Senin, 23 Mei 2011

Ajari Saya Menulis Lagi

Banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis ternama. Dengan karya-karya apik. Tapi banyak juga dari mereka yang enggan belajar dan berlatih. Kalah dengan rasa malas, tidak mau ambil pusing, serta enggan susah-susahan.

 
Saya akan memulainya dengan sebuah cerita tentang tiga jenis mahasiswa, yang pertama adalah orang yang sering kelimpungan menulis. Bingung menukil kata. Buntu, sering kehabisan ide. Saat berniat menulis, merasa kesulitan ditinggalah tulisan itu dengan niatan kembali dengan ide segar. Lalu tidur. Akhirnya penundaan itu justru berakhir dengan matinya niatan untuk menulis kembali. Karena sudah tidak punya “feel” untuk merasakan isi tulisan. Kemudian ia mengeluh kepada kakak di organisasi kampus tempat ia kuliah. Menanyakan tentang cara menulis “kak, saya bingung mau nulis apa ?” kata mahasiswa itu.

Lantas dijawab dengan pernyataan singkat “kamu sudah membaca apa saja untuk bekal tulisan kamu ?”. Lalu mahasiswa tersebut menjawab dengan muka polos “belum baca apa-apa sih kak”, dengan nada sedikit merendah. Pantas saja progres tulisan mandek, karena di dalam otak belum ada isi. Seperti bejana kosong, cuma besar tanya dan omong. Kalau seperti itu, meski dipaksakan tidak akan bisa menyelesaikan satu tulisan sekalipun. Atau barangkali selesai dengan isi sumbing. Tidak tentu arah dan pesan. Tidak jelas.

Kemudian yang kedua ada seorang mahasiswa lain yang “kutu buku” juga pintar. Tapi sulit menulis. Belum percaya diri dengan gagasannya. Kemudian ia bertanya kepada kakak di organisasinya “Bagaimana cara menulis ?”. Dengan tegas dijawab “Mulailah dengan memikirkan, tatalah gagasan kamu, dan menulislah” kata kakaknya. Jenis mahasiswa seperti ini hanya butuh berlatih bagaimana cara “pemetaan pikiran” dan analisis masalah, yang harus dilakukan adalah melatihnya untuk terus memberikan solusi-solusi kreatif bagi setiap masalahnya. Tidak taken for granted untuk segala hal. Dilatih untuk selalu berpikir kritis dan skeptis sebagai pengamat kehidupan.

Untuk jenis mahasiswa ketiga, suka mebaca dan suka menulis. Beberapa kali tulisannya sudah ditempel pada beberapa mading, buletin, sampai media kampus. Tapi banyak kritik disana-sini. Kata yang baca “tulisanmu itu jelek”, ada yang bilang “tulisan-mu itu tidak argumentatif”, parahnya sampai-sampai tulisan itu “dirobek” karena ada yang tidak suka. Sering dicekal oleh birokrat kampus atau ditentangan organisasi intra atau ekstra kampus. Lalu mahasiswa tersebut bertanya pada kakak di organisasinya “kak, bagaimana membuat tulisan yang baik ? tidak dicekal orang dan disukai pembaca ?” sambil menggerutu.

Jawaban kakak di organisasi itu singkat sekali “berlatihlah dan terus menulis, jangan berhenti !!” sambil memberi isyarat dengan menepuk pundak mahasiswa tersebut seolah menguatkan. Kemudian ia melanjutkan “kamu menulis juga merupakan habit yang baik, hanya saja harus kamu paham bahwa tidak semua orang itu punya pendapat sama”. Kita harus sadar, Di dunia ini tidak ada yang sempurna, semua punya kekurangan termasuk tulisan yang kita buat. Jadi wajar kalau ada kritik. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Sebagai cambuk yang membangun atau batu yang menimpuk kita lantas tersungkur jatuh dan menyerah.

Seorang penulis adalah “kompas” penunjuk arah bagi kelaliman atas fenomena yang terjadi. Berangkat dari lingkungan, agar semua menjadi ideal bukan khayalan saja. Disadari atau tidak, ketika masuk kedalam ruang dialektika itulah faktanya, bahwa tidak semua pandangan orang itu seragam. Banyak yang mempengaruhi. Tapi selalu ada tolak ukur yang universal, yaitu pandangan moril. Nilailah dari hati nurani yang humanis. Itulah yang menjadi segi berpijak tempat penulis bertolak dari semua gagasan dan idenya. Kita hanya perlu belajar berargumentasi. Setiap pendapat harus punya pijakan, agar tidak jatuh.

Sudah menulis, sekalipun masih banyak kekurangan itu baik. Ketimbang tidak menulis tapi mengejek tulisan orang. Hanya bisa bilang “gagasannya kok biasa saja ya...“ tanpa pernah menyumbangkan gagasan tulisan untuk mewarnai dialektika kampus.



