Kamis, 16 April 2009

Menyoal Netralitas Pemilu 2009


Legitimasi pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan tanggal 9 April 2009 diklaim sebagai pemilu terburuk sepanjang era reformasi. Bahkan terancam gagal karena jauh dari sikap jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.

Permasalahan yang muncul pasca pemilu legislatif adalah diketahui banyaknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kehilangan hak konstitusinya untuk memilih, jumlahnya mencapai jutaan suara. Padahal hak memilih adalah amanat hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Pelanggaran atas hak memilih berarti melanggar konstitusi dan harus masuk proses pengusutan ulang oleh penyelenggara pemilu.

Tidak hanya itu, pelaksanaan pemilu juga disinyalir banyak diwarnai kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi sistemik sehingga mengakibatkan kualitas pemilu mejadi buruk, bahkan terancam digagalkan. Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh beberapa tokoh dan partai politik yang berjumlah 14 perwakilan dari 38 peminpin partai dengan melakukan deklarasi sikap terhadap pemilu legislatif 2009. Arahannya adalah aklamasi politik yang tidak netral oleh Pemerintah, KPU, dan KPUD.

Tuntutannya antara lain. Pertama, mendesak KPU, Banwaslu, dan Pemerintah menindaklanjuti semua laporan kecurangan pemilu dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran /kecurangan yang terjadi. Kedua, menjamin adanya hak konstitusi warga Negara untuk memilih, khususnya bagi mereka yang tercabut hak-haknya karena DPT. Karena itu, DPT harus diperbaiki untuk memastikan setiap warga Negara memiliki hak untuk memilih demi tercapainya demokrasi yang partisipatif. 

Permasalahan diatas bermuara pada inkonsekuensi Pemerintah, KPU, dan Banwaslu dalam peneyelenggaraan pemilu. Beberapa pihak menilai hal tersebut tidak sesuai dengan netralitas nilai yang dijunjung. Pasalnya, beberapa implikasi mulai muncul, bila semua desa dipetakan terlihat adanya korelasi positif antara desa yang banyak menerima bantuan langsung tunai dan peta kemenangan Partai Demokrat. Sebaliknya, di daerah partai demorat berpotensi kalah, terutama di kota besar, banyak warga yang tidak masuk DPT.

Dari polemik tersebut, kiranya dapat dianalogikan bahwa Pemilu sekarang tak ubahnya mengalami bureaumania, berupa kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi, nepotisme dan politisasi suara rakyat. Birokrasi cenderung dijadikan alat status quo untuk mengkooptasi masyarakat, guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik partai dan rezim berkuasa. Hal tersebut yang dianggap tidak netral.

Agaknya hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Antlov-Cederroth dan Charles E. Lindbolm bahwa praktik politik di negara-negara berkembang yang menunjukkan pemihakan pada birokrasi (pegawai pemerintah) pada suatu partai politik, telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dan birokrat itu sendiri. Keasyikan birokrasi bermain dalam politik, pada titik tertentu, telah menghasilkan kecenderungan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral. Hal ini akan menjadi perhatian kita bersama untuk perbaikan.

Pada intinya harus ada peneyelesaian hukum dan pembuktian tentang adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kehilangan hak konstitusinya untuk memilih, kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi sistemik harus segera diusut sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Peran netralitas pemerintah harus segera diperbaiki, sesuai denga pendapat Wilson bahwa pemerintah berfungsi melaksanakan kebijakan politik, memastikan regulasi berjalan dengan baik.

Sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik dan masuk pada aspek netralitas nilai, apalagi berpihak pada satu Partai Tetentu dengan memanfaatkan wewenang pemerintahan. Bila hal tersebut masih terulang, bukan tidak mungkin prahara Orde Baru dengan hegemoni kekuasaan menghasilkan kepemimpinan yang tiran dan penuh dengan egoisme terhadap pemulihan kondisi bangsa. 

continue reading Menyoal Netralitas Pemilu 2009

Rabu, 25 Februari 2009

Mutanologi Hubungan SBY-JK


Penantian DPD Golkar untuk menunggu pinangan SBY berakhir dengan lontaran JK yang akan maju sebagai calon presiden pada pemilu mendatang. Hal tersebut ditaksir mirip dengan parodi mutanologi politik, yang mengakibatkan efek diskontinuitas dalam pemerintahan.

