Negeri ini tak pernah kehabisan perkara. Kali ini giliran Antasari Azhar, pejabat KPK yang tersandung kasus pembunuhan. Lalu seperti apa citra pejabat dimata khalayak masyarakat bangsa ini.
Menengarai paduan kasus para pejabat, seperti menyamakan persepsi dengan perjalanan seorang penjahat. Belakangan diduga seorang fenomenal ikon 2008 pada salah satu majalah, yaitu Ketua KPK Antasari Azhar terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Seperti gelegar petir disiang bolong, mengagetkan.
Sepertinya, kredibilitas pejabar mulai luntur. Paradigma bahwa pejabat adalah panutan yang mestinya ‘digugu’ juga ‘ditiru’, lusung sudah. Apalagi hanya karena skaldal perempuan, seorang caddy girl di Modernland Golf, Tanggerang. Begitu naif rupanya untuk dijadikan penelusuran lanjut. Esensinya juga tidak setingkat ketimbang mengurus kemiskinan negeri ini.
Kasus kelam para pejabat bukan sekali ini terjadi, yang paling nyaring terdengar memang kasus perselingkuhan dan tindak korupsi, akhirnya adalah pembunuhan. Berbagai nama tersohor ikut masuk lubang hitam, sampai akhirnya tidak mendapatkan tempat di mata masyarakat. Jika ditarik lebih jauh ihwal citra adalah imbas dari perilaku, wong bejat, yo bejat wae citrane…
Prolog ringkas tentang jurnalistik ilmiah cukup diwakili bahwa ini adalah suatu hal yang baru, bahkan satu-satunya di Indonesia. Karena setelah saya cek ulang dari beberapa literatur buku dan dunia virtual memang belum ada definisi secara khusus mengenai tema diatas. Saya baru diilhami saat melakukan perenungan setelah mempelajari mitologi ilmiah dan materi jurnalistik secara terpisah dengan konsep hibridasi cultural studies.
Ternyata keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ibarat menimbang sesuatu, hal yang perlu diperhatikan adalah takaran yang diasimilasikan dengan kontens. Dalam mitologi ilmiah, gagasan dikemas amat struktural, bahkan dilarang keras untuk melanggar aturan main sistematika penulisan baku. Setiap delik plotnya sudah diatur dan ditetapkan sebagai kaidah umum.
Belum lagi, dialektika intelektual di ruang penalaran ilmiah yang sedikit kaku, sakral dengan sistematika yang memenjara alternatif lain diluar mazhab ilmiah struktural, bahkan sesekali menimbulkan efek jenuh bagi setiap penganut dan pembacanya. Walaupun selentingan tersebut tidak sepenuhnya benar, ada sedikit ilham yang dapat diambil terkait mitologi ilmiah dan alternatif dalam merespon paradigma tersebut dengan dinamis, luwes, dan efektif.
Hal lain yang fundamental dalam kaitannya dengan hibridasi ranah ilmiah dan jurnalistik adalah aspek praksis. Belum terdapat suatu mekanisme tentang disiplin ilmu teknis lapangan pada mitologi ilmiah. Contohnya, dalam bab metodologi penulisan, pokok bahasannya meliputi Metode Penulisan (pengolahan data dan sumber), tempat pelaksanaan, dan waktu penulisan. Sementara, bagaimana caranya belum dibahas secara spesifik oleh mitologi ilmiah. Contoh, teknik observasi, teknik investigasi, dan analisis sosio-ekologis objek penelitian.
Sementara dunia jurnalistik memberikan rangkaian pelengkap dalam menjawab kekurangan tersebut. Teknik wawancara untuk observasi lapangan, investigasi untuk pendalaman masalah pada objek penelitian, teknik pengembangan dan pendalaman isu untuk merangkai gagasan dalam pembahasan, dan teknik reportase untuk menunjang analisis sosio-ekologis objek penelitian. Disamping itu, jurnalistik juga berguna dalam membantu mencarikan informasi tentang isu yang sedang berkembang.
Catatan penting lainnya bahwa setiap ide dan gagasan yang menilik suatu permasalahan untuk dilerai secara lebih menarik dan efektif agar masuk dalam peminatan pembaca. Hal tersebut penting, karena transfer gagasan meliputi paradigma yang membentuk harus mempertimbangkan keseluhan ide dikemas secara utuh dan tidak menjenuhkan. Bahasa jurnalistik biasanya sedikit lugas, variatif, dan sedikit provokatif. Dengan begitu muatan ilmiah yang dikemas dalam bahasa jurnalistik dapat lebih diterima masyarakat umumnya.
Dari beberapa argumentasi tadi, saya merumuskan sebuah hibridasi konseptual lintas dimensi antara jurnalistik dengan mitologi ilmiah, maksudnya ada proses penciptaan atau replikasi bentuk mutan lewat perkawinan silang yang menghasilkan entitas campuran, tidak lagi utuh dan kemudian membentuk wujud baru. Tetapi tetap menyisakan sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawin-silangkan. Hal itu bernama jurnalistik ilmiah.