 
Pada Awalnya adalah “Esai”

Di sub kedua ini saya akan mengajak anda belajar bersama menyimak suatu kisah, posisikan diri anda sebagai lakon. Kita mulai. Seandainya anda seorang mahasiswa. Dalam perjalanan menuju pulang ke rumah anda sering melawati pemukiman kumuh tempat banyak orang miskin tinggal. Sudah ratusan kali pemandangan itu tampil, tidak ada yang istimewa bagi anda, datar saja. Tapi, tiba-tiba suatu peristiwa atau pemandangan di pemukiman kumuh yang anda lewati, berbeda dari biasanya. Kemudian anda kaget dan merasa ada sesuatu disana. Menyebabkan anda mengambil notes. Kemudia mencatat. Hal penting yang anda catat adalah apa yang menurut anda sering dilupakan.

Seorang ibu dengan anaknya. Berada di bibir jalan. Menepi sambil menangis. Anaknya terbujur lemas, pucat, dan bibirnya putih. Badannya kurus kering. Keningnya berkeringat dingin, memakai baju dengan sobekan “compang-camping” di hampir seluruh bagian. Kemudian sang ibu berteriak lirih “tolong anak saya dik, sudah tiga hari tidak makan…”. Hati anda tidak kuat melihat kejadian tersebut. Kemudian turut hanyut merasakan sedih. Anda bertanya kepada ibu tersebut tentang keadaan anak dan keluarganya. Memberikan roti yang masih ada di tas, dibeli dari kampus siang tadi. Anda hanyut, dan ketika itu juga anda berniat menulis esai sebuah tulisan tentang ibu tadi. Dalam pendangan anda melihat subyek.

Satu jam kemudian sesampainya di rumah anda melamun memikirkan nasib ibu tadi dengan anaknya. Kemudian anda melihat kembali notes yang anda catat di tempat kejadian. Kebetulan anda sempat menanyakan beberapa hal pada ibu tadi. Perihal nama, asal, kemudian tempat tinggalnya. Disisi lain anda juga menanyakan soal keluarga. Suami dan kerabatnya. Pendapatannya serta masalah sosial ditengah masyarakat sekitar. Setelah melihat notes, terbersit di benak anda untuk menulis esai dengan tema besar “kemiskinan”. Dari tema itu anda mendapat feel menulis karena merasakan sendiri apa yang dilihat.

Keesokan harinya anda pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tulisan dari buku-buku tentang kemiskinan. Dalam salah satu buku yang berjudul "Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan" yang dikarang oleh Dawam Rahardjo terdapat banyak teori yang menerangkan konsep, klasifikasi, dan diskursus perihal kemiskinan. Kemudian anda pelajari dalam-dalam. Tidak cukup sampai disitu anda mempertajam analisis lewat fakta dan data. Misalnya berapa jumlah orang miskin terbaru, berapa penghasilan orang miskin perhari. Serta apa saja program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Perbandingan fenomena kemiskinan di negara lain. Dll.

Setelah terkumpul semua, anda mulai menyusun plot lewat mind mapping atau pemetaan pikiran. Semua teori, klasifikasi, diskursus, fakta, dan data dikumpul dalam sebuah visualisasi peta hubungan sebab-akibat dan pengaruh, kemudian pemecahannya. Mengurai masalah satu per satu, menjabarkannya kemudian menganalisis. Sesekali anda merasa masih ada yang kurang dalam penggalian ide itu. Kemudian anda lengkapi. Seterusnya, prosesnya seperti itu. Menggali-menata-menggali-menulis. Jangan sampai putus, sebab ini adalah ruh bagi tulisan anda. Agar menjadi bergizi diperlukan bahan yang kaya informasi sebanyak mungkin.

Setelas beres menata bekal penggalian “bahan baku” tulisan maka tugas berikutnya adalah membuat perencanaan penyusunan dari proyeksi mind mapping tadi. Intinya begini bagaimana memindahkan pemetaan pikiran yang ruwet tadi ke dalam sebuah paragraf demi paragraf. Anda bisa melakukan teknik “kluster” yakni pengelompokan dari pemetaan pikiran. Susunlah dari hal yang terpenting, menarik, dan informatif. Sebagai kepala tulisan. Dilanjutkan dengan analisis teoritis dan historis. Lalu berakhir pada gagasan sebagai ending. Ingat, gagasan harus bersifat solusi, lebih bagus kalau anda membuat itu dengan konsep, atau model, juga blue print yang disusun komprehensif disertai teori pendukung.