Dimulai dari Wakil ketua umum Partai Demokrat (PD) yang mengeluarkan pernyataan nyeleneh, kemudian meyakitkan kalangan Golkar, dan ketua Dewan Pembina PD Yudhoyono tidak menggelar jumpa pers khusus untuk menegur dan kemudian meluruskan kekeliruan Ahmad Mubarok sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang memperkirakan perolehan suara Golkar dalam pemilu legislatif April sekitar 2,5 persen saja.

Maka Ekses dari peristiwa tersebut menimbulkan beragam tanggapan, kasus itu dijadikan pelatuk untuk memprovokasi pecahnya aliansi SBY-JK, seperti efek mutanologi yaitu tumpang-tindihnya hubungan politik yang mengakibatkan efek diskontinuitas pada pemerintahan. Kemudian munculah beberapa respon, diantaranya PKS yang rencananya ingin menyandingkan JK dengan Hidayat Nur Wahid, atau hasil survei Rapimnas Golkar 2008 yang menyatakan bahwa JK lebih cocok dengan Hamengku Buwono X.

Singkatnya, hal tersebut merupakan gejolak wacana perpolitikan yang mesti ditengarai efeknya dalam rentan waktu mendekati pemilu 2009. apalgi pemerintahan harus terus berjalan, walau menjelang pesta demokrasi. Carut-marut negera juga masih rentan. Biasanya semakin dekat hari pelaksanaan pemilu, iklim politik akan semakin sensitif. SBY-JK yang awalnya tenang ditengah panasnya gemuruh PDIP yang sibuk mencari pasangan Megawati menjelang dan sampai Rakernas PDI-P di Solo, kini disusul aliansi SBY-JK yang goyang.

Konflik SBY-JK

Dalam sejarah pemerintahan SBY-JK (2004-sekarang) bukan saat ini saja terlihat retak hubungan keduanya, tercatat lima kali sudah konflik itu terjadi.

Pertama, pada agustus 2005, JK diragukan dapat, menyelesaikan perjanjian damai Aceh di Helsinki. Kemudian SBY meminta menko Polhukam Widodo AS, penasihat dalam tim itu untuk berpidato sedangkan JK meminta Hamid Awaludin yang merupakan juru runding untuk berpidato. Kedua, pada Juni 2007 kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yeuw ke Indonesia memuji konsep pembangunan Indonesia yang dijelaskan kepadanya dan menyebut JK sebagai the real president. Membuat SBY iri hati.

Ketiga, pada September 2008 Dino dalam konferensi pers mengatakan Presiden SBY menugaskan Wapres JK membantu penyelesaian konflik Thailan Selatan, atas penjelasan itu Wapres menegur juru bicara presiden Dino Patti Djalal yang telah memberi keterangan soal pertemuan penyelesaian konflik Thailand Selatan. Keempat, pada februari 2008 dalam kunjungan menlu AS Hillary Clinton, JK ingin bertemu Hillary karena ingin menitipkan proposal perdamaian Palestina-Israel, tapi oleh protokol Deplu tidak diagendakan.

Kelima, pada februari 2008 juga pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ahmad mubarok soal kemungkinan perolehan suara golkar hanya 2,5 persen dalam pemilu 2009 langsung ditanggapi JK, selanjutnya SBY melanjutkan konferensi pers meminta maaf. Bisa jadi saat ini adalah puncak dari domino konflik SBY-JK, apalagi dengan dekatnya pemilu 2009.

Pelajaran Mutanologi Politik

Beberapa hal yang mungkin dapat dipetik pelajarannya dari peristiwa ini adalah: pertama, kisruhnya iklim politik dan pemerintahan bila seseorang merangkap jabatan inti dari keduanya. Hal ini ada pada SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan JK Sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sedangakan di pemerintahan mereka memiliki posisi sebagai presiden dan wakil. Seterusnya rangkap jabatan sentral harus diatur lebih ketat dalam undang-undang agar tidak tumpang-tindih.

Kedua, terjadinya provokasi politik yang tidak sengaja akan menimbulkan iklim politik menjadi panas. Ahmad Mubarok sebagai Wakil Ketua Umum PD menimbulkan efek invasi dari partai Golkar yang kembali menghasut JK untuk siap mencalonkan diri menjadi presiden. Seterusnya tindakan elit partai politik sekecil apapun harus lebih hati-hati dalam kaitannya dengan persinggungan  isu yang belum tentu benar.

