Kamis, 27 Januari 2011

NIlai Kuliah, Bukan Pendidikan


Hari-hari ini, sampailah kita di penghujung semester. Situasi yang kerap kali saya hadapi hampir empat tahun belakangan. Semenjak saya memutuskan untuk kuliah di Kampus yang kata orang kental dengan iklim pendidikan. Namun siapa sangka, ketika saya masuk dan menyelami dalam-dalam apapun yang ada di dalamnya, ternyata semua tidak lebih baik dari yang saya kira sebelumnya. Kita masih berpresepsi kalau pendidikan itu sebatas industri sekolahan. Ada uang, dan kita menjadi guru karena ingin dibayar, jadi PNS, amanlah kehidupan. Urusan murid bisa apa, tak peduli.

Buka saya orang yang idealis. Tidak butuh uang. Atau hanya bisa kritik saja. Saya hanya orang biasa yang mengaharap tumbuhnya nilai positivis, orang melakukan karena semata-mata untuk kemanfaatan. Bukan kepentingan ego dirinya sendiri. Toh kalau kita melihat, semua kejahatan berasal dari hal itu. Korupsi, pembunuhan, sampai tingkat penipuan ditujukan demi memuaskan kepentingan, bukan kemaslahatan. Auguste Comte pernah menuliskan dalam salah satu bukunya, bahwa bila dunia ada dibawah dasar kemanfaatan, maka ia dengan seketika menopang sebuah pembangunan. Itulah tujuan saya. Tidak lebih.

Di ujung semester, hal yang saya tidak suka. Karena di dalamnya banyak orang-orang yang kecewa. Kenapa ? mari saya jelaskan. Dulu sekali ketika saya baru menginjakkan kaki di kampus, semangat amat menggebu-gebu. Tak ayal bermimpi mempunyai nilai bagus adalah hal mutlak yang harus dicapai. Dari situ kemudian saya belajar, siang-malam. Berupaya untuk mendapat nilai maksimal. Akhirnya pun harapan itu terwujud. Saya bersyukur, bisa menjadi orang yang puas karena usaha.

Di sisi lain, saya membaca lingkungan. Teman-teman sekelas beragam rasa menyikapi nilai. Ada yang senang dengan nilai bagus, Ada yang sedih karena nilainya jelek. Wajar saja. Kita semua manusia. Begitulah hukumnya. Tapi ada juga yang kebalikan dari semua. Dengan nilai jelek, ia bisa puas dan biasa saja. Lalu saya berpikir ternyata semua itu tergantung cara kita menyikapinya. Meski begitu, disinilah kita dengan internalisasi makna dalam setiap ruang yang ada dalam hidup. Bagaimana berpikir rasional dengan menyeimbangkan emosi.

Apa artinya ?  saya mengatakan kalau saja kita mampu melihat masa depan. Mungkin dari kita ada yang puas atau putus asa. Disinalh kita diperintahkan untuk berusaha. Rasionalitas artinya berpikir apa yang baik kedepan. Sementara emosi merasakan sesuatu dengan mempertimbangkan sisi humanitas. misalnya pikiran bahwa bagaimana saya dihadapan teman kalau nilai saya, lantas nanti orang tua saya bisa marah, atau takut tidak dapat pekerjaan baik bila nilainya buruk. Semua itu adalah asumsi humanis yang biasanya menutup rasionalitas kita untuk berpikir bagaimana seharusnya kedepan.

Kesedihan saya itu terjadi setiap semester. Ketika nilai itu keluar. Bahkan puncaknya. Sampai-sampai ada salah seorang teman saya keluar dari kampus karena masalah nilai yang membuat ia berpresepsi bahwa dirinya tidak mampu untuk kuliah. Saya sangat menyayangkan itu. Kemudian saya berpikir, ternyata nilai bukan membuat manusia menjadi pembelajar, malah mengubur niatan orang untuk belajar. Nilai tidak membuat orang menjadi pintar, tapi semakin termakan dengan kebodohannya. Bahkan nilai itu bukan pendidikan. Karena tidak memanusiakan manusia.

Lihat saja, berapa orang yang termakan karena nilai. Ada yang bunuh diri segala. Bahkan sebaliknya nilai telah membuat orang sekolah tidak jujur, mencontek. Dari sinilah mereka belajar berbohong. Sampai besar agan begitu. Bahkan ketika menjadi pejabat juga dibawa.  

Namun begitu, sebagai akademisi saya juga paham akan ukuran tingkat evaluasi anak didik. Tapi yang saya sayangkan kenapa bangsa ini membuat format yang terlewat kuantitatif. Hanya dikur dengan angka, bukan kualitatis misalnya mempertimbangkan minat dan bakat anak, atau seperti apa proses belajarnya. Sama dengan kemiskinan lebih diukur dari jumlah bukan kualitas hidup. Disinilai saya merasakan bahwa pemimpin kita tidk sedang dalam ikatan batin rakyatnya. Bila demikian jangan katakan “bersama kita bisa”, karena bagaimana “bisa” kalau tidak merasakan susahnya “bersama” dalam sulitnya hidup.

0 komentar:

Posting Komentar