Seminggu kemudian tulisan tersebut akhirnya selesai. Judul yang anda ambil adalah “Reengginering Human Capital: Rekonstruksi Pembangunan Menuju Kesejahteraan” dijabarkan dalam isi tulisan tersebut pada awalnya tentang fenomena kemiskinan. Fakta dan peristiwa. Dianalisis sebagai suatu masalah. Berikut paragrafnya. Misalkan.

“Berbicara kemiskinan, tampaknya masih menjadi topik hangat yang diperbincangkan banyak orang di negeri ini. Rubrikasi humaniora diberbagai media kita masih dipenuhi oleh fenomena kemiskinan di berbagai pelosok negeri dengan berbagai gejala yang ditimbulkan seperti kelaparan, gizi buruk, dan menyebarnya wabah penyakit. Layar kaca televisi kita ramai menyajikan beragam reality show yang mengexpose kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat mengetuk hati nurani pemirsa. Mulai dari uang kaget, toloong!!, 3x lipat, pulang kampung, bedah rumah, lunas, dan seterusnya.”

Paragraf pembuka, seperti diatas haruslah menukik pada persoalan inti. Jangan bertele-tele, banyak basa-basi yang tidak berguna. Pembaca tidak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk bacaan yang kurang informatif. Jadi pembuka adalah penentu. Setelah itu, anda berikan pendapat pada lanjutannya. Misalkan bagaimana menganalisis program televisi tentang kemiskinan. Baik dan buruknya. Data tentang kemiskinan untuk memperkuat argumen. Kemudian beri kesimpulan. Padat dan jelas.

Dalam mempermudah penulisan dari mind mapping anda. Buatlah sub judul sebagai bagian yang memisahkan analisis masalah, fundamen teoritis, sistesis ide, dan solusi yang digagas. Begitu anda sampai di ujung dari sub judul satu ke sub judul lainnya, segera beri kail agar secara runtut dari sub judul ke sub judul berikutnya bersampung. Seperti rangkaian yang tidak terpisah satu sama lainnya. Demikian kerangkanya, yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahasan. Jangan sekali-kali keluar dari area tema yang diangkat.

Apakah Esai Sesungguhnya ?


Harus diakui, definisi bukanlah sesuatu yang bisa menjelaskan esai secara utuh dan memuaskan. Lebih mudah mengatakan, ”ini esai...” dan itu ”bukan esai...”, ketimbang saya menjelaskan panjang lebar sekali bahwa ”esai adalah...”. tapi paling tidak ada batasan klasik yang bisa dijadikan acuan dasar tentang definisi esai. Menurut Kasdi Haryanta esai adalah sebuah tulisan yang menggambarkan opini si penulis tentang subyek tertentu yang coba dinilainya. Dalam bahasa saya ”opini” dimaknai dengan representasi bagaimana menilai masalah dan memberikan solusinya.

Esai berbeda dengan tulisan lainnya. Seperti feature, tajuk, editorial, ataupun berita, apalagi karya ilmiah. Karakteristik tulisan esai lebih kepada ragam pandangan penulis sendiri. Untuk itulah sangat penting memperkaya wawasan dan wacana. Hal lainnya yang dibilang perlu membedakan esai dengan tulisan lain adalah gaya bahasa. Sebaiknya esai ditulis dengan bahasa yang ringan, menggigit, dan agak ilmiah. Susupi sekali-kali dengan kata-kata yang jarang digunakan agar esai terlihat bagus. Seperti eksotopi, yang berarti perenungan mengakui integritas ide. Agar mengundang penasaran pembaca. Tentunya dengan tidak mengurangi makna, apalagi membuat kabur isinya.

Hal yang membuat esai menjadi spesial adalah awet dibaca. Sekalipun disimpan hingga bertahun-tahun. Karena isinya adalah pandangan argumentatif seseorang terhadap subyek tertentu. Dan itu diperkuat dengan teori juga pendukungnya seperti hukum budaya atau norma masyarakat, maka isinya tak lusung oleh waktu. Bahkan sesekali dibuka lembaran esai dapat menjadi referensi kelimuan bagi pembaca. Atau memperkaya sisi perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal. Beda dengan berita, tajuk, atau feature semua itu disetir oleh informasi yang hangat, mana yang marak digunjing maka tulisan tersebut ada. Produk jurnalistik dalam dunia pers sangat dipengaruhi oleh kerentanan topik hangat.

Saya ingin berpendapat sebagai penulis esai. Ada beberapa hal yang setidaknya dapat mencirikan atau barangkali mempersolek tulisan. Pertama, gagasan. Hal ini dapat dinilai dari sejauh mana penulis menguasai topik tulisan. Biasanya orang yang paham dan mengerti di bidangnya lebih mengusai seluk-beluk ide. Tentang Apa yang harus dilakukan pemerintah. Serta bagaimana peran masyarakat dalam penyelesaian problem yang diangkat pada tulisan. Gagasan yang baik adalah yang diperkuat dengan telaah pustaka yang mendukung alias ada teorinya. Dan sama sekali berbeda dari sajian pada umumnya.