Dari dua pelajaran itu dapat diramal Hubungan SBY-JK akan mengalami Mutanologi pasca pemilu 2009, yaitu perubahan, rekombinasi, redesain, atau reposisi pada struktur politik yang memisahkan keduanya dan membentuk pasangan baru. Hal ini dapat masuk dari dorongan partai masing-masing, atau informasi media yang mempengaruhi masyarakat dan terus membahas tentang efek diskontinuitas ini. 
    
Pilihan politik apapun dari SBY dan JK tentu sah-sah saja. Namun, kita sebagai masyarakat hanya berharap agar pilihan-pilihan itu tidak mengorbankan kinerja pemerintahan hasil pemilu 2004 yang masih terus berlangsung sampai akhir Oktober 2009 mendatang. Itu artinya, kawin-cerai politik boleh-boleh saja asalkan kepentingan kolektif bangsa kita tetap menjadi prioritas.
   
continue reading Mutanologi Hubungan SBY-JK

Jumat, 20 Februari 2009

Insting Penulis


Aktivitas menulis dapat dilakukan siapapun, untuk menambah ketajaman analisis dan mendalami isu, penting memiliki naluri.

Kegiatan menulis bukanlah sebuah kegiatan yang berdiri sendiri. Untuk memulai tulisan paling tidak ada berbagai modal yang harus dimiliki oleh penulis. Membaca, diskusi, dan melatih diri untuk menulis adalah modal yang sekaligus roda perputaran yang berpengaruh terhadap kualitas pemikiran. Singkatnya, orang tidak akan dapat menulis kalau tidak membaca, lemah daya analisa karena kurang mengkaji.

Integritas dari kegiatan ini seringkali timpang tidak seimbang. Akhirnya, secara tidak sadar kita telah membodohi diri kita dengan alasan. Malas untuk menulis, tidak ada waktu mengkaji, atau pusing baca buku. Itulah yang sering kita lakukan. Lalu, bagaimana peradaban diri ini bisa berkembang lebih maju, bersiaplah ditindas perkembangan zaman, jika terus dihalang oleh “setan malas”. Dalam tulisan ini pembahasan kita akan mentikberatkan pada pembentukan habit, mengasah insting atau naluri penulisan.

Dasar dari insting penulis adalah “semua bisa jadi inspirasi”. Apapun yang dialami, dilihat, dibaca, didengar, dan dirasakan bermuara pada dasar tulisannya kelak. Bila hal tersebut sudah menjadi nafas, maka proses pembentukan insting pun berjalan. Hal penting lainnya adalah proses internalisasi, yaitu teknik mencerna informasi lebih hidup. Melakukan analisis inter-ekstra disipliner, merubah paradigma lama menjadi baru.

Insting Penulis

Dalam studi humanisme dan humaniora, yaitu bidang ilmu khusus yang mempelajari hakikat kemanusian, terdapat insting dasar yang dimiliki manusia untuk hidup. Hal inilah yang ingin saya asimilasikan dengan prikehidupan seorang penulis. Adapun insting tersebut: pertama, insting eros (survival), yaitu hal yang mendorong penulis untuk terus hidup dengan karya.  Mirip dengan kebutuhan primer, yaitu membaca, rekayasa inovasi, survival, pengalaman, inspirasi, kreativitas, dan sarana prasarana penunjang.

Kedua, Insting dominandi. Yaitu dorongan yang dapat memicu dan memacu kehendak seseorang untuk membuat suatu karya yang bermanfaat dan bernilaiguna. Bukan hanya sekedar mendapat prestige, atau ajang lomba belaka. Tetapi setiap karya yang dibuat harus relevan dengan dinamika kehidupan dan lingkungan, artinya ada kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dengan solusi yang diberikan. Dalam ilmu discourse analysis dikatakan bahwa tulisan adalah gambaran keadaan/lingkungan dalam periode tertentu pada eranya.

Ketiga, Insting possendi. Yaitu dorongan yang dapat memicu dan memacu seseorang untuk berprestasi dan berhasil dalam berkarya, memberikan timbal balik terutama bagi lingkungan terdekatnya. Seperti sahabat, keluarga, dan pasangan hidupnya. Implementasinya dalam proses pembentukan insting adalah dalam perolehan inspirasi secara alamiah melalui interaksi sosial. Dapat berupa penelitian tentang perilaku masyarakat, atau fiksi berupa novel, cerpen yang mengulas kembali kisah hidup, dll. 

