Senin, 04 Mei 2009

Krisis Pendidikan dan Nasib Bangsa


Tidak hanya ekonomi yang dilanda krisis, pendidikan pun berada dalam kondisi yang cukup krusial. Menjadi rapuh, sampai nasib bangsa ini benar-benar terpuruk dalam kebodohan generasi secara sistemik.

Melihat realita perubahan sosial saat ini, siklus sistem nilai telah mengalami transisi yang cukup signifikan. Saat itulah krisis melanda organ masyarakat, mereduksi kearifan budaya, menjadi tatanan kleptofobi. Seterusnya masyarakat akan mencabut nurani memandang gejala disekelilingnya.

Krisis merupakan suatu iklim menyeramkan. Mendahului transisi peradaban manusia. Lalu mencipta kesengsaraan. Beberapa pakar peradaban seperti Arnold Tonybe mengatakan krisis merupakan dampak dari ketidakmampuan manusia menanggapi tantangan perubahan lingkungan dari sisi interaksi dan budaya.

Dalam konteks pendidikan, krisis saya maknai dengan hilangnya ruh orientasi untuk humanisasi. Karena itu adalah inti dari proses pendidikan. Patologi komersialisasi telah mengulang sejarah pendidikan jaman penjajahan dulu. Menjadikan pendidikan semakin sulit dijangkau kaum miskin.

Pada akhirnya, secara agregat bangsa kita pun akan kehilangan daya saing. Karena tingkat pendidikan akan menentukan kecakapan keterampilan dan wawasan semakin menurun. Akan semakin kecil generasi bangsa ini yang cerdas nantinya.

Polemik Pendidikan

Bila terus kita telusuri, masalah pendidikan kita seperti benang kusut yang tak berujung. Sulit ditarik kesimpulan, bahkan linglung harus membenahi yang mana. Mulai dari anggaran pendidikan 20 persen yang tidak dikelola dengan baik, sampai akhirnya mendapat predikat pengelolaan terburuk sedunia (Kompas, 2/04/09). Dana BOS banyak tersendat dikantong birokrat.

Angka partisipasi pendidikan cukup memprihatinkan, sekitar 0,5 persen anak usia SD, 45 persen usia SMP, dan 60 persen usia SMA tidak bersekolah. Secara definitive angkanya mencapai puluhan juta anak. Berbeda dengan Negara lain, seperti Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan yang hampir seluruhnya sudah bersekolah dengan fasilitas yang mumpuni.

Dalam standard penilaian UN pun masalah itu terjadi, angka rata-rata tinggi menimbukan masalah baru, depresi bagi siswa. Padahal pendidikan seharusnya dijalani dengan “fun”, sebagaimana termaktub dalam buku Revolusi Cara Belajar. Secara teoritis UN pun dianggap belum cukup mewakili minat dan bakat anak untuk mendapatkan tempat.

Dari sekian masalah diatas, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa krisis dengan pendidikan seolah berdamping seiring, walau secara substansial memiliki karakter yang berbeda. Dalam pendidikan krisis dengan hilangnya ruh orientasi humanistik mengakibatkan pendidikan seperti komoditas.

Nasib Bangsa

Pendidikan tak ubah seperti wadah oportunis yang mudah dijadikan tumpangan untuk sebuah tujuan yang melenceng. Lau bagaimana dengan nasib bangsa ke depan ?

Masihkah impian Ki Hajar Dewantara itu terpatri dalam setiap penyelenggaraan pendidikan negeri ini. Pendidikan menuju perikehidupan bersama dengan memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Masudnya tidak tergantung pada orang lain, berdiri sendiri, dan dapat mengatur dirinya sendiri.

Saat ini, impian tersebut hampir tidak ditemui pada level bawah masyarakat, pendidikan seperti momok yang jauh dari angan. Karena mahal dan penuh dengan intrik komersial. Siswa bukan dijelali ilmu, tapi proyek guru dari jalan-jalan sampai iuran gedung yang tiada habis.

Berkaitan dengan hal tersebut, mari kita analisis nasib bangsa kedepan untuk sama-sama paham bahwa seharusnya pendidikan adalah sektor fundamental membangun perdaban suatu bangsa. Bila jepang runtuh pada peristiwa bom atom Hiroshima-nagasaki (1945), yang dibangun pertama kali adalah sektor pendidikan untuk bangkit menjadi Negara maju.

Indonesia tak kunjung sadar, sampai keadaan menuntut kita menjadi semakin tidak berdaya terhadap segala perubahan. Meski kita sudah merdeka 60 tahun, penjajahan masih terjadi. Korelasi pembangunan Negara dengan pelaku inti sumber daya manusia akan terputus, dan akhirnya menimbulkan disparitas orientasi.

Samapi taha ini, arah pembangunan kita akan mudah dikendalikan oleh pihak asing, dan tujuan Ki Hajar Dewantara pupus. Solusi dari keadaan tersebut adalah: Pertama, timbulkan jiwa patriotis dalam semangat belajar. Hal tersebut akan mengingatkan kembali penyelenggaraan pendidikan dengan filsafah Negara.

Kedua, menjadikan pendidikan sebagai alat perlawalanan atas bentuk penjajahan baru di bangku sekolah. Misalnya, mentang iuran yang tak jelas ujung pangkalnya terhadap penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, merancang model pembelajaran dengan pendekatan minat, bakat, serta kebutuhan siswa dalam transisi perubahan yang semakin dinamis.    

0 komentar:

Posting Komentar