Misalnya, seseorang membuat tulisan dengan tema politik. Pokok topiknya adalah perselisihan antara SBY dan JK. Gara-gara backgound partai mereka turut mencampuri urusan pemerintahan. Akhirnya sentimen personal terbawa ke meja kerja. Penulis pada umumnya mungkin akan menjabarkan dari seputar perselisihan dan bagaimana menyelesaikannya. Tapi penulis yang baik bisa sekaligus sampai memberikan prediksi bagaimana kejadian yang akan datang. Misalkan dengan menulis judul ”Mutanologi Hubungan SBY-JK” dengan pesan bahwa kemungkinan pasangan ini akan mengalami perubahan, rekombinasi, redesain, atau reposisi pada struktur politik yang memisahkan keduanya dan membentuk pasangan baru. Sisi lain yang jarang diprediksi orang. Juga diperkuat teori pada buku transpolitika.

Kedua, argumentatif. Makna dari bagian ini adalah bahwasanya tulisan dapat menginformasikan sesuatu yang penting. Berdasar pada data yang akurat dan dapat dipercaya. Bersandar pada aras pijakan yang konkret. Bersumber pada kekayaan intelektual dan pengetahuan yang luas. Hal yang paling mudah dicirikan dari sini adalah keberadaan angka statistik dan nama pakar sebagai sumber. Ingat, alasan dengan penguatnya harus nyambung. Bersinergi. Anda bisa bayangkan bila pendapat anda tidak sesuai dengan faktanya. Misalkan, karena anda salah mencari referensi sumber. Seperti kesalahan hitung data, kesalahan prediksi, sampai pada kekeliruan nama.

Hal tersebut akan berpengaruh sekali terhadap isi tulisan dan kepercayaan publik. Bilas kesalahan terjadi maka taruhannya adalah integritas penulis. berdialektika dengan persoalan secara kritis adalah kuncinya, sejauh mana kita memahami masalah. Seperti pada esai ”Distruption Media” yang menerangkan bahwa telah terjadi guncangan besar yang dilakukan media terhadap tatanan sosial. Mengarah pada yang lebih buruk. Seperti tayangan kekerasan, gosip, dan pornografi. Kalau kekeliruan terjadi, dengan salah menganalisis konten media, atau menyebutkan tayangan apa yang buruk di televisi padahal nyata tidak. Maka salah juga argumentasi anda. Jadi hati-hati. Harus siap dengen respon pembaca.


Ketiga, kretivitas. Di ranah esai keativitas diasimilasikan dengan pengemasan ide dan ragam bahasanya. Ide yang kreaif harus merambah ke dalam konteks yang belum dijamah oleh penulis lain. Berbeda dan baru. Misalkan pada pokok permasalahan bagaimana merumuskan ide ekonomi kerakyatan yang syar’i. Artinya kedua dimensi misal sosial dan konteks religi digabung menjadi solusi segar, bagus, dan kreatif. Bisa saja anda mengambil judul ”Ekonomi Ukhuwah, Solusi Menuju Islamic Welfare State”. Dalam esai itu kemudian anda berpesan yang dimaksud dengan ”ekonomi ukhuwah adalah...”. kreatif karena belum pernah ada yang menamai itu, kemudian jarang terpikir orang.

Untuk dimensi kebahasaan kreativitas dicerminkan dengan sejauh mana anda mengemas pesan dengan intuisi. Contoh paragraf ini semoga bisa merepresentasikan sisi itu, menggambarkan sisi kemiskinan dengan uraian kalimat internalisasi perasaan.
”Menelusuri lebih jauh potret kemiskinan, tempat tinggal rakyat miskin terlalu sempit bila diisi dengan kesedihan, dan terlalu becek bila dihujani air tangisan, tetapi mereka hanya bisa legowo dan nrimo keadaan, tanpa bisa menghindari terjal dan dalamnya jurang kemiskinan. Gurita kemiskinan yang mengakar kuat pada kehidupan rakyat menjadi hal yang harus kita tanggulangi bersama dalam menciptakan kesejahteran”

Keempat, solusi. Tulisan yang baik selalu menyelesaikan persoalan demi persoalan. Bukan sebaliknya malah menimbulkan persoalan baru yang menambah runyam keadaan. Rumasannya sederhana, sejauh mana tulisan itu bisa mempengaruhi orang untuk turut memberi sumbangsih konkret, dari kesadaran ke tindakan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kebodohan menjadi kepandaian. Demikian sebuah tulisan seharusnya.