Keempat, Insting belajar. Menurut kodratnya manusia mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar, mampu berfikir mandiri, memiliki jiwa kompetitif dan kretaif. Sehingga ia pada akhirnya mampu mencapai pemenuhan diri yang optimal. Dengan begitu, sampai mati pun kegiatan belajar harus tetap dilakukan, karena tanggung jawab dan pemenuhan lahiriyah manusia. Apapun yang dilakukan, belajarlah yang menjadi orientasi utama.

Bekal Pemenuhan Insting

Untuk bekal mengasah insting penulisan, ada beberapa hal yang sekiranya dapat menjadi perhatian membentuk pola piker dalam bertindaka. Pertama, sikap keingintahuan dan ketekunan. Seseorang tidak akan termotivasi untukmencari tahu kalau di dalam dirinya tidak ada keinginan untuk mengetahui. Kapan, bagaimana, mengapa, merupakan teman yangs sejatinya berdamping dalam proses pembentukan insting. Kegigihan membuat seorang penulis tidak pernah berhenti menjawab pertanyaan.

Kedua, kepekaan dan keterlibatan. Penulis bukanlah mereka yang hidup dengan “kacamata kuda”. Ia “hidup” dimana saja, bergaul dengan siapa saja, serta memiliki kepekaan. Ketiga, memiliki kekayaan bahan (resourcefulness). Kekayaan bahan ini diperoleh dari banyak tempat, mulai dari buku-buku, wawancara, memandang realitas, keterlibatan dengan hal dan aktivitas. Intinya, berusahalah untuk dekat dengan sumber informasi.

Keempat, seorang penulis tidak ingin menikmati semua jawaban atau gagasan yang ia dapat dengan susah payah seorang diri. Penulis harus memiliki jiwa untuk berbagi dengan orang lain, yang belum membutuhkan jawaban dan pertanyaan-pertanyaan. Selain itu, seorang penulis juga harus memiliki jiwa sosial yang tinggi dalam kaitannya dengan sikap ideal. Sementara hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah mood dan inspirasi.

Mood dalam dunia penulisan merupakan suatu rasa yang mendukung berkembangnya gagasan atau ide dasar menjadi lebih terkonstruksi. Namun bukan untuk ditunggu, ia harus diciptakan dengan olah rasa atau mendalami intuisi. Sedangkan inspirasi dapat dating kapan saja. Oleh karena itu kita harus selalu membawa ikatan inspirasi dengan “mind book”. 
continue reading Insting Penulis

Jumat, 16 Januari 2009

Meramal Perubahan 2009


Transisi pergantian tahun dengan beragam perayaan seolah menjadi rutinitas erat yang kita jalani, sekarang bergilir ke 2009. Ketika harapan menjadi tumpuan banyak orang menjalani hidup, dan mimpi seolah tidak lepas dari angan kemajuan. Hal yang positif dari sebuah perjalanan siklus kehidupan. Bahwa kita harus berubah lebih baik, minimal tidak sama seperti apa yang sudah kita jalani.

Namun, tidak semua orang berfikir dan bertindak ihwal perbaikan. Banyak yang meramal bahwa tahun 2009 adalah tahun malapetaka, penuh musibah, dan krisis. Ironisnya, keterkaitan itu erat dengan dunia mistik yang seringkali irasional. Banyak pula yang mencari arti transisi awal tahun baru dengan glamoritas, menjajaki pentas hiburan dan kurang mengingatkan kita pada esensi makna pergantian tahun. Lalu apakah perayaan awal tahunan harus dilewati tanpa makna ? mari kita lakukan rekleksi strategic menuju perubahan.

Untuk merencanakan suatu perubahan, lebih dulu kita refleksikan apa yang ingin dirubah. Kondisi bangsa menjadi fokus menempatkan tumpuan harapan. Mengingat kembali tahun 2008, dinamika permasalahan dari berbagai diskursus masih menyelimuti bangsa kita. Dalam dunia politik misalnya, pelaksanaan PILKADA masih diwarnai kecurangan, persaingan dimaknai untuk saling menjatuhkan. Bukan mengarahkan pada peningkatan kualitas berpolitik.

Tahun 2009, iklim perpolitikan nasional akan memanas, masing-masih partai mulai merancang argumentasi konkret strategi perubahan bangsa. Hal ini harus disikapi secara cerdas oleh rakyat dengan analisis politik kritis, mana yang paling relevan untuk keadaan dan kebutuhan bangsa saat ini. Bagi partai politik, tantangan terbesar adalah konsistensi dan komitmen perubahan haarus terus dijaga. 