LKM Dan Peralihan Dinamis
Semenjak didirikan, LKM mengalami berbagai perubahan. Diskusi menjadi kajian, penulisan meluas dalam beragam bentuk (fiksi dan non fiksi), retorika menjadi public speaking. Artinya kita sadar bahwa peralihan adalah sebuah keharusan untuk menjunjung perubahan yang dinamis. Agar tidak punah kemakan orientasi zaman, lebih adaptif melawan persaingan, dan menjadi asa bagi kemajuan masa depan.
Tidak ada salahnya saya menyarankan untuk menjamah bentuk baru ke ranah jurnalistik ilmiah dari tahun ini kedepan. Bentuk konkretnya adalah jurnal ilmiah yang bercermin pada balairung UGM. Beberapa alasan lain yang mungkin dapat menjadi pertimbangan. Pertama, secara tidak langsung kegiatan umum LKM bersinggungan dengan ranah jurnalistik, contohnya KREATIS dengan investigasinya, Public Speaking dengan Teknik Reportasenya, dan kajian dengan bahasan isu yang aktual media masa.
Kedua, khususnya dalam konotasi penulisan mencakup ranah yang cukup luas dan etis untuk dikaitkan dengan dunia jurnalistik. Kita terlalu sempit memaknai dunia dengan paradigma yang biasanya ada, jarang melihat jauh keluar konteks (out of the box). Penulisan bukan hanya esai dan karya tulis (non fiksi), tapi luas seperti tajuk, berita, resensi, dan feature. Sementara untuk fiksi diantaranya cerpen, novel, dan puisi.
Jurnalistik ilmiah mengarahkan konsistensi LKM dimasa depan, sebagai organisasi yang harus tetap hidup dengan kualitas tinggi. Kajian kita seringkali menguap tanpa wujud, sehingga tidak ada jejak sejarah masa depan untuk direfleksikan. Dengan begitu dianggap perlu menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah media alternatif, dengan mengagas jurnal LKM yang memuat ilmu pengetahuan sebagai kekuatan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat seperti diungkan oleh Francis Bacon.
Tantangan Informasi
Selanjutnya yang harus dipersiapkan adalah penguatan internal terkait masalah kecemasan informasi pada LKM sendiri. Sebab, cerminan Jurnal Balairung UGM dapat dikatakan mumpuni dari segi kualitas. Mereka dapat merubah wacana menjadi wawasan. Dapatkah kita bersaing dan kemudian mengungguli ranah pemikiran konco-konco balairung UGM. Tergantung kerja keras kita berusaha.
Menurut Alwin Dahlan, kecemasan informasi merupakan sikap pasif dari tantangan perubahan yang dinamis. Bentuk konkretnya dapat berupa. Pertama, sikap ketidakberdayaan menghadapi informasi, hal ini diakibatkan oleh lemahnya analisis, bingung menghadapi serangan informasi yang bertubi sehingga sulit mencari prioritas yang akhirnya tidak berbuat apa-apa, atau kurang wawasan sehinga sulit melakukan sistesis lintas diskursus. Kedua, kecemasan akan kekurangan informasi. Hal ini berkaitan dengan sumbe-sumber informasi, jauhnya kita mempengaruhi daya kritis.
Ketiga, kekurangan tentang makna dan nilai informasi. Pandangan yang sempit tengang arti sebuah fenomenologis seringkali berbenturan dengan paradigma umum, akhirnya substansi ideal tidak telihat begitu jelas, dalam arti takut berbeda karena tabu dengan nilai dan norma seharusnya. Keempat, kecemasan terhadap teknologi informasi, hal ini berkaitan dengan penggunaan sarana informasi virtual. Channel pendukung dan komunitas pengetahuan.
Terakhir, dalam konsepsi optimistis, bila fakta adalah pernyataan. Maka yang dimaksud dengan penjelasan fakta adalah makna pernyataan yang mengarah pada kesiapan kita melawan tantangan informasi, merobek kecemasan dan mengubahnya menjadi kerja keras. Semoga faktanya menjadi suksesi bersama. Membuat jurnal mahasiswa ala LKM UNJ dengan kekhasan alitik ilmiahnya.
Tidak hanya ekonomi yang dilanda krisis, pendidikan pun berada dalam kondisi yang cukup krusial. Menjadi rapuh, sampai nasib bangsa ini benar-benar terpuruk dalam kebodohan generasi secara sistemik.
Melihat realita perubahan sosial saat ini, siklus sistem nilai telah mengalami transisi yang cukup signifikan. Saat itulah krisis melanda organ masyarakat, mereduksi kearifan budaya, menjadi tatanan kleptofobi. Seterusnya masyarakat akan mencabut nurani memandang gejala disekelilingnya.