Saya ambil contoh. Ada tulisan esai berjudul ”Rekoordinasi kebijakan publik, efektifitas dan manfaanya” didalamnya ada solusi tentang ketidakefektifan kebijakan yang selama ini dijalani. Setelah dimuat di salah satu harian terkemuka. Banyak kalangan yang membaca termasuk aparat pemerintah. Dari situ kemudian mereka mengambil pembenahan pada kebijakan yang suda-sudah agar lebih efektif kedepan. Konteks dan solusinya diambil dari apa yang ditulis pada harian tersebut. Kemudian masyarakat yang membaca juga menjadi tahu atau permasalahan yang ada.

Beri Saya Pena

Menulis adalah ilmu yang didapat dari berlatih. Kualitasnya dipengaruhi dari sejauh mana anda tekun belajar dan membaca. Sabar dalam berproses. Dan kritis bersikap. Sejauh itu anda melakukan upaya, maka tulisan anda juga semakin terlihat progresnya. Jadi, kalau anda ingin bisa menulis. Jangan hanya mengeluh tentang kesulitannya, yang harus dilakukan adalah memecahkan kesulitan itu. Jangan berhenti memecahkan persoalan, tapi berusaha mencari jawabannya. Seterusnya anda hanya perlu konsistensi. Karena semangat itu fluktuatif. Kadang malas kadang rajin.

Bawalah selalu pena di baris depan kegiatan anda, dan mulailah mencatat hal terpenting yang memungkinkan anda untuk menuliskan itu. Tangkap semua peristiwa, jadikalah inspirasi dalam lembaran tulisan anda. Bila anda merasa kurang. Berarti mata anda belum terlalu jeli melihat sesuatu. Begitu banyak hal yang bisa dituliskan. Meski hanya peristiwa daun yang jatuh dari pohonnya.Pakailah pandangan multidialektis sebagai penulis yang bisa memediasi pesan dan makna, jangan tutup letupan makna yang terbersit sedikitpun, kalau itu ada singkirkan. Karena anda telah mengubur inspirasi anda secara tidak sengaja. Jadilah orang yang bebas dan berpikir terus menerus.

Kemudian, bila ada waktu luang merenunglah sesekali dari notes yang biasa anda bawa ketika anda pergi kemana-mana. Pikirkan butir demi butir point yang anda catat. Kira-kira mau menulis apa. Baiknya bagaimana. Pikirkan dan sentuh dengan pengalaman yang sudah-sudah sebagai bahan referensi. Kiranya anda akan menjadi penulis yang produktif. Dan dikenal dengan karya-karyanya. Itulah yang banyak dilakukan oleh banyak penulis ternama. Sebut saja Raditya Dika, Gunawan Muhammad, Rosihan Anwar. Sampai kepada novelis. asma nadia, dewi lestari, gola-gong, djenar mahesa ayu, dll

Jadi berhentilah berpikir tentang kesulitan menulis. Lakukanlah. Tidak ada rumus yang paling manjur untuk mahir menulis selain menulis sekarang juga. Menulis sesering mungkin. Dan menulis dengan konsisten. Selamat berkarya....!!




continue reading Ajari Saya Menulis Lagi

Sabtu, 23 April 2011

Mendalami Feature, Memulai Liputan Kembali


Dosa terbesar kita adalah membuat feature yang dangkal, hingga tidak mencukupi rasa penasaran pembaca.

SAAT SENGGANG, DISELA JEDA MENULIS SKRIPSI. Saya selalu menyempatkan diri untuk melakukan verifikasi tulisan kawan-kawan KREATIS. Semua saya baca detil, mulai dari gaya bahasa, karakter penyajian, plot, ritme, emosi, pembabakan, hingga titik dan koma. Tetapi, ketika saya membaca tulisan yang panjang itu, saya mulang rabun. Kemana arah yang ingin difokuskan, seperti sulit melihat benang merahnya. Hampir saja saya lengah untuk melakukan pertanyaan menusuk pada setiap feature. Apa inti yang ingin dibahas dari isi feature ini ?

Padahal sesuatu yang lebih penting dari penyajian adalah aspek substansi yang jarang sekali dipertanyakan selama ini. Dari seluruh proses KREATIS, semua yang mengeluh perihal kesulitan adalah “Bagaimana menulis dengan karakter alur yang panjang ?”. kemudian “Bagaimana membuat kalimat sastrawi ?”. Bukan terlebih dahulu melakukan cek & ricek terhadap seluruh data yang terkumpul dari reportase di lapangan. Apakah sudah menjawab hipotesis awal ? atau tentang kenyataan di lapangan yang berubah sehingga harus menggeser taksiran awalnya. Menjadi seperti apa ? dan bagaimana menyiasati semua ?