Sementara itu, dunia pendidikan masih mengalami tantangan besar peningkatan kualitas dan pemerataan akses. Belum lagi kasus kekerasan dan dehumanisasi baik dilakukan antar siswa, atau pun guru kepada siswa. Hal yang seharusnya tidak terjadi, karena pendidikan adalah proses humanisasi. Kemudian, kontroversi UU BHP dan implementasi anggaran pendidikan 20% dari total APBN yang masih tersendat.

Tahun 2009, konsentrasi dan rencana peningkatan mutu, kualitas, dan pemerataan akses pendidikan harus terus gencar dilakukan melalui berbagai program. Didukung oleh implementasi anggarakan pendidikan 20% dari total APBN dengan pengwasan ketat masyarakat dan adanya transparansi oleh pelaksana. Sementara kontroversi UU BHP masuk ke tahap judicial review, mengkritisi secara filosofi dasar dan implementasi UU BHP dalam uji materi untuk akhirnya dilakukan banding, revisi atau penolakan.

Di lain hal, perekonomian nasional 2008 masih dilanda krisis. Lebih lanjut, depresi seperti ini diproyeksikan akan mengalami kontraksi hingga tahun 2009, bahkan semakin dalam dan melebar 2010. Masuk melalui ranah ekonomi neoklasik IMF, nilai tukar yang semakin menurun, pasar modal yang baru saja dinobatkan masuk dalam peringkat keempat terburuk di Asia dengan level 1.340,89 turun 51,17% dibandingkan akhir 2007. Sementara dunia pebankan kita masih mengalami jalan buntu bagaimana mengalirkan likuiditas ke dunia usaha.

Tahun 2009, nampaknya strategi kemandirian ekonomi harus dilakukan melalui berberapa hal. Pertama, kebijakan ekonomi nonsiklis dimana kebijakan APBN dan moneter menjadi saling terkait dan terpadu. Kedua, hindari kebijakan neo klasik dan kerjasama dengan IMF, jika tidak mau terjerembab dalam kubangan krisis sekarang.

Ketiga, terapkan kebijakan blanket guarantee tanpa batas oleh pemerintah di sektor-sektor fundamental perekonomian untuk mengukuh kepercayaan publik yang kemudian secara efek bola salju memperbaiki kelesuan iklim untuk terus menjalankan roda perekonomian.

Kemudian mencermati aspek sosial 2009, nampaknya jumlah kemiskinan akan semakin meluas dan bertambah, pasalnya PHK secara besar-besaran akan membuat guncangan terhadap stabilitas sosial. Dengan begitu, permasalahan sosial seperti antrean zakat, dinamika BLT, kejahatan, dan benturan kebijakan pengentasan kemiskinan akan terus mewarnai bangsa ini. Ditambah konflik daerah dan gerakan separatis yang semakin menjadi.  

Perubahan Terencana

Intinya pada awal pergantian tahun ini kita harus merencanakan perubahan, seperti yang telah dikatakan Auguste Comte bahwa perubahan itu harus direncanakan dan ditujukan ke arah yang dikehendaki. Maka perlu diingat untuk sebuah perubahan mesti diiringi oleh pertama, optimisme sikap yang membentuk iklim positif. Kedua, komitmen perubahan untuk menjaga stabilitas upaya. Ketiga, norma dan etika dalam kaitannya dengan itikad baik seperti yang dikatakan oleh Manhaeim bahwa inti dari proses prunahan adalah perubahan norma-normanya.   

Tapi agak menarik rupanya jika kita menengok nalar kita pada revolusi perubahan yang ditawarkan Rasulullah Muhammad saw. Bahwa mereka yang hari ininya sama dengan yang kemarin adalah yang merugi, mereka yang hari ininya lebih buruk dari hari kemarin benar-benar binasa. Hanya ada satu pilihan etika perubahan dalam Islam, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.

Itulah konsep untung rugi yang selain memiliki perspektif keduniaan, tapi juga persepektif keakhiratan yang kuat dan jelas. Itu sebabnya dengan gaya bahasa yang lain, tapi memiliki objektif yang sama, mujaddid Pakistan Dr. Sir Mohammad Iqbal, mencoba menyusunnya dalam sebait kata mutiara:

Berhenti, tidak ada tempat di jalan ini
Sikap lamban, berarti mati
Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke muka
Mereka yang menunggu, sejenak sekalipun
Pasti tertinggal...,


Jadi, esensi dari sebuah perubahan adalah selain arah yang jelas tapi juga objektif kondisi yang lebih baik menjadi satu dari dua mata uang logam yang sama, kedua sisinya tak terpisahkan.