Krisis merupakan suatu iklim menyeramkan. Mendahului transisi peradaban manusia. Lalu mencipta kesengsaraan. Beberapa pakar peradaban seperti Arnold Tonybe mengatakan krisis merupakan dampak dari ketidakmampuan manusia menanggapi tantangan perubahan lingkungan dari sisi interaksi dan budaya.
Dalam konteks pendidikan, krisis saya maknai dengan hilangnya ruh orientasi untuk humanisasi. Karena itu adalah inti dari proses pendidikan. Patologi komersialisasi telah mengulang sejarah pendidikan jaman penjajahan dulu. Menjadikan pendidikan semakin sulit dijangkau kaum miskin.
Pada akhirnya, secara agregat bangsa kita pun akan kehilangan daya saing. Karena tingkat pendidikan akan menentukan kecakapan keterampilan dan wawasan semakin menurun. Akan semakin kecil generasi bangsa ini yang cerdas nantinya.
Polemik Pendidikan
Bila terus kita telusuri, masalah pendidikan kita seperti benang kusut yang tak berujung. Sulit ditarik kesimpulan, bahkan linglung harus membenahi yang mana. Mulai dari anggaran pendidikan 20 persen yang tidak dikelola dengan baik, sampai akhirnya mendapat predikat pengelolaan terburuk sedunia (Kompas, 2/04/09). Dana BOS banyak tersendat dikantong birokrat.
Angka partisipasi pendidikan cukup memprihatinkan, sekitar 0,5 persen anak usia SD, 45 persen usia SMP, dan 60 persen usia SMA tidak bersekolah. Secara definitive angkanya mencapai puluhan juta anak. Berbeda dengan Negara lain, seperti Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan yang hampir seluruhnya sudah bersekolah dengan fasilitas yang mumpuni.
Dalam standard penilaian UN pun masalah itu terjadi, angka rata-rata tinggi menimbukan masalah baru, depresi bagi siswa. Padahal pendidikan seharusnya dijalani dengan “fun”, sebagaimana termaktub dalam buku Revolusi Cara Belajar. Secara teoritis UN pun dianggap belum cukup mewakili minat dan bakat anak untuk mendapatkan tempat.
Dari sekian masalah diatas, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa krisis dengan pendidikan seolah berdamping seiring, walau secara substansial memiliki karakter yang berbeda. Dalam pendidikan krisis dengan hilangnya ruh orientasi humanistik mengakibatkan pendidikan seperti komoditas.
Nasib Bangsa
Pendidikan tak ubah seperti wadah oportunis yang mudah dijadikan tumpangan untuk sebuah tujuan yang melenceng. Lau bagaimana dengan nasib bangsa ke depan ?
Masihkah impian Ki Hajar Dewantara itu terpatri dalam setiap penyelenggaraan pendidikan negeri ini. Pendidikan menuju perikehidupan bersama dengan memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Masudnya tidak tergantung pada orang lain, berdiri sendiri, dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Saat ini, impian tersebut hampir tidak ditemui pada level bawah masyarakat, pendidikan seperti momok yang jauh dari angan. Karena mahal dan penuh dengan intrik komersial. Siswa bukan dijelali ilmu, tapi proyek guru dari jalan-jalan sampai iuran gedung yang tiada habis.
Berkaitan dengan hal tersebut, mari kita analisis nasib bangsa kedepan untuk sama-sama paham bahwa seharusnya pendidikan adalah sektor fundamental membangun perdaban suatu bangsa. Bila jepang runtuh pada peristiwa bom atom Hiroshima-nagasaki (1945), yang dibangun pertama kali adalah sektor pendidikan untuk bangkit menjadi Negara maju.
Indonesia tak kunjung sadar, sampai keadaan menuntut kita menjadi semakin tidak berdaya terhadap segala perubahan. Meski kita sudah merdeka 60 tahun, penjajahan masih terjadi. Korelasi pembangunan Negara dengan pelaku inti sumber daya manusia akan terputus, dan akhirnya menimbulkan disparitas orientasi.
Samapi taha ini, arah pembangunan kita akan mudah dikendalikan oleh pihak asing, dan tujuan Ki Hajar Dewantara pupus. Solusi dari keadaan tersebut adalah: Pertama, timbulkan jiwa patriotis dalam semangat belajar. Hal tersebut akan mengingatkan kembali penyelenggaraan pendidikan dengan filsafah Negara.
Kedua, menjadikan pendidikan sebagai alat perlawalanan atas bentuk penjajahan baru di bangku sekolah. Misalnya, mentang iuran yang tak jelas ujung pangkalnya terhadap penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, merancang model pembelajaran dengan pendekatan minat, bakat, serta kebutuhan siswa dalam transisi perubahan yang semakin dinamis.
was born in Jakarta, 13 March 1987. He has been growing as a learning individual who always asks about the default of everythings and its causality. Reviewing and writing are the clashes of his curiosity. He graduated from Faculty of Economics in The State University of Jakarta. He is now an editor in chief of Daksinapati Journal - scientific journal of humanities. And he is a writer in Bisnis Indonesia.