Feature yang saya minta memang harus memiliki alur yang panjang. Mencapai 20.000 karakter. Tapi bukan berarti feature yang panjang membuka peluang semakin lebar untuk kabur dari fokus inti tulisan. Atau barangkali menyajikan hal yang tidak penting. Apalagi penyajiannya bertele-tele dan membosankan. Sungguh saya bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuat feature menjadi sedemikian rupa ? atau hanya sekedar kejar tayang ? asal kumpul, sementara kualitas jadi urutan terkahir.

Seharusnya feature dibahas mendalam. Kental dengan narasi (bukan fiksi). Imajinasi harus didasari dari fakta, tidak mengada-ada, juga bukan karangan. Setiap kalimatnya harus mengandung emosi yang menyentuh. Serta hidup dalam bayangan pembaca. Tolak ukurnya adalah membuka seluas mungkin bagi fakta yang berkaitan dengan satu ide yang menjadi target di setiap paragraf. Fakta itu kemudian dijadikan bahan siap saji untuk melakukan narasi secara detil. Asalkan ada bahan, saya yakin semua dari kita bisa bernarasi dengan mudah.

Hal yang menjadi masalah kemudian adalah ketika kalian kekurangan bahan. Kemungkinan penyebabnya hanya dua. Pertama, kita kurang teliti ketika sedang reportase. Kemungkinan ini biasanya karena kelengahan penulis. Ceroboh. Tidak peka terhadap lingkungan. Kurang jeli melihat bahan untuk ditulis. Kedua, tidak mempersiapkan apa yang mau dicari. Ini adalah penyebab fatal. Karena hakikatnya ketika penulis mengalami ini. Ia tidak sedang benar-benar sadar. Kita harus segera mencubit pipi kanan dan kirinya agar kembali sadar. Biasanya jenis orang begini lebih suka reportase karena inging jalan-jalan ketimbang menggali bahan-bahan.

   
SAAT SAYA BELAJAR JURNALISME PADA WARTAWAN TEMPO. Pada acara Journalist Day 2011 di Universitas Indonesia, mungkin saya adalah orang paling cerewet bertanya perihal banyak masalah yang dihadapi pada proses reportase. Hal itu saya lakukan untuk memperjelas hal yang selama ini jadi kendala dari pengalaman di KREATIS. Intinya, dari semua pertanyaan dan jawaban mereka saya simpulkan bahwa reportase itu tidak butuh banyak teori. Hanya memerlukan seorang penulis yang sigap menyiasati masalah jadi kesempatan, merubah desakan jadi peluang. Membuat alasan dengan argumen kuat. Sehingga gerak seorang penulis sulit ditepis oleh rintangan apapun.

Perlu orang yang kreatif, dan tidak mudah patah dengan sedikit kesulitan. Disamping itu, proses reportase juga butuh ketekukan dalam mengumpulkan fakta dan data. Jika hal itu tidak dilakukan, pupus. Semisal dari kasus beberapa orang terdahulu yang angkat tangan menjalani proses KREATIS. Pada akhirnya, tidak mendapatkan apa-apa. Selain lelah. Padahal jika setiap prosesnya kita jalani dengan keinginan untuk belajar. Maka kita akan membentuk karakter diri kita sendiri sebagai pribadi tahan banting. Ini penting, karena saripati hidup adalah bagaimana kita menyiasati masalah sebagai jalan keluar dari satu fase ke fase berikutnya. Sebagai wujud dari self reflection bahwa kita masih mempunyai ketahanan.

Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa reportase menjadi penting ?  jika kita membaca feature, lantas isinya kurang padat (istilah isinya kurang padat itu bermakna tidak mendalam). Atau kurang fakta dan data. Apa yang salah ? proses menulis atau proses reportasenya ? jika diulur dari proses awal hingga sekarang, maka dapat kita jawab, ada yang kurang dari proses reportasenya. Dengan alasan itu pembenahan harus kita mulai juga dari proses reportase. Agar tidak salah untuk yang kedua kali, harus ada perumusan strategi yang matang.  Reportase menjadi koreksi paling utama.

Dalam reportase, seseorang dituntut untuk menggunakan seluruh kemampuan. Kognitif untuk berpikir substansi materi, isi pembicaraan nara sumber, menyiapkan bahan awal, dan harus banyak membaca. Emosi sebagai pembawaan jiwa, saat reportase biasanya orang harus lebih mempertimbangkan aspek ini. Bagaimana ia membawa setiap delik perbincangan menjadi cair. Seorang juga harus mendalami ilmu kejiwaan. Terkesan enteng, tapi jika dipraktekkan akan sedikit sulit. Dan sekali lagi jangan memulai pembicaraan jika lawan bicara kita belum nyaman dan percaya pada diri kita. Ada baiknya anda memperkenalkan diri dan maksud. Itu akan membuat lawan bicara kita nyaman.

Jenis liputan kita adalah in- deep reporting yaitu liputan yang mendalam, jadi prosesnya harus dapat menjadi luaran yang menjelaskan segala aspek tentang fokus dan angle. Jenis pertanyaan yang dipakai untuk analisis biasanya adalah pertanyaan terbuka “bagaimana” dan “mengapa”, sehingga ketika tulisan itu dibaca dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca. Sebagai tolak ukur, seberapa jauh kita membahas suatu topik ? adalah dengan melakukan pembedahan atau verifikasi pada data dan fakta. Jika dinilai tidak cukup berarti harus dicari kelemahannya. Kembali mengulur proses.

SAYA BERBICARA DENGAN ANDREAS HARSONO PERIHAL JURNALISME RISET, dia kemudian menjelaskan sebenarnya itu sudah satu paket dengan rangkaian proses jika jurnalisme saat ini jika seorang wartawan membahas suatu topik secara mendalam. Sayangnya praktek jurnalisme itu sendiri saat ini masih terkesan dangkal dalam menjabarkan suatu topik. Lebih bersifat mengejar rasa penasaran, namun tidak menjawab rasa penasaran itu sendiri. untuk mempersiapkan suatu naskah siap disajikan menjadi tulisan feature harus memiliki standar tertentu. Maka kata kunci itu yang kemudian harus kita bahas kali ini. Pendalaman liputan.

Sementara untuk penulisan feature, saya bisa memperhatikan 3 hal fundamental yaitu: focus, angle, dan outline. Fokus adalah titik perhatian dari naskah itu. Ia berupa sebuah pertanyaan, lagi-lagi tidak meleset dari unsur-unsur 5 W 1H. Jika dimasukkan dalam kasus contohnya “apa yang terjadi di sungai pasanggrahan di tahun 2009 ?”. dalam pertanyaan itu yang menjadi fokus adalah sungai pasanggrahan. Dalam liputan kalian, yang menjadi fokus adalah landmark kota Jakarta. Fokus juga bisa dikatakan spesifikasi, karena dalam sifatnya sudah terdapat pengarahan ke satu sisi menuju angle.

Angle adalah titik masuk. Anda harus mencari sesuatu yang segar, yang belum dikerjakan orang lain, untuk masuk dalam feature penting memperhatikan angle karena pembeda akan menjadi ciri khas. Budaya di redaksi TEMPO selalu membuat istilah “ekslusif” dalam mengambil angle, yang menjadi perhatian adalah menjadi yang pertama sebelum media lain membahas. Kalau perlu menjadi pelopor untuk menggerakkan perhatian masyarakat serta petinggi negeri untuk melakukan perubahan fundamental.

Outline adalah kerangka karangan. Dibuat setahap demi setahap ketika kita melakukan lilputan, ataupun setelah data dan fakta terkumpul. Dalam dunia jurnalisme, ada adagium “jika ingin selamat buatlah outline”. Artinya, sebelum menulis, aspek yang tidak boleh tertinggal adalah outline. Adapun nanti terjadi perubahan, segera menginduk pada dasar outline. Lihat kembali, periksa dengan seksama, koreksi dengan teliti. Dengan begitu, semua proses akan anda jalani dengan sehat. Hasilnya pun maksimal.

Alinea awal suatu feature juga tidak sepadat penulisan esai dan berita. Piramida terbalik. Alinea pembuka feature selalu diawali dengan hal yang sangat sederhana. Bisa suatu peristiwa, bisa tanggal dan hari, bisa juga tempat, bisa saat acara, bisa kelakuan seseorang, atau bisa juga menyengat seperti konflik. Feature kuat di narasi, jika anda tidak terbiasa menulis narasi kemudian menulis feature, anda akan mengalami kesulitan. Maka banyaklah membaca sastra cerpen dan novel, ini akan sangat membantu. 

Resep yang saya dapat dari Andreas Harsono dalam membuat narasi dengan naskah panjang adalah menggunakan 5W 1H, pengembangan akan menjadi pedoman sebagai berikut “who” berubah jadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” berubah menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motif, dan “how” menjadi narasi. Dengan rumusan itu, cobalah memperbaiki liputan anda kembali. Jika tidak mengandung unsur itu, sadarlah bahwa anda telah kesasar.
continue reading Mendalami Feature, Memulai Liputan Kembali

Kamis, 27 Januari 2011

NIlai Kuliah, Bukan Pendidikan


Hari-hari ini, sampailah kita di penghujung semester. Situasi yang kerap kali saya hadapi hampir empat tahun belakangan. Semenjak saya memutuskan untuk kuliah di Kampus yang kata orang kental dengan iklim pendidikan. Namun siapa sangka, ketika saya masuk dan menyelami dalam-dalam apapun yang ada di dalamnya, ternyata semua tidak lebih baik dari yang saya kira sebelumnya. Kita masih berpresepsi kalau pendidikan itu sebatas industri sekolahan. Ada uang, dan kita menjadi guru karena ingin dibayar, jadi PNS, amanlah kehidupan. Urusan murid bisa apa, tak peduli.

Buka saya orang yang idealis. Tidak butuh uang. Atau hanya bisa kritik saja. Saya hanya orang biasa yang mengaharap tumbuhnya nilai positivis, orang melakukan karena semata-mata untuk kemanfaatan. Bukan kepentingan ego dirinya sendiri. Toh kalau kita melihat, semua kejahatan berasal dari hal itu. Korupsi, pembunuhan, sampai tingkat penipuan ditujukan demi memuaskan kepentingan, bukan kemaslahatan. Auguste Comte pernah menuliskan dalam salah satu bukunya, bahwa bila dunia ada dibawah dasar kemanfaatan, maka ia dengan seketika menopang sebuah pembangunan. Itulah tujuan saya. Tidak lebih.

Di ujung semester, hal yang saya tidak suka. Karena di dalamnya banyak orang-orang yang kecewa. Kenapa ? mari saya jelaskan. Dulu sekali ketika saya baru menginjakkan kaki di kampus, semangat amat menggebu-gebu. Tak ayal bermimpi mempunyai nilai bagus adalah hal mutlak yang harus dicapai. Dari situ kemudian saya belajar, siang-malam. Berupaya untuk mendapat nilai maksimal. Akhirnya pun harapan itu terwujud. Saya bersyukur, bisa menjadi orang yang puas karena usaha.

Di sisi lain, saya membaca lingkungan. Teman-teman sekelas beragam rasa menyikapi nilai. Ada yang senang dengan nilai bagus, Ada yang sedih karena nilainya jelek. Wajar saja. Kita semua manusia. Begitulah hukumnya. Tapi ada juga yang kebalikan dari semua. Dengan nilai jelek, ia bisa puas dan biasa saja. Lalu saya berpikir ternyata semua itu tergantung cara kita menyikapinya. Meski begitu, disinilah kita dengan internalisasi makna dalam setiap ruang yang ada dalam hidup. Bagaimana berpikir rasional dengan menyeimbangkan emosi.

Apa artinya ?  saya mengatakan kalau saja kita mampu melihat masa depan. Mungkin dari kita ada yang puas atau putus asa. Disinalh kita diperintahkan untuk berusaha. Rasionalitas artinya berpikir apa yang baik kedepan. Sementara emosi merasakan sesuatu dengan mempertimbangkan sisi humanitas. misalnya pikiran bahwa bagaimana saya dihadapan teman kalau nilai saya, lantas nanti orang tua saya bisa marah, atau takut tidak dapat pekerjaan baik bila nilainya buruk. Semua itu adalah asumsi humanis yang biasanya menutup rasionalitas kita untuk berpikir bagaimana seharusnya kedepan.

Kesedihan saya itu terjadi setiap semester. Ketika nilai itu keluar. Bahkan puncaknya. Sampai-sampai ada salah seorang teman saya keluar dari kampus karena masalah nilai yang membuat ia berpresepsi bahwa dirinya tidak mampu untuk kuliah. Saya sangat menyayangkan itu. Kemudian saya berpikir, ternyata nilai bukan membuat manusia menjadi pembelajar, malah mengubur niatan orang untuk belajar. Nilai tidak membuat orang menjadi pintar, tapi semakin termakan dengan kebodohannya. Bahkan nilai itu bukan pendidikan. Karena tidak memanusiakan manusia.

Lihat saja, berapa orang yang termakan karena nilai. Ada yang bunuh diri segala. Bahkan sebaliknya nilai telah membuat orang sekolah tidak jujur, mencontek. Dari sinilah mereka belajar berbohong. Sampai besar agan begitu. Bahkan ketika menjadi pejabat juga dibawa.  

Namun begitu, sebagai akademisi saya juga paham akan ukuran tingkat evaluasi anak didik. Tapi yang saya sayangkan kenapa bangsa ini membuat format yang terlewat kuantitatif. Hanya dikur dengan angka, bukan kualitatis misalnya mempertimbangkan minat dan bakat anak, atau seperti apa proses belajarnya. Sama dengan kemiskinan lebih diukur dari jumlah bukan kualitas hidup. Disinilai saya merasakan bahwa pemimpin kita tidk sedang dalam ikatan batin rakyatnya. Bila demikian jangan katakan “bersama kita bisa”, karena bagaimana “bisa” kalau tidak merasakan susahnya “bersama” dalam sulitnya hidup.
continue reading NIlai Kuliah, Bukan Pendidikan