Kamis, 16 April 2009

Menyoal Netralitas Pemilu 2009


Legitimasi pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan tanggal 9 April 2009 diklaim sebagai pemilu terburuk sepanjang era reformasi. Bahkan terancam gagal karena jauh dari sikap jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.

Permasalahan yang muncul pasca pemilu legislatif adalah diketahui banyaknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kehilangan hak konstitusinya untuk memilih, jumlahnya mencapai jutaan suara. Padahal hak memilih adalah amanat hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Pelanggaran atas hak memilih berarti melanggar konstitusi dan harus masuk proses pengusutan ulang oleh penyelenggara pemilu.

Tidak hanya itu, pelaksanaan pemilu juga disinyalir banyak diwarnai kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi sistemik sehingga mengakibatkan kualitas pemilu mejadi buruk, bahkan terancam digagalkan. Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh beberapa tokoh dan partai politik yang berjumlah 14 perwakilan dari 38 peminpin partai dengan melakukan deklarasi sikap terhadap pemilu legislatif 2009. Arahannya adalah aklamasi politik yang tidak netral oleh Pemerintah, KPU, dan KPUD.

Tuntutannya antara lain. Pertama, mendesak KPU, Banwaslu, dan Pemerintah menindaklanjuti semua laporan kecurangan pemilu dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran /kecurangan yang terjadi. Kedua, menjamin adanya hak konstitusi warga Negara untuk memilih, khususnya bagi mereka yang tercabut hak-haknya karena DPT. Karena itu, DPT harus diperbaiki untuk memastikan setiap warga Negara memiliki hak untuk memilih demi tercapainya demokrasi yang partisipatif. 

Permasalahan diatas bermuara pada inkonsekuensi Pemerintah, KPU, dan Banwaslu dalam peneyelenggaraan pemilu. Beberapa pihak menilai hal tersebut tidak sesuai dengan netralitas nilai yang dijunjung. Pasalnya, beberapa implikasi mulai muncul, bila semua desa dipetakan terlihat adanya korelasi positif antara desa yang banyak menerima bantuan langsung tunai dan peta kemenangan Partai Demokrat. Sebaliknya, di daerah partai demorat berpotensi kalah, terutama di kota besar, banyak warga yang tidak masuk DPT.

Dari polemik tersebut, kiranya dapat dianalogikan bahwa Pemilu sekarang tak ubahnya mengalami bureaumania, berupa kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi, nepotisme dan politisasi suara rakyat. Birokrasi cenderung dijadikan alat status quo untuk mengkooptasi masyarakat, guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik partai dan rezim berkuasa. Hal tersebut yang dianggap tidak netral.

Agaknya hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Antlov-Cederroth dan Charles E. Lindbolm bahwa praktik politik di negara-negara berkembang yang menunjukkan pemihakan pada birokrasi (pegawai pemerintah) pada suatu partai politik, telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dan birokrat itu sendiri. Keasyikan birokrasi bermain dalam politik, pada titik tertentu, telah menghasilkan kecenderungan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral. Hal ini akan menjadi perhatian kita bersama untuk perbaikan.

Pada intinya harus ada peneyelesaian hukum dan pembuktian tentang adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kehilangan hak konstitusinya untuk memilih, kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi sistemik harus segera diusut sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Peran netralitas pemerintah harus segera diperbaiki, sesuai denga pendapat Wilson bahwa pemerintah berfungsi melaksanakan kebijakan politik, memastikan regulasi berjalan dengan baik.

Sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik dan masuk pada aspek netralitas nilai, apalagi berpihak pada satu Partai Tetentu dengan memanfaatkan wewenang pemerintahan. Bila hal tersebut masih terulang, bukan tidak mungkin prahara Orde Baru dengan hegemoni kekuasaan menghasilkan kepemimpinan yang tiran dan penuh dengan egoisme terhadap pemulihan kondisi bangsa. 

0 komentar:

Posting Komentar