Kalau kemudian ditahun 2009 ada tokoh politik yang berhasil merebut tampuk kepresidenan, adalah buah dari pergolakannya mengolah tanda-tanda zaman. Termasuk perusahaan swasta, BUMN, UKM, Koperasi dan lembaga apapun yang berhasil eksis, bahkan unggul dibandingkan lainnya, adalah hasil penalaran yang daam soal esensi dinamika persaingan.

continue reading Meramal Perubahan 2009

Senin, 22 Desember 2008

Refleksi Strategik Kemandirian Ekonomi


Ideologi kapitalisme dengan doktrin laissez-faire telah membuat guncangan besar dalam tatanan perekonomian global. Asumsi ’the invisible hand’ pada pasar, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pasar terbukti tidak mampu mengatur dirinya sendiri, kemudian timbul keajegan pada kelembagaan pasar karena kredit macet. Rakyat miskin di Amerika Serikat diarahkan memiliki rumah namun dengan mekanisme pasar dan bukan dengan pendekatan intervensi terhadap pasar itu sendiri, yaitu peran pemerintah.

Pemerintah Amerika Serikat menggunakan pendekatan rekayasa keuangan yang justru mengikat sektor keuangan seperti bank tradisonal dan investment bank untuk memiliki loan yang tak berbasis passiva. Jadi tugas APBN diserahkan ke pasar dengan melakukan rekayasa keuangan pada sektor keuangan itu sendiri. Padahal jika pemerintah Amerika Serikat mau memberikan subsidi melalui APBN maka resiko kehancuran sektor perbankan di Amerika Serikat dapat dihindari akibat bermain rekayasa finansial di pasar sub prime mortgage itu.

Demikianlah bila mekanisme pasar dibiarkan sebebas mungkin, mengakomodir ketidakpastian (uncertainty) seperti apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Kemudian, krisis ekonomi pun merambat keseluruh penjuru dunia, karena kegiatan ekonomi telah tersentralisasi dalam sistem yang bernama ’kapitalisme global’. Dunia pun mengalami global imbalances di berbagai lini. Lebih lanjut, depresi seperti ini diproyeksikan akan mengalami kontraksi hingga tahun 2009, bahkan semakin dalam dan melebar 2010.

Semua bermula dari tidak adanya market regulating institution yang berperan sebagai stabilizing institution, pasar subrime mortgage dan perbankan di Amerika tidak diatur. Indonesia sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia turut mengalami resesi tersebut, setidaknya melalui beberapa faktor. Pertama, melalui faham neoklasik, Faham ini akan semakin menguat karena IMF akan menjadi semakin tinggi perannya dalam resesi ekonomi dunia kali ini. Melakukan intervensi ketergantungan pada banyak negara dunia ketiga.

Kedua, mekanisme transmisi melalui nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah menjadi melemah secara cepat sehingga sektor traded justru semakin melemah. Daya jual komoditas domestik pun akan jatuh harga. Hal ini dikibatkan oleh ducth diseases yaitu penyakit perekonomian dimana sektor inti dari suatu negara seperti pertanian dan industri tumbuh separuh dari total pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi adalah buble economic, pertumbuhan hanya sebatas angka dan mekanisme kosong pada instrumen portofolio.

Ketiga, melalui pasar modal. Pasar modal di Indonesia merupakan pasar modal yang mengalami penurunan harga saham ketiga paling parah di dunia. Pasar modal di Indonesia juga merupakan pasar yang didominasi oleh asing selain juga berisi ”hot money”. Dengan hancurnya harga saham maka rupiah juga semakin melemah karena para spekulan ingin meyelamatkan posisinya dalam dolar. Selain pasar saham, pasar obligasi di Indonesia juga semakin kering sehingga bunganya juga semakin mahal akibat kredibilitas kebijakan APBN di Indonesia yang diragukan oleh investor.

Kelima, adalah melalui neraca perbankan. Hal ini dapat dilihat dari terus trurunnya rasio aset bank terhadap produk domestik bruto. Perlu juga dicamkan bahwa rasio NPL tertinggi perbankan Indonesia hanya lebih baik ketimbang Filipina (dimana untuk kuartal pertama tahun 2008 Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan masing-masing adalah 4,3 persen, 4,5 persen, 3 persen, 3,7 persen, dan 0,7 persen). Artinya, perbankan Indonesia lebih rentan terkena pukulan oleh krisis karena krisis.

Penulis ingin mengulas kemudian memprediksi dengan ramalan yang sedikit berdasar pada argumentasi diatas. Bahwa, Tahap pertama, terjadi antara Agustus 2007 hingga September 2008 dimana sifatnya menghantam neraca dan rugi laba dari perbankan berskala internasional. Tahap kedua, terjadi antara periode  setelah September 2008 hingga saat ini dimana krisis semakin dalam menghantam neraca dan rugi laba perbankan skala internasional dan juga perbankan skala nasional di banyak negara.

Tahap ketiga, adalah periode saat ini hingga satu atau dua tahun ke depan dimana krisis keuangan juga menghantam neraca dan rugi laba perusahaan non perbankan. Untuk itu perekonomian indonesia harus membuat suatu pengamanan terhadap tsunami krisis global tersebut. Dalam teori Anthony Giddens untuk mengantisipasi uncertainty tadi adalah dengan menerapkan Antological Security, maksudnya dalam hal ini perekonomian nasional harus dapat menjalankan strategi kemadirian ekonomi.

Dalam mempertimbangkan pada strategi kemandirian ekonomi yang dikaitkan dengan situasi saat ini, beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, kebijakan ekonomi nonsiklis dimana kebijakan APBN dan moneter menjadi saling terkait dan terpadu dengan peningkatan defisit APBN dan penurunan BI rate secara signifikan. Kedua, hindari kebijakan neo klasik dan kerjasama dengan IMF. Untuk memperkuat cadangan devisa maka Indonesia dapat bekerjasama dengan negara Opec dan China yang kelebihan devisa. Gordon Brown yang juga perdana menteri Inggris bahkan telah meminta Saudi Arabia dan China untuk memperkuat modal IMF. Untuk apa Indonesia meminta dana IMF yang dananya ternyata berasal dari negara Opec?

Ketiga, terapkan kebijakan blanket guarantee tanpa batas oleh pemerintah di sektor-sektor fundamental perekonomian untuk mengukuh kepercayaan publik yang kemudian secara efek bola salju memperbaiki kelesuan iklim untuk terus menjalankan roda perekonomian. Dan kemudian menjaga pertumbuhan yang semakin meningkat Keempat, terapkan industrial policy dengan memberikan rebate ekspor, kebijakan nilai tukar yang tepat dan perlindungan tarif dan non tarif barrier dari serangan produk impor dan memperkuat produk domestik.
continue reading Refleksi Strategik Kemandirian Ekonomi

Rabu, 03 Desember 2008

Miskin Popularitas Politik


Gerakan politik di era informasi coba melakukan ekstensifikasi keranah neologisme persuasif di berbagai media komunikasi, membuat semiotika pesan yang mencitrakan diri mengubah politikus medioker kepada popularitas.

Menjalarnya iklan politik dengan berbagai bentuk di beberapa media sosialisasi publik telah menjadi riuh di tengah dinamika demokrasi. Ironisnya, pergerakan politik saat ini cenderung lebih menekankan pada aspek popularitas, bukan kualitasnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada nasib dan masa   depan bangsa. Polularitas publik saja tidak cukup menjadi modal dalam merubah kondisi bangsa saat ini, tanpa diikuti oleh strategi dan langkah konkret pengentasan masalah kebangsaan.

Ekstensifikasi gerakan politik keranah popularitas publik tidak terlepas dari pergeseran zaman ke abad informasi. Dalam hal ini, media sosialisasi publik memegang peranan penting untuk mempengaruhi kecenderungan masyarakat. sebagaimana diungkapkan oleh Melvin DeFleur (1975) media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Bila di era panglima perang Alexander the Great dan Napoleon diperlukan meriam dan bedil sebagai alat memperbesar pengaruh dan memenangkan dukungan politik. Maka saat ini iklan di media sosialisasi menjadi alat meraup popularitas masyarakat, begitu kira-kira hemat penulis.

Disisi lain indikasi euphoria iklan politik dapat diasumsikan bahwa gerakan politik saat ini ‘miskin popularitas’, bahkan ‘miskin kepercayaan’ dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena seringkali terjadi kesenjangan antara apa yang dijanjikan oleh bayak gerakan politik dengan kenyataan implementasi kebijakan saat pemerintahan berjalan. Kebijakan yang masih mendiskreditkan kepentingan rakyat, serta peneyelewengan wewenang kekuasaan masih sering terjadi. Dengan begitu, rakyat semakin tidak mudah percaya.

Belum lagi dana yang dikeluarkan untuk ongkos iklan politik sangat tinggi, bila asumsi seorang politisi memasang 500 papan iklan seluas 4 meter persegi di satu kabupaten selama 2 bulan, hitungan kasar saya mengatakan ia akan mengeluarkan biaya sekitar Rp.160 Juta. Untuk biaya iklan di televisi menghabiskan sekitar Rp. 15 Milyar setiap bulan, dan iklan satu halaman penuh di harian media massa terkemuka bisa menghabiskan lebih dari Rp. 75 Juta. Hal ini tentu saja konsekuensi bila politik bergeser arah ke popularitas.

Selain itu, kecenderungan Iklan politik yang dimuat di media massa, terutama televisi, saat ini belum menyampaikan program dan sasaran yang tegas. Masih tersentralisir pada memoriam keberhasilan masa lalu belaka dan mengagungkan penokohan segelintir partai, ironisnya beberapa parpol merasa memiliki beberapa tokoh tersebut, padahal tokoh tersebut berjasa untuk bangsa bukan untuk parpol. Dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan yang dapat direalisasikan dan sesuai dengan konteks kebangsaan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi sebagai calon pemimpin. Bukan yang lain.

Neologisme dan Medioker Politik

Kecenderungan diatas sebenarnya masuk dalam diskursus komunikasi politik, dimana iklan menjadi mediasi atau sarana menyalurkan ‘pencitraan’. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah menyalahi aturan, karena sama saja dengan menipu orang lain. Hal inilah yang sering disepelekan oleh aktor politik saat ini. Dalam bahasa komunikasi politik, hal ini sering diistilahkan dengan neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Hanya untuk menarik simpati masyarakat untuk mendukung.

Dalam kajian sosial, kecenderungan pada popularitas diistilahkan dengan Hobbe-Nietzchean, yaitu orang yang ingin dikenal baik pada ruang-ruang publik. Dengan mencitrakan jasa diri dan orang lain sebagai klaim rekayasa yang dimilki. Dalam kenyataannya seringkali kita melihat kepemilikan tokoh bangsa oleh golongan politik. Diskursus ini termasuk dalam disiplin realita uang, dan kekuasaan sebagai simbol atau tujuan politik yang negatif. Mengakomodir pemerintahan dengan keserakahan manusia.

Komunikasi politik yang dikemas dengan iklan, reklame, dan poster, serta slogan politik lainnya memang efektif mendongkrak popularitas. Hal inilah yang kemudian menjadi efek bola salju bagi kaum medioker politik lainnya untuk mencanangkan strategi mendingkrak popularitas diri. Medioker adalah orang yang tidak punya bekal berpolitik, biasa-biasa saja, dan rendah popularitas sama dengan ‘miskin politik’. Tapi kita harus sadar, bahwa politik tidak hanya berbekal popularitas, tapi norma dan komitmen perubahan.

Politik Ideal

Seharusnya, gerakan politik mengedepankan aksi bukan embel-embel popularitas. Untuk berbuat kebajikan pada rakyat tidak harus terlebih dahulu duduk di pemerintahan, kesempatan itu terbuka bagi siapapun termasuk partai politik. Ketika melakukan gerakan politik pun harus bertujuan membangun bangsa, bukan memenangkan persaingan antar partai. Bangsa kita tidak akan berubah bila arah dan tujuan gerakan politik masih berkutat pada ranah popularitas.

Selain itu, moral politik juga harus ditransformasikan dalam komitmen kebijakan. Membuat loyal society dengan aksi, bukan janji. Politikus yang demikikian sesuai dengan apa yang diasumsikan oleh Rawls dan Habermas dalam bukunya Keadilan Sosial mewujudkan politik moral. Bila semboyan demokrasi-politik adalah vox populi vox dei, maka belajarlah untuk interest pada kondisi dan nasib rakyat untuk akhirnya membangun bersama kepercayaan.

Sekedar berkomentar tentang paradigma politik yang membumi. Maka, bila politik adalah siasat, maka bersiasatlah untuk perubahan. Bila politik adalah alat gunakanlah untuk perbaikan. Bila politik itu kejam, buatlah ia menjadi baik dan alihkanlah pada kemaslahatan. Bila politik adalah kepentingan, maka berpihaklah pada kepentingan rakyat. Semua ada baiknya, tergantung sudut pandang kita melihat peluang untuk selalu berpaku pada norma dan moral berpolitik.

continue reading Miskin Popularitas Politik