berupa penelitian tentang perilaku masyarakat, atau fiksi berupa novel, cerpen yang mengulas kembali kisah hidup, dll. 

Keempat, Insting belajar. Menurut kodratnya manusia mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar, mampu berfikir mandiri, memiliki jiwa kompetitif dan kretaif. Sehingga ia pada akhirnya mampu mencapai pemenuhan diri yang optimal. Dengan begitu, sampai mati pun kegiatan belajar harus tetap dilakukan, karena tanggung jawab dan pemenuhan lahiriyah manusia. Apapun yang dilakukan, belajarlah yang menjadi orientasi utama.

Bekal Pemenuhan Insting

Untuk bekal mengasah insting penulisan, ada beberapa hal yang sekiranya dapat menjadi perhatian membentuk pola piker dalam bertindaka. Pertama, sikap keingintahuan dan ketekunan. Seseorang tidak akan termotivasi untukmencari tahu kalau di dalam dirinya tidak ada keinginan untuk mengetahui. Kapan, bagaimana, mengapa, merupakan teman yangs sejatinya berdamping dalam proses pembentukan insting. Kegigihan membuat seorang penulis tidak pernah berhenti menjawab pertanyaan.

Kedua, kepekaan dan keterlibatan. Penulis bukanlah mereka yang hidup dengan “kacamata kuda”. Ia “hidup” dimana saja, bergaul dengan siapa saja, serta memiliki kepekaan. Ketiga, memiliki kekayaan bahan (resourcefulness). Kekayaan bahan ini diperoleh dari banyak tempat, mulai dari buku-buku, wawancara, memandang realitas, keterlibatan dengan hal dan aktivitas. Intinya, berusahalah untuk dekat dengan sumber informasi.

Keempat, seorang penulis tidak ingin menikmati semua jawaban atau gagasan yang ia dapat dengan susah payah seorang diri. Penulis harus memiliki jiwa untuk berbagi dengan orang lain, yang belum membutuhkan jawaban dan pertanyaan-pertanyaan. Selain itu, seorang penulis juga harus memiliki jiwa sosial yang tinggi dalam kaitannya dengan sikap ideal. Sementara hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah mood dan inspirasi.

Mood dalam dunia penulisan merupakan suatu rasa yang mendukung berkembangnya gagasan atau ide dasar menjadi lebih terkonstruksi. Namun bukan untuk ditunggu, ia harus diciptakan dengan olah rasa atau mendalami intuisi. Sedangkan inspirasi dapat dating kapan saja. Oleh karena itu kita harus selalu membawa ikatan inspirasi dengan “mind book”. 

0 komentar:

Posting